Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Aksan Taqwin Embe

Pemirsa blog saia yang budiman, agar gak sepi-sepi amat, blog tercinta saia ini akan saya isi kembali dengan puisi-puisi dari Kawan Aksan Taqwin Embe, yang sebenarnya lebih moncer sebagai cerpenis. Puisi-puisi ini sendiri sebelumnya telah tayang di laman lensasastra.id edisi 7 Maret 2021. Bila kawan-kawan ingin membaca puisi-puisi Bung Aksan secara lengkaplah, bolehlah singgah ke laman Puisi Aksan Taqwin Embe – lensasastra.id 


Buruh yang Mendadak Jatuh Cinta

semula pertemuan yang asam
dibuat sekawanan usai lembur semalaman
dicecap sampai tuntas. Umpama kopi hingga tandas.
aku perantau
aku pun
sepasang buruh itu jatuh cinta
karena merasa saling menemukan rumah.

2020

Dolanan Pertama

Cublek…cublek suweng, suwenge randa’ ireng
Kecantol ning kelambi, ambune rengga-renggi

Kepulangan di petang hari adalah ketergesaanmu
yang bukan biasanya. langkah pelan tenggelam
dengan nyanyian bocah-bocah
di pelataran rumah. kau merundukkan tubuh.
mengendus berkali-kali. bau yang kau sembunyikan.
kemudian membasuh dengan sabun.
berkalikali.

sir, sir pong wedele dobong. sir, sir pong wedele dobong.

berkali-kali kau menyembunyikan ketakutan.
membungkus kecemasan dengan suara lantang.
sering naik tikam. mengunci kalimat yang nyaris
tidak bisa dibalas dengan lapang dada.
kecuali amarah.

Sopo sing nggawa, sopo sing nggawa?

di meja makan tanpa suara. keluar masuk rumah
dengan muka bara. lalu kau tak pernah tahu
diam-diam kutukan yang dirapal istrimu
bermula dari gerak bibirmu yang tak bisa
kau sembunyikan.
waktu itu.

Tangerang Selatan, 2019

Dolanan Kedua

Permainan dimulai. ketika kecemasan tubuh
bermula. saat kekasihmu kerap melayangkan bara
dari bibirnya. kau mencari tahu. tentang jantung
kerap diburu cemburu.
permainan itu dimulai. ketika kau dan kekasihmu
menyatukan tubuh.

“Aku rindu kau.”
tapi kalimatnya hanyalah deru angin
yang menempa wajahmu. kau mencabut rambutnya
secara perlahan. tubuh senantiasa pasrah. ketika
jatuh dalam dekapan.

“Aku sangat suka lembut rambutmu,” bisikmu.
kau tak lagi percaya soal nujum. atau perhitungan
tanggal-tanggal sepasang. sebab kalimat rindu
bermula dari nafsu yang tumbuh.

permainan kau mulai setiap malam. dengan sepotong jarum
dan boneka mungil; bernama kekasihmu
dari lelaki tua waktu itu. bersamanya kau
bisa tertawa dan menderaskan air mata.

Tangerang Selatan, 2019



Aksan Taqwin Embe
. Sastrawan Berkarya Tahun 2019 ke wilayah 3T; Seruyan-Kalimantan Tengah, utusan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia pernah terpilih sebagai perwakilan penulis muda Indonesia dalam Majelis Sastra Asia Tenggara, kategori cerpen 2018. Terpilih dalam Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival 2017. Saat ini ia bekerja menjadi guru di Insan Cendekia Madani, Serpong dan menjadi Redaktur Buletin Tanpa Batas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI