W HARYANTO
Sebuah festival seni, awalnya dimaksudkan sebagai perayaan komunal atau ritual terhadap kehadiran Tuhan di muka bumi. Maka, setiap elemen dalam komunitas akan menyertakan produksi-produksi budaya sebagai bagian dari penyatuan atas perayaan tersebut.
Bagi masyarakat tradisional, sebuah festival dikaitkan dengan prosesi keagamaan seperti Grebeg Suro atau Grebeg Mulud. Bagi seniman, sebuah festival juga dipahami sebagai penyertaan momentum-momentum klimaks dari kreativitasnya. Maka, festival secara kultural terikat dengan relasi-relasi antarindividu di mana festival itu berlangsung. Persinggungan dalam festival, bukan upaya menominalisasi pencapaian proses seniman.
Celakanya, pengertian festival dewasa ini telah bergeser jauh dan hanya sebagai ajang eksistensi dan pemiskinan ideologi-ideologi seni yang semula bersifat sangat individual menjadi sesuatu yang cair dan disesuaikan dengan pasar.
Komunikasi antarseniman dan produksi inovasinya (dalam festival seni) yang awalnya adalah dialektika, bergeser menjadi pembakuan-pembakuan teoritis, di mana sang kurator dan dewan juri menjadi yang mahatahu dan menjadikan seniman sebatas anak sekolah yang perlu dituntun untuk mengikuti setiap tanda baca.
Di sisi lain, festival kini difungsikan tidak lebih sebagai pasar sesaat dan seni menjadi benda dan seniman dibendakan. Lebih celaka lagi, seniman-seniman di mana ajang tersebut berlangsung hanya sebatas audiens tanpa keterlibatan dalam proses dialektika ini.
Kecenderungan di atas muncul pada event tahunan seperti Festival Seni Surabaya. Festival ini mengambil dimensi yang kelewat luas dan abstrak, terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan seni di Surabaya. Kreativitas seniman-seniman Surabaya dikontrol dan dikondisikan sesuai paradigma festival.
Putu Wijaya atau Teater Payung Hitam yang beberapa kali dihadirkan dalam FSS secara politis tidak dipakai untuk pendewasaan kelompok-kelompok teater di Surabaya (sebagai rujukan proses), tetapi malah dijadikan perangkap proses bagi komunitas teater. Tak aneh pula jika sehabis FSS berlangsung, pelbagai ujud pengucapan teater-teater di Surabaya identik dengan Putu Wijaya maupun Teater Payung Hitam. Hal serupa juga muncul di sub-sub seni lain.
Indikator lain, festival seni di Surabaya tidak punya strategi dan cara pandang kultur terhadap komunitas Surabaya. Akan tetapi, hanya melanjutkan simbolisasi mataraman (Yogyakarta), utamanya pada pertanyaan-pertanyaan mendasar, mengapa sebuah festival harus terjadi? Mengapa pelbagai wujud kreatif-inovatif yang individual direkayasa menjadi satu pengertian sosiologis? Mengapa kota terbesar kedua setelah Jakarta harus memiliki standar hiburan (yang oleh akademis seni disebut tinggi)?
Sementara di sisi lain, kepahaman masyarakat Surabaya tentang produksi budaya sudah terjadi, kalaupun standar ini kerap hanya diasumsikan sebagai gejala sosial ketimbang kreativitas.
Aspek simbolis
Dengan mengusung tema ”Surabaya Experience”, panitia mencoba merasionalisasikan festival seni dari peristiwa budaya menuju histografi Surabaya. Maka, rujukan utama sebuah festival seni (jika itu terjadi di Surabaya), harus melewati struktur kesadaran komunitas pabrik. Jadi katakanlah, drama-drama teoritis Teater Payung Hitam (Bandung) atau musik-musik mekanis Kelompok Debu (Jakarta) hanya menampilkan keterasingan dan memprasangkai selera masyarakat pabrik yang dianggap rendah.
Panitia FSS cenderung memprakarsai adanya permainan bisnis dan memaksakan identitas seni. Di sisi lain, seniman-seniman Surabaya yang kurang bergairah berproses menyambut nominalisasi seni sebagai sesuatu yang harus dimaklumi tanpa reserve. Seperti ungkapan Antok Agusta bahwa seniman tak lebih pengemis yang sehat dan intelektual yang merintih di tikungan jalan (Majalah Kidung, IV/2000). Hingga seni diproduksi tanpa ideologi yang tegas.
Klantink
Di luar konteks FSS, kelompok Klantink yang tumbuh dan berproses dari relasi ekonomi yang sederhana, sebagai komunitas pengamen yang saban hari mengisi penumpang bis kota. Katakanlah, ini adalah kacamata terbalik dari apa yang telanjur kita kenal dengan jagat kesenian.
Klantink, setidaknya menyadarkan kita (sebagai warga sejarah Surabaya), bahwa produksi kesenian awalnya relasi kreativitas dengan ekonomi. Sebagai kelompok seni jalanan, Klantink menjalani profesi kreatifnya sebagai sandaran hidup. Tanpa pengenalan ideologi seni dan pergulatan teoritis, Klantink mengkontruksi musik keroncong yang santun di luar pakem Jakarta atau langgam Jawa menjadi keroncong yang lebih rancak, cepat, dan ekspresif.
Toh, kalaupun tak seperti musik garda depan John Cage, Klantink patut kita akui sebagai fenomena budaya Surabaya. Seperti ungkapan penyair Derek Walcott bahwa bangsa yang ditekan akan menunjukkan bahasanya sendiri. Klantink menunjukkan gejala yang sama.
Ketika fenomena Klantink muncul di Indonesia Mencari Bakat (Trans TV), serta-merta kesadaran sejarah kita pun tergugah. Kreativitas jalanan yang jauh dari tangan-tangan pergulatan seni mainstream, ternyata sanggup bicara tentang ekspresi Surabaya secara lebih faktual dan marketable.
Kembali pada pertanyaan di atas, apa pentingnya lagi sebuah Festival Seni Surabaya, jika histografi Surabaya tak bisa dilacak dan dikonsepkan. Atau memang itu sebuah strategi bisnis dan politis agar Surabaya tetap menjadi satelit budaya Jakarta atau Yogyakarta. Jika benar hal ini yang terjadi, sungguh sangat disayangkan.
W Haryanto Penyair, Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar
Komentar