Oleh: Fahrudin Nasrulloh **
Intermezzo: Sastra “Tahu Solet” dan Sastra “Kentut”
Perkembangan sastra dewasa ini di tanah air terus berdetak di beberapa wilayah tertentu dengan segala pernak-pernik kegiatan dan yang dicita-citakan. Kondisi ini patut diapresiasi sekaligus dipertanyakan, apakah “manusia Indonesia” membutuhkan sastra sebagai sepercik “sari kehidupan” dan sumbangsih tersendiri di batin maupun perannya di masyarakat. Yang tampak dunia sastra sekarang seakan-akan semata ritus bagi mereka-mereka yang menggelutinya, seiring situasi bangsa yang sungsang dan dihajar disorientasi, carut-marut politik dan krisis jati diri bangsa yang akut tak henti terasa benar menyurukkan kita pada ketidakpastian. Meneguhi sastra sebagai “jalan hidup” dan meyakininya menjadi obor menuju perubahan yang diimpikan ibarat membacok hantu di siang bolong. Atau berdebat dengan anjing buduk.
Meyakini apa? Dengan pemikiran apa sastra kini begitu ngotot diperjuangkan dengan berkeringat dan penuh pertengkaran? Seperti kerjaan wong edan jika itu diyakini sebagai “iman” yang mahaluhung dan bersepaham untuk melabeli sekisaran itu dengan cap-capan: sastrawan dan karya sastranya. Apa ampuhnya semua sebutan itu? Penjual tahu solet di gerbang Desa Jatipasar itu coba ditanya: sastra itu jenis “makanan” apa dan makhluk jenis apa sastrawan itu? Baginya yang penting tahu soletnya laris-ludes. Menjaga racikan petis, air, lombok, kadar godokan, dengan baik. Secara istiqomah. Tidak berpaling kerja. Apakah puisi dan cerpen seberharga tahu soletnya? Lebih tinggi sebagai camilan atau obrolan kemaruk di status facebook? Sastra memang tak perlu diagung-agungkan dan disunggi sampai memuprulkan rambut kepala. Ia hanya bagian dari “kegembiraan teringan” dalam hiruk-pikuk kompleksitas hidup. Adakah sastra kita terasing dari masyarakatnya ataukah kitalah yang terasing sebab menekuni sastra? Mboh-lah.
Sastra lalu kian menjadi terasa “ada” manakala diangankan sebagai kekuatan penyangga di kedalaman batin tersunyi di balik kian keras-umupnya dunia. Dan inilah tampaknya yang diperjuangkan para pengarang terdahulu, yang melalui sastra, dunia tulis-menulis itu, mereka seolah menyimpan “daya api”. Dan itulah yang kurang lebih dikatakan Rendra: “hidup yang tidak hidup ketika kita kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya”.
Dari situlah apa yang kita sebut sastra kian dikokohi pesastranya lebih karena di dalamnya memberi makna akan apa yang bakal hilang dan apa yang tak tertebuskan. Jadi, baik “daya hidup” maupun ikhtiar merenggut fitrah yang seringkali raib itu, juga mengada dan bergelora saat menyantap tahu solet. Si penyantap merasa laziid benar, dan si penjual puas dapat nafkah untuk anak-bininya. Maka sastra musti jadi bagian hidup yang paling konkrit, riil, dan terasakan bersama orang lain. “Sastra keterlibatan”: harus benar-benar mengalir dalam keseharian dengan menggali persoalan di lingkungannya sendiri, tidak cuma di kolong khayalan, di jumbleng imajinasi, tapi dari keduanyalah wajib termanifestasikan jadi ruh, jadi napas, jadi getar darah, jadi detak jantung, jadi langkah-langkah menuju karya-karya yang sungguh-sungguh diperjuangkan supaya memberikan pencerahan. Tujuannya remeh saja, agar hidup tidak kotor-dikotori, seperti babi busuk atau presiden lembek bin bahlul yang keblasuk. Agar manusia tidak hidup sebagai “ternak” tuhan, yang melulu makan-berak makan-berak lantas bila gemuk disembelih buat slametan. Sastra, bukan hajatan, bukan perayaan untuk berhala-berhala yang membodohkan itu.
Sastra pun, sebagai wujud atau bayangan, sebenarnya tidak ada. Ia ada, sebab si pesastra berpikir dirinya ada lantas berimpen-impen ihwal dirinya melalui perkara itu (sastra) demi pemenuhan dimensi lahir-batinnya. Sastra hanyalah bikinan, yang dikhayalkan dan lalu dituliskan, jadi tilas. Sastra hanya kentut yang malah jadi penyakit bila tidak dikentutkan. Maka berkentutlah ramai-ramai dengan riang gembira. Brruuuutttz!!! Ya, cuma angin lewat, kan? Tidak kurang, tidak lebih. Mangkanya, tak perlu dipikir panjang-panjang dan meruwet-ruwetkannya. ojo methentheng, poro sederek sodoyo!
“Jembatan Keledai” Di Langit Wringin Lawang
Manusia seniman Mojokerto, bagi saya, seperti “keringat” yang tidak pernah kering. Gak peduli campur minyak dan air. Seperti kelapa tua yang dikuatkan oleh kabut tengah malam. Seperti perasan semangat “jembatan keledai” si pelarian Tan Malaka yang tak pupus harap kala buku-bukunya dirampas atau ditilep intel-londo jalanan. Seperti Petruk si Kantong Bolong, ada dana tidak ada dana: kesenian harus tetap digerakkan. Tema “Majapahit dalam Sastra” yang menghadirkan kumpulan cerpen (94 judul) dan puisi (620 judul) ini pada 23 Oktober 2010 merupakan agenda yang ke 7 sejak April lalu yang diselenggarakan saban bulan di area Candi Wringin Lawang, Desa Jatipasar, Trowulan, oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto.
Spirit yang menguatkan konsistensi mereka pantas dicatat, lepas dari bermutu atau dangkalnya agenda. Tapi kata “Majapahit” dan kejayaan sejarah yang telah ditorehkannya sekian abad ke seantero nusantara itulah yang memicu gairah mereka berkesenian. Sikap dan tindakan memaknai sejarah itu, sekali lagi, dibuktikan dengan terbitnya 2 antologi ini. Para penggerak di dalamnya, seperti jaringan berkeseniannya, ibarat “marsuse”, istilah Tan Malaka, yang setiap detik setiap kedip sedia berangkat, meninggalkan apapun yang mengikat diri dari berlapis-lapisnya kepentingan pribadi. “Berangkat pagi, pulang menjelang pagi”, begitulah mereka. Dan keberanian itu dirawat dilakoni dengan keringat dingin dan mencret-mencret. Bayangkan, penerbitan gendeng mana yang mau bikin buku sastra setebal 825 halaman (puisi) dan 706 halaman (cerpen)? Hanya penerbit berkocek tebal dengan beridealisme besar atau lembaga tertentu yang digrojok dana founding yang mampu melakukan itu. Pendek kata, di luar itu, penerbitan macam begini adalah seperti bunuh diri. Bagaimana orang-orang Mojokerto bisa melakukan itu? Rukun agawe santosa, Gusti Allah Foundation, dan kebaikan donator-donatur itulah sebagian kecil jawabannya.
Karena itu, detak kesenian, lebih khusus sastra, di Mojokerto seperti percik yang terus dinyalakan. Selalu ada dan coba dipletikkan. Penerbitan 2 buku ini, yang tebalnya melebihi kitab suci, bisa dijadikan catatan: pertama, perkembangan sastra di Jatim sejatinya bertumbuh di sejumlah wilayah yang tidak semata berpusat di Surabaya. Meski, definisi geografis bukan ukuran mutlaknya. Kedua, upaya memunculkan penulis-penulis muda maupun yang tergolong lawas di mana porsi pemuatan dalam antologi ini lebih besar. Tentu perkara kualitas karya, terserah waktu dan pembaca.
Cakupan pemuatan ini bisa dijadikan bahan lacak untuk menilik corak dan potensi karya. Sekaligus referensi pemetaan sastra Jatim dan luar Jatim. Ketiga, penghargaan dan apresiasi dari penyelenggara terhadap karya sangatlah tinggi. Ketulusan menerbitkan dan kesetiaan berkarya bertemu di sini: di Gapura Wringin Lawang. Ada degup yang berpengharapan, ini sekedar “taman kecil”, yang semoga memberi arti bagi masa depan sejarah sastra Indonesia.
Karya yang sempurna itu tidak pernah tercipta. Kesempurnaannya itu berproses dalam masyarakat dan zamannya.
Jombang, 23 Oktober 2010
------
** Makalah ini telah disampaikan dalam diskusi sastra "LAUNCHING ANTOLOGI PUISI dan CERPEN BBULAN PURNAMA MAJAPAHIT 2010", dalam Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Edisi Sastra, tanggal 23 Oktober 2010, di pelataran Gapura Wringin Lawang, Ds. Jatipasar, Trowulan, pukul 19.00 Wib.
* Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Komentar