Langsung ke konten utama

TENTANG “SASTRA PEDALAMAN” ITU


Nirwan Dewanto
Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam

Akhir-akhir ini, dalam khazanah sastra kita, “dominasi pusat” kembali dipersoalkan beberapa sastrawan (di) daerah “angkatan” terbaru. Sejumlah kegiatan sastra yang muncul di beberapa kota di Jawa dan Sumatera–meliputi pembacaan puisi, diskusi sastra, penerbitan buku puisi dan buletin sastra—diwarnai ketidakpuasan terhadap sang pusat yang berlaku sewenang-wenang: meremehkan atau mengabaikan bakat dan kekuatan baru yang muncul di wilayah “pedalaman” itu.
Saya nyaris bersorak girang menyambut arus gugatan baru ini. Tapi saya segera tersadar, ini mengulangi lagu lama. Saya teringat kepada Gerakan Puisi Mbeling di majalah Aktuil pimpinan Remy Sylado (1972-1973), Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo (1984): semuanya, dengan pengetahuan yang luas dan argumentasi yang kokoh, tuntas menggugat tatanan sastra yang mapan.
Kini para “penggugat” mutakhir itu menamakan sastra mereka “sastra pedalaman”, “sastra arus bawah”, dan “sastra pinggiran”. Dengan ini seakan-akan mereka menegaskan perbedaan dengan “sastra pusat”. Tapi apakah perbedaan itu benar-benar ada?
Saya membaca karya-karya mereka, terutama puisi. Ternyatalah, itu merupakan turunan langsung dari tradisi perpuisian Indonesia yang mapan. Mereka bahkan sangat menggandrungi gaya para penyair pendahulu yang “baik dan benar”, dan berusaha menghidupkannya lagi (mungkin tanpa sadar) dalam sajak-sajak mereka. Saya tak berkeberatan dengan reproduksi gaya (apalagi dilakukan sebagai parodi). Namun jika dihubungkan dengan seluruh tindak sastra mereka, hal ini mengandung paradoks. Yakni, mereka mengingkari sumber utama penciptaan mereka — yakni karya-karya sastra Indonesia yang utama – - dan dengan demikian mereka terkurung pemusatan yang justru mereka mau tolak.
Maka “perlawanan” yang mereka lontarkan terhadap pusat menjadi semu belaka! Bacalah misalnya sejumlah artikel dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama, yang diterbitkan jaringan bernama sama. Mereka tidaklah mempersoalkan “pusat sastra” secara mendasar. Dengan kemarahan dan kegelisahan yang naif, mereka menyebut “persekongkolan Jakarta” yang sengaja meminggirkan mereka. Dengan begini — dan inilah paradoks kedua — mereka malah mengakui, bahkan memitoskan, “kekuasaan Jakarta”.
Bagi saya, kekuatan pusat yang dipersoalkan sepanjang 1972-1984 kini sudah tiada. (Berarti, serangkaian perlawanan pada masa itu membuahkan hasil.) Kehidupan sastra kita kini tak lagi tergantung pada hanya sebuah majalah sastra dan sebuah pusat kesenian. Dalam pada itu, koran-koran pun menyediakan “suaka sastra” dengan baik. Nama cerpenis baru bermunculan di Kompas. Ruang puisi Republika menampung puisi dari pelbagai pelosok secara bergantian. Lembar budaya Jawa Pos tak henti-henti menyulut pelbagai polemik.
Bisa disaksikan pula maraknya kegiatan penerbitan swadaya. Yang mengesankan, berkala-berkala seperti Menyimak (oleh Yayasan Membaca di Pekanbaru) dan Surat (Gorong-gorong Budaya di Depok). Sementara itu, terselenggara pula pelbaga diskusi, lomba penulisan, loka karya, apresiasi, di Bali, Padang, Banjarmasin, Jambi, Ujung Pandang, Tegal, Jember, Ngawi, dan sejumlah kota lain.
Sungguh geografi sastra yang berwarna-warni! Betapa sayang jika limpahan energi mereka terlalu banyak tercurah untuk membikin-bikin perlawanan semu. Membidik Jakarta-sentrisme, berarti membidik sasaran yang keliru!
***
SAYA akan bersemangat lagi seandainya perlawanan mereka tertuju ke sasaran yang tepat. Sasaran itu tidak berada di luar mereka, tetapi dalam tindak sastra mereka sendiri. Dan inilah pusat yang sesungguh-sungguhnya: sejumlah standar dalam (sejarah) sastra Indonsia yang mereka percayai dan mereka anut, di bawah sadar. Mereka terjebak
dalam karya-karya “kanonik” Indonesia, tanpa sikap kritis memadai.
Sungguh ironis jika para pelaku sastra begitu berwatak “nasionalistik”. Mereka begitu serius dengan, dan terbeban pula, oleh sejarah dan tradisi sastra Indonesia. Tentu saja mereka tak usah merasa demikian gentar dan rendah diri, seandainya mereka mau berdialog dengan khasanah sastra di dunia mana pun. Dengan kata lain, mereka mestinya “melupakan”, atau melampaui sastra Indonesia.
Saya bermimpi “sastra pedalaman” itu benar-benar menjadi genre yang hidup, bukan sekadar varian yang rendah diri dari sastra Indonesia yang mapan. Sebagai kekuatan baru — seperti halnya Afrika Utara dan Karibia dalam sastra (berbahasa) Perancis, India dan Nigeria dalam sastra Inggris, Amerika Selatan dalam sastra Spanyol. Saya tahu, mimpi saya tidaklah mustahil karena kenyataan Indonesia yang begitu rumit dan fantastis mestinya tidak cuma “diwakili” hanya satu sastra Indonesia.
***
BENO Siang Pamungkas, salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman, menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”
Idealisme semacam itu tidaklah cukup! Karena jalan dan terowongan menuju “tambang emas” itu harus mereka bikin sendiri. Bukan hanya dengan mobilitas fisik antardaerah untuk menggalang kekuatan, tapi juga mobilitas pikiran dan mental yakni dialog yang aktif dan terus-menerus dengan khasanah seluruh dunia. Usaha macam ini tinggallah diperbesar. Saya senantiasa mengagumi terjemahan puisi dan prosa oleh Hasan Junus yang muncul secara ajeg pada Menyimak. Pada Revitalisasi Sastra
Pedalaman nomor pertama terjemahan bebas puisi oleh Tan Lioe Ie jauh lebih berharga ketimbang tulisan-tulisan asli yang lain.
Adapun “kebanggaan daerah” itu janganlah diperalat untuk membela karya yang tak bermutu. Ia mestinya benih local- genius yang tumbuh karena menyerap daya dukung lingkungan dan tradisi setempat. Ingat Amir Hamzah tidaklah serta-merta dilahirkan tradisi Melayu. Ia juga buah pergaulan dengan sejumlah khasanah Asia. Memang, sebuah etnosentrisme pada akhirnya hanya membutakan mata terhadap kekayaan pelbagai khasanah tradisi.
Dan jika “tambang emas” itu mulai terkuak, tak bisa pula kita meminta-minta perhatian dari jurnalisme dan kritik seni. Seperti Wole Soyinka dan Derek Walcott pun tak bisa meminta-minta untuk diakui sebagai warga sastra Eropa. Penemuan “sastra pinggiran” sedunia adalah juga akibat dinamika yang terjadi di dunia penerbitan dan dunia ilmiah di Eropa dan Amerika.
Demikianlah, perjuangan “sastra pinggiran” mestinya juga disertai perjuangan teori (bukan maki-makian!) dan juga perubahan di sektor-sektor kebudayaan yang lain. Teori yang saya maksud bukanlah jungkir balik hapalan rumus filsafat dari buku-buku pintar, tetapi refleksi yang mendalam tentang karya dan kerja kesenian kita sendiri.
Sungguh berbahaya, manakala menganggap sastra begitu penting dan suci, dan dengan demikian malah membuatnya miskin.
Di tengah banjir informasi sedunia, mestinya “sastra pedalaman” bukanlah sastra yang mengisolasi diri lantaran dihantui trauma sastra nasional. Ketika karya-karya dunia mutakhir bisa dengan mudah didapat, yang diperlukan adalah mengelola aliran penyebarannya dan mencernanya dengan sehat. Sungguh, pelbagai arus perkembangan baru sedunia lalu-lalang di depan hidung kita sementara kita nyinyir menganggap penting sastra sendiri.
Setidak-tidaknya ingar-bingar jaringan “sastra pedalaman” akan melangkah ke tahap yang lebih segar jika mereka tak merepotkan diri dengan “pusat sastra nasional”. Menggali tambang emas sastra memerlukan watak kosmopolit sekaligus sikap tahu diri terus- menerus. Bagaimanapun, sastra kita tetaplah sastra yang terbuka, berubah, dan meluas. Ia tidaklah angker, lalim dan maha kuasa, kecuali kita sendiri secara
kekanak-kanakan menganggapnya demikian.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kompas (Jakarta), 4 September 1994.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi