Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2010

Kalender Festival Seni Surabaya 2010

Sabtu, 6 November 2010 (Pembukaan FSS 2010) Acara Waktu Tempat Keterangan Pembukaan 19:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Sambutan Ketua Umum FSS 2010, Walikota Surabaya, dan Gubernur Jatim. Kolaborasi Dwiki Darmawan dan Sahuni cs urban ad 20:30 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Seni Rupa Film Layar Tancap “November 1928” (Teguh Karya) 21:00 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Pemutaran Film Minggu, 7 November 2010 Acara Waktu Tempat Keterangan Fitri Setyaningsih (Yogyakarta) 19:30 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Yuni (STKW) 20:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Supriyadi UNESA 20;30 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Aidil Usman (Jakarta) 21:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Film Layar Tancap: Para Perintis Kemerdekaan (Hamka) 21:30 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Pemutaran Film Senin, 8 November 2010 Acara Waktu Tem

Kalender Festival Seni Surabaya 2010

Sabtu, 6 November 2010 (Pembukaan FSS 2010) Acara Waktu Tempat Keterangan Pembukaan 19:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Sambutan Ketua Umum FSS 2010, Walikota Surabaya, dan Gubernur Jatim. Kolaborasi Dwiki Darmawan dan Sahuni cs urban ad 20:30 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Seni Rupa Film Layar Tancap “November 1928” (Teguh Karya) 21:00 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Pemutaran Film Minggu, 7 November 2010 Acara Waktu Tempat Keterangan Fitri Setyaningsih (Yogyakarta) 19:30 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Yuni (STKW) 20:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Supriyadi UNESA 20;30 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Aidil Usman (Jakarta) 21:00 WIB Gedung Balai Pemuda Surabaya Pertunjukan Tari Film Layar Tancap: Para Perintis Kemerdekaan (Hamka) 21:30 WIB Pelataran Balai Pemuda Surabaya Pemutaran Film Senin, 8 November 2010 Acara Waktu Tem

FSS Memosisikan Citra, Menepis Barbarisme

Oleh: Riadi Ngasiran Kami dipertemukan dalam gagasan-gagasan, meski pemahaman tak selalu bisa dipersepsikan seiring, apalagi sama. Kebudayaan menjadi pilihan eksistensi, yang setiap saat bisa dipergulatkan. Pierre Labrousse, seorang Indonesianis dari Perancis yang ahli di bidang bahasa dan kebudayaan, lebih memahami Indonesia dengan memosisikan dirinya ketika berada di Surabaya. Surabaya, di mata penyusun Kamus Prancis-Indonesia , ini memiliki keunikan khas sebuah kota negara berkembang. Watak egaliter, kebersamaan, menghargai perbedaan dan kebebasan, yang dimiliki masyarakat Surabaya, menjadikan daya tarik untuk mengenal dari dekat kultur dan tradisi masyarakatnya. Dialah yang pernah mendorong saya untuk melakukan pelacakan identitas sebuah kota melalui telaah lukisan, L’identité de Surabaya dans la peinture moderne (Archipel, Paris), 2006). Sebuah ruang ekspresi yang bisa dirambah dalam memahami perjalanan, sekaligus karakter khas subkultur masyarakat. Suatu hari, saya pun terger

Lebih Kuat dari Mati

Cerpen Om Mardi Luhung I Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati. Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.” ”Bi

Banun

Cerpen Damhuri Muhammad Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun. Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang

Laila: Tarian Pengorbanan

Cerpen Zeventina Octaviani Dua ”bodyguard” mengantarku, satu bertugas merangkap supir. Badan mereka besar-besar. Dari ototnya terlihat bahwa mereka adalah orang-orang terlatih untuk menjagaku. Mereka mengantarku ke sebuah hotel mewah berbintang 5. “Kamar 462. Doakan aku selamat, ya…,” bisikku lirih. Salah satu dari bodyguard itu menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian. ”Hati-hati,” katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya yang tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian. Di lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut rok mini dan atasan hitam menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari jiwaku. Entah jiwa milik siapa, sulit kukenali lagi. Hari ini di kamar 462, aku akan menari, membawakan tarian yang berjudul tarian pengorbanan. *** Di Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya mengeluarkan bau

Kunang-kunang dalam Bir

cerpen Agus Noor & Djenar Maesa Ayu Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu. Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you…. Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mest

Para Pembongkar Kuburan Massal

Cerpen Veven Sp Wardhana Malam demikian pekat, hujan begitu lebat ketika kami mendengar suara ayunan benda tajam yang menancap pada entah apa. Banyak yang menyangka itu berasal dari ladang Pak Runci, satu-satunya juru kunci kuburan massal di wilayah kami. Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa, sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu. Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang demiki