Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2008

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Kacamata

Saya penasaran dengan cerpen ini karena ketika dulu teman-teman Sastra Indonesia Unair angkatan 2004 mengajak saya berdiskusi, saya belum sempat membaca cerpen ini. Saya juga berminat untuk membuat esai mengenai cerpen ini. bagaimana Saudara Indiar? KACAMATA cerpen Indiar Manggara Kacamata itu masih dibiarkannya terlipat rapi. Bagio terus memandanginya dengan bermacam pertanyaan di benaknya yang tak pernah ia temukan jawabannya. Kacamata itu berada tepat di pojok kiri, di atas meja tulisnya dan dibiarkan begitu saja terlipat rapi, hanya dialasi selembar tisu toilet. Meskipun di sekitar kacamata itu buku-buku dan peralatan tulisnya berserakan seperti rongsokan, tetapi pandangan Bagio tak pernah lepas sedetik pun dari kacamata itu. Seolah-olah kacamata itu melekat pada kedua bola matanya. Sekali waktu ia mencoba memungut kacamata itu dan mencoba mengenakannya, tetapi buru-buru ia menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terjulur menggapai dan segera mengurungkan niatnya. Seketika i

Negeri Peri dalam Kartu Pos

Cerpen Dody Kristianto* Aku sengaja mengirim sebuah kartu pos untukmu. Kartu pos yang tak sempat kukirimkan setahun lalu. Mungkin kau takkan menduga bukan, bila aku merelakan menulis sepatah dua kata untukmu. Walau aku tahu itu berat. Dan setelah membaca kata-kataku, aku tak hendak menebak apa yang ada dalam hatimu. Mungkin kau suka atau lara setelah kau baca kartu pos itu. Bintang-bintang tetap beredar di cakrawala. Tetap pada posisinya. Seperti dulu kau menatap langit ketika purnama tiba. Kau selalu mengatakan bukan, bila di balik bulan ada negeri sekawanan peri. Kau selalu berkata akan hal itu padaku. Kau sangat percaya akan kebenarannya. Ya, kata-katamu kerap membuat aku terlena dan mencoba untuk memercayai hal itu. Kau tahu, aku selalu ingin tersenyum bila mengingat kata-katamu. Bahkan aku selalu merasa kau ada di dekatku dan tetap membisikkan hal itu padaku. Peri-peri yang tinggal di balik bulan? Seperti apakah mereka? Kau selalu mencoba meyak

Esai Apologi Kupu-kupu : Ririe Rengganis, M.Hum.

“Mencari Identitas” melalui Tanda Oleh: Ririe Rengganis, M.Hum. Karya sastra, terutama puisi cenderung menggunakan bahasa yang sarat dengan penggunaan tanda. Dan, untuk memahami tanda-tanda yang ada dalam puisi itu pembaca harus memiliki kompetensi sastra. Kompetensi sastra ini diperlukan untuk memahami ketidakgramatikalan puisi, di mana puisi tidak memiliki ciri-ciri linguistik (Riffaterre). Kompetensi sastra yang harus dimiliki oleh pembaca/ penikmat puisi juga harus disesuaikan dengan konvensi genre yang digunakan untuk menulis karya sastra. Konvensi puisi akan berbeda dengan konvensi prosa. Dengan bekal pemahaman terhadap kompetensi sastra dan konvensi genre sastra tersebut, penikmat puisi (seperti saya) mencoba memahami tanda-tanda yang hadir dalam “mini” antologi puisi ini; yang ditulis oleh Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur. Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur adalah sekelompok orang muda yang sedang dalam masa “mencari identitas”. Identitas merupakan sesuatu yang absurd; mudah berubah

Gulita

cerpen: Eko Darmoko Seratus tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah penantian. Pada tahun 1900 sebuah koran terbitan Nederlandsch Indie telah mengabarkan tentang gejalah alam yang aneh. Yakni suatu saat nanti bumi akan dihimpit oleh tiga matahari yang datang dari galaksi lain. Jadi kelak bumi akan mempunyai empat matahari. Dan dapat dipastikan temperatur bumi akan sangat panas, selain itu yang lebih parah lagi adalah bahwa di bumi tidak akan terjadi malam, yang hadir hanya siang saja. Rotasi bumi pada porosnya tidak akan mempengaruhi terjadinya siang dan malam. Yang lebih seram lagi, keempat matahari itu akan berbalik melakukan revolusi terhadap bumi. Menjadikan bumi sebagai pusat tata surya. Berita ini ditulis oleh pemuda pribumi, namanya Sutole, seorang ahli mistik dan astronomi. Pada saat itu namanya masih belum banyak dikenal oleh khalayak umum. Nama Sutole berada dalam bayang-bayang nama besar Edward Douwes Dekker alias Multatuli, Herman Wil

Lelaki yang Kehilangan Senja

Cerpen  Dody Kristianto* Denyut kota tiba-tiba mendadak hitam. Kota berubah dengan alir mati mengikut alur dari cerita seorang pengarang yang memotong senja. Ya, semenjak senja dipotongnya, tanganku tak lagi mampu membedakan mana kanan dan kiri. Mataku sering kali ketakutan, mengintip mataku sendiri. Serta bayanganku, yang acapkali terlepas kabur diburu oleh jejak kegelapan. Aneh, bukankh bayang-byangku sendiri adalah representasi dari kegelapan? Tapi tidak demkian dengan sebuah keluarga. Atau lebih tepat tetangga berselisih dua rumah dari rumahku. Mereka begitu hidup. Kehidupan mereka begitu malam. Pernah suatu ketika aku melihat mereka sekeluarga berami-ramai mencopot otak mereka. Hii... . tapi itu dua bulan lalu ketika aku kali pertama tiba di kota ini, untuk mengikuti hilangnya senja yang dipotong oleh seorang pengarang. Ah, pengarang yang iseng, apa yang ada dalam pikirannya? Aku tak tahu. Mungkin juga sama dengan pikiranku yang anehnya juga ingin memotong

Ketidakberdayaan Dalam Puisi Joko Pinurbo "Bayi di Dalam Kulkas"

(Kajian Semiotika) Oleh Dody Kristianto Pengantar Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1). Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yan

MEMO TIGA MASA LALU

a. di sebuah musim rahasia Di sebuah musim rahasia kutemu pohon masa lalu di sana terpahat namaku dan namamu ketika kita diam bertemu, saling membisu, lalu pulang pada rindu yang jatuh Di pohon itu pula,kupu-kupu berhamburan melambaikan namamu di langit petang tanpa kutahu, mereka meninggalkan namaku sendirian di ranting kerontang Sebab di ranting itu ulat-ulat memamah namaku, satu per satu sampai nama-namaku luruh, kulupakan dan tak kuhapal, satu per satu b. pohon renta pohon renta, yang usianya hanya mampu kita duga ketika bersua di siang lapang sebagai kanak-kanak berlarian bersembunyi dari terik yang memanjang kita tak bisa melawan hingga kita temukan sebatang pohon tua rindang pohon penghalang; senyap meneduhkan kupahatkan namaku, isyarat waktu yang membatu: aku ingin mengenalmu kusemaikan reranting mimpi untukmu, juga bebunga igau, juga kupu-kupu harum bakau agar sesekali engkau singgah dalam sepasang nama yang kita dedah pada rahasia paling purba c. seperti pusaran waktu seperti

Sajak-sajak Ferdi Afrar

Singgah Ia menengadah ke angkasa seperti ada yang menatapnya manja bersembunyi dibalik awan, diantara kerumunan kicau burung. Seperti ada yang menyentil daun-daun dan juga jemuran sarung. seperti ada yang melambai, yang membuat rambutnya terburai. Seperti ada yang menggemerincingkan air, melumutkan dinding. seperti ada yang berbisik, merambat di kuping. Seperti ada yang menggesitkan cahaya di dedahan, kemudian menggambar di permukaan. seperti ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan. Seperti ada yang menunjukkan jalan kepada debu, membuatnya bersayap seperti kupu-kupu kemudian hinggap di matanya. seperti ada yang memberinya kado waktu, tempat ia menanggalkan amuk di tubuh memudarkannya di angkasa. Februari 2008 BILA bila aku dilahirkan kembali, inginku berteduh dalam dekapmu menempelkan bibirku yang mungil ini dalam puting payudaramu, selamanya. sampai mataku terpejam hingga tak terasa sisa susu itu mengalir ke pipiku hingga tak pernah kudengar kata anjing yang meloncat dar

Puisi-puisi Nirwan Dewanto (Kompas 24 Agustus 2008)

selamat berjumpa kembali dengan blog kesayangan Anda ini. Kali ini saya akan menampilkan puisi dari Nirwan Dewanto yang muat di Kompas pada tanggal 24 Agustus 2008 kemarin. Energi kompleksitas Nirwan ternyata masih sangat terasa. Setelah tampil dengan antologi Jantung Lebah Ratu, puisi-puisi Nirwan tetap dengan daya pikat magisnya. Tentunya ini adalah pencapaian luar biasa dari seorang pembaca yang baik. Pun merupakan hasil kulminasi Nirwan selama bertahun-tahun menggeluti khazanah teks nasional maupun global. Selamat membaca. Telur Mata Sapi —untuk Sigmar Polke Hanya mata yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini. Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancar meniti Lengkung seperti punggung iblis ini. Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lendir ini. Hanya lukisan yang rela ditumbuhi Hijau lumut segera memisahkan Telur perempuan dari telur api. Hany

Sebuah Esai Semenjana : Sastra Blog Kini

saya teringat bahwa saat ini saya sedang berada di depan komputer dan sedang mengupdate blog pribadi saya yang satu bulan ini hampir tak tersentuh. maka, esai semenjana ini semoga turut meramaikan blog saya. ternyata kian hari jumlah sastrawan yang ngeblog semakin lama makin banyak. saya baru tahu jika Nirwan Dewanto juga turut ngeblog. walau blognya masihlah minim tulisan. namun inilah terobosan dari salah satu maestro sastra Indonesia. Nirwan menyusul para sastrawan lain yang sudah ngeblog terlebih dahulu, semacam Ook Nugroho, M Aan Mansyur, Binhad Nurohmat, dll. kiranya jumlah ini masih akan terus bertambah. mengapa? karena via bloglah siapa tahu kita akan menemu kegenitan yang tidak mungkin termuat di media. beberapa waktu lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu penyair Surabaya Dheny Jatmiko. Dheny begitu mengkhawatirkan bahwa sastra kelak akan tercampur dengan kitsch di dalam perkembangannya. sekronik itukah? eits, sabar dulu bung! saya kira tak separah itu. bukankah setiap

Pelukis Gelombang Laut

                                                                  Cerpen   Dody Kristianto* Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang. Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu