
Kidung Para Gelap
-nyanyi untuk Gregory Orr
Gregory, selalu kami bayangkan bayangbayang kabut di sebalik bukit, sebukit bulan hitam, selalu hitam, selalu mirip doa para lanun nan bajingan, doa dengan kakikaki sungsang yang gagal sampai ke ketinggian. Sebab selalu kami kutuk hujan, hujan dengan kesunyian masa lalu yang tertinggal, hujan yang selalu tujah dan dugang mimpi kami punya ingatan. Selalu. Dan selalu kota kami mengerang, mengelupas, udaraudara nan tuba lepas, pulas. Lantas membentuk kematian pada kami punya penantian yang tak tuntas.
Bahkan, bila seribu wewangian peluru lembing duka diluncurkan, seribu kilau pedang lebam ditusukkan, takkan kami ingkari kegaiban mimpi kami punya kengerian, punya hikayat tentang seribu lucah berhamburan, berkangkangan, seajaib kota miring kami luka, dipenuhi tafsiran ganjil, bajubaju musim dingin. Mungkin kami lebih ingin sejarah kami meregang, sejarah bagaimana ciuman pertama para bangsat gagal terkabulkan. Kami regangkan bagai kami rentang kota kami punya niatan hitam.
Gregory, ini kidung terakhir kami, serupa kampung kami dibungkus ilusi, diamini kedasyatan ikan gasal berlompatan, berlarian, pada tubuh kami yang tak bernama, tak bertanda.
2010
Beberapa Rindu Puisi yang Keterlaluan
1.
Kami mulai seutas kemelut. Kami mulai dari sebuah kalut. Pukau atas kata. Dipukau. Tafsir berwarna abuabau, hanya dapat kami telungkup lewat altar, amsalamsal getar, di mana kami sampar, pesakitan yang bermimpi menggantung leher sendiri di bulan. Kami hanya membaca, kebimbangan kami telanjang, kami mengudusi arti permukaan.
2.
Kami ikrar membaca kata : cinta, bergerak di sebalik gemuruh. Tapi sungguh tak dapat kami tulis, lindap berlintas di perempatan, perlintasan para pembakar, para makar yang bersepakat menggerayang kepercayaan. Sebab seribu gerimis berubah putih. Putih, dan hanya putih. Serupa nyawa kami akan puisi, anak kecil yang coba mengenal arti, bunga juga musimmusim telanjang dada, musim tentang kota berpindah. Kami mengubah kesakitannya, seperti kami terpukau untuk engkau. Kami tergeragap lantas diperangkap kota nan gagap.
3.
Sekali lagi kami tatap untuk engkau, mengharap diri membunuh diri. Kami mulai masuki tubuh puisi. Tangan kami mengigal. Nanar kami tenggelam, lengan kami ingin engkau telanjang. Sekali lagi engkau kutukan sayang. Kutukan para pengirim, para pengiring yang menunggu tubuh utuh di dinding. Kami tumbuhi pohon dengan segenap rindu, malampaui ujud kota nan bisu, darah, tatap rindu nyalang untuk bulan. Kami berkabar, engkau menyangkal.
4.
Kesadaran kami menghardik, pulau, pulau persinggahan para penetak, para pengungsi gerimis nan gagal lewat. Sepasukan pesakitan mendamba puisi, tubuh berumah yang tersilap dari mata. Kami tahlili berbagai kemungkinan, perempuan yang ingin disakitkan. Kami seolah genggam pukul. Pukul para kota. Sungguh, di bulan pecah muka, sudah kami simpan bangkai buluk pelayat yang terlupa akan puisi, kata sakit sunyi abadi. Di sanalah, penghapal gila disangkal, untuk doa terjuntai bagi tanah. Tanah segala retak, juga tempat seratus puisi mengepung, berubah sekawanan tempias. Tapi kami bukan kedalaman, sungguh, kami hanya sakal muram terjangan.
5.
Kami teriak. Kami terpesona lewat sahwat. Serupa menggamit liar, rumputan gelap nan sekejap menghapal nama kami. Hanya sekejap. Sebab tafsir kami berpindah, terpukau ritus lain untuk engkau : kotakota selatan nan buangan. Kami ikuti dan terkutuk. Jamjam hilang kepala. Menaramenara buta pukul enam. Dirongrong gurat urat waktu, kesepakatan hantu yang terjura di kemenawanan bulan. Tapi tetap tanpa lengan. Tanpa lengan. Lalu kami simpan segala kenang, hanyalah kenang.
6.
Kami ingin mengenali, menggali tubuh kami serupa sunyi abadi. Kami mimpi, segenap dinding berpaling. Segala minta lenyap, mau senyap dari kota dalam genggam, dalam kelam. Tapi sungguh, bulan punya genggamnya, kata ada seramnya, puisi dengan sepenggalan jalan lintang yang bersibalang dengan bangkai perajam. Sungguh, kami ingin keliaran kami tumbuh, memaksa kami punya keterpesonaan mengambang, ngambang. Di balau perbatasan, di tempat gairah kami kunjung masam. Ngambang dan hanya ngambang. Kami sujudi kami punya madah : pertobatan bagi tahun hantu hutan gelap. Sebab kota kami tinggal dengungan dan dengungan. Kami berkabar bagi engkau yang liat. Bagi engkau. Dan hanya dengan puisi, jiwa kami yang sampar serupa pemadat. Hanya pemadat.
2007-2010
Komentar