Langsung ke konten utama

Sastra Indonesia Mutakhir Jawa Timur

Pengantar Kurator

Arif Bagus Prasetyo



If poetry was man’s first language – or if language is essentially a poetic operation which consists of seeing the world as fabric of symbols and relationships between symbols – then each society is built upon a poem.

- Octavio Paz, Children of the Mire



Sastra Indonesia di Jawa Timur hari ini masih didominasi puisi. Jawa Timur masih sebuah “provinsi penghasil puisi” ketimbang “provinsi penghasil prosa”. Jika kita mencari siapa penulis prosa yang menonjol di Jawa Timur kini, terlebih yang karyanya menasional, maka kita tak mungkin berpaling dari sejumlah nama senior, seperti Budi Darma dan Beni Setia. Tentu saja bukan berarti tidak ada pengarang muda di Jawa Timur yang menekuni penulisan prosa. Buku kumpulan cerpen Pleidooi (2009), misalnya, memuat karya 14 cerpenis muda dari Malang. Tapi memang, setelah kemunculan fenomenal Sony Karsono pada paruh kedua 1990-an, sedikit sekali prosais muda Jawa Timur yang karyanya diperhitungkan di tingkat nasional. Stefanny Irawan, Fahrudin Nashrulloh dan Lan Fang termasuk di antara segelintir penulis prosa terkini di Jawa Timur yang namanya bergaung di luar pagar provinsi.
Sebaliknya, dunia kepenulisan puisi di Jawa Timur seolah mengalami musim semi abadi. Generasi penyair baru terus lahir melapisi generasi sebelumnya (yang sebagian tetap aktif berpuisi sampai hari ini), dan di setiap lapisan generasi penyair itu, selalu ada sejumlah nama yang menyeruak ke permukaan medan sosial sastra di luar lingkup Jawa Timur. Dua tahun silam, dalam kapasitas sebagai kurator sastra Festival Seni Surabaya 2008, saya menyeleksi ratusan puisi karya 12 penyair Jawa Timur yang berusia di bawah 35 tahun. Alasan utama ditampilkannya para penyair Jawa Timur dalam festival itu adalah karena puisi merajai kehidupan sastra Indonesia mutakhir di Jawa Timur.
Data lebih lengkap dan terbaru yang mengilustrasikan supremasi puisi di Jawa Timur disediakan oleh buku Pesta Penyair (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009) susunan Ribut Wijoto, S. Yoga dan Mashuri. Antologi ini memuat puisi karya 55 penyair yang masih hidup di Jawa Timur, mulai dari D. Zawawi Imron (kelahiran 1945) sampai Eny Rose (kelahiran 1992). Terlihat jelas bahwa supremasi puisi di Jawa Timur dikawal oleh barisan penyair yang mencuat pada abad 20 (Akhudiat, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widianto, Anas Yusuf, Aming Aminoedin dll.), mereka yang muncul pada sekitar pergantian milenium (W. Haryanto, Mashuri, Deny Tri Aryanti, F. Azis Manna dll.), serta sederet pendatang baru (A. Junianto, Dody Kristanto, Alek Subairi dll.).
Mengapa di Jawa Timur puisi jauh lebih subur daripada prosa? Setidaknya ada dua faktor penyebab. Faktor pertama bersifat objektif. Sejak lama, perkembangan sastra di Jawa Timur bukan saja ditopang oleh ruang kebudayaan di media-massa, tetapi terutama digerakkan oleh pelbagai forum dan komunitas sastra yang tersebar di seantero wilayah Jawa Timur. Antara lain berkat “militansi” para penyair Jawa Timur dari dulu sampai sekarang, forum baca puisi di provinsi ini selalu lebih giat dan lebih semarak daripada forum baca prosa. Banyak kota di Jawa Timur punya komunitas sastra yang aktif: Surabaya, Mojokerto, Jombang, Banyuwangi, Jember, Malang, Batu, Gresik, Lamongan, Ngawi, Blitar, Bangkalan, Sumenep dsb. Dan puisi boleh dibilang telah mentradisi sebagai “mata uang” utama yang dipertukarkan di antara anggota komunitas maupun antar-komunitas melalui mimbar-mimbar pembacaan puisi. Medan sosial sastra Indonesia di Jawa Timur selama ini cenderung lebih kondusif bagi pertumbuhan puisi ketimbang prosa.
Faktor kedua bersifat hipotetis. Ketika berbicara tentang Jawa Timur, orang sering lupa bahwa “Jawa Timur” itu sesungguhnya tidak benar-benar ada, atau minimal belum sepenuhnya ada. Sebuah unit administratif bernama Provinsi Jawa Timur memang ada, tapi kita sebetulnya bisa berdebat mengenai keberadaan Jawa Timur sebagai unit sosio-kultural yang nyata.
Tiada masyarakat tanpa bahasa. Sampai dewasa ini, bahasa Indonesia bukanlah bahasa-ibu dari sebagian besar sastrawan Jawa Timur yang menulis dalam bahasa Indonesia. Bahasa-ibu penduduk Jawa Timur umumnya adalah bahasa daerah, dan bahasa daerah di Jawa Timur bermacam-macam. Sebagian penduduk Jawa Timur berbahasa Jawa, sebagian lain berbahasa Madura, sebagian lain lagi berbahasa Osing. Bahasa Jawa orang Madiun di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih halus, mengindahkan tata-krama berbahasa, berbeda dari bahasa Jawa orang Surabaya yang lebih kasar dan egaliter. Pendek kata, tak ada “bahasa Jawa Timur”. Provinsi ini tak punya bahasa regional yang dominan, solid dan otoritatif seperti bahasa Jawa di Jawa Tengah, bahasa Sunda di Jawa Barat, atau bahasa Bali di Pulau Bali. Jika tiada masyarakat tanpa bahasa, sementara tak ada “bahasa Jawa Timur”, adakah “masyarakat Jawa Timur”? Adakah “Jawa Timur”?
Di Jawa Timur, bahasa Indonesia adalah lingua franca: sarana komunikasi bagi sekumpulan penduduk yang berbeda bahasa-ibu, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan “masyarakat Jawa Timur”. Seseorang yang tumbuh-besar di Surabaya, sehari-hari berbahasa Jawa kasar Suroboyoan dan hanya memakai bahasa Indonesia dalam acara resmi, harus menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang Madura, dalam kesempatan formal maupun informal. Dia juga harus berbicara dalam bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan kerabat di Ngawi, karena bahasa Jawa egaliter Suroboyoan yang dikuasainya akan terdengar kurang-ajar di telinga warga Jawa Timur bagian barat. Bahasa Indonesia menebus diskomunikasi dan miskomunikasi di tengah kemajemukan bahasa-bahasa lokal di Jawa Timur. Dengan kata lain: “bahasa Jawa Timur” sesungguhnya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang memungkinkan imajinasi tentang sebuah Jawa Timur, suatu mozaik beragam subkultur dan bahasa setempat.
Masalahnya, bahasa Indonesia mengandung endapan kenasionalan yang terlalu pekat untuk menyegel keregionalan Jawa Timur. “Bahasa Jawa Timur” adalah bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Kepemilikan ini diabsahkan secara historis oleh memori kolektif tentang sebuah Indonesia yang didefinisikan oleh Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sedangkan Jawa Timur boleh dibilang tak punya memori kolektif yang cukup solid untuk mendefinisikan diri, untuk dijadikan pijakan mengucapkan diri secara otentik. Ingatan tentang kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, semisal Singasari dan Majapahit, sudah terlalu rangup dan sayup dimangsa waktu, bagaikan puing-puing candi yang berserakan di Trowulan. Karya pujangga keraton Jawa Timur sulit diakses oleh generasi kini. Dan tak ada bahasa pra-Indonesia yang cukup inklusif untuk membingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur. Bingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur hanya disediakan oleh bahasa Indonesia, tapi bingkai ini selalu terbetot ke luar, ke arah “bangsa Indonesia”. Jawa Timur tak punya bahasa, kecuali bahasa Indonesia: bahasa yang menyuarakan dan sekaligus membungkam “Jawa Timur”, membentuk dan sekaligus menyangkal “masyarakat Jawa Timur”.
Pada hemat saya, posisi ambigu bahasa Indonesia di Jawa Timur adalah faktor “bawah-sadar” yang menyebabkan kenapa provinsi ini menjadi lahan subur puisi, ragam sastra yang merayakan ambiguitas makna. Menjelajahi medan ambiguitas makna berarti menyusun korespondensi baru antara hal-ihwal, dan itu artinya menciptakan bahasa. Makna “Jawa Timur” hanya eksis dalam hubungan komunikasi via bahasa Indonesia, tetapi eksistensi Jawa Timur baru betul-betul bermakna apabila ia mampu mengucapkan diri secara otentik, menjadikan bahasa Indonesia sebagai milik sendiri. Di sinilah peran penyair sebagai penjelajah medan ambiguitas makna yang menciptakan bahasa. Di Jawa Timur, ada kebutuhan laten untuk terus-menerus mentransformasi bahasa Indonesia menjadi sebentuk bahasa baru yang bergerak dalam tegangan antara kutub komunikasi dan kutub ekspresi: bahasa puisi, bahasa yang sama dan sekaligus berbeda dari bahasa generik bangsa Indonesia. Secara eksistensial, Jawa Timur butuh bahasa puisi. Karena itulah puisi berjaya di Jawa Timur. Bukan berarti prosa tak penting. Hanya saja, karena cenderung memberat ke kutub komunikasi, prosa relatif kurang menjanjikan bahasa baru yang dibutuhkan Jawa Timur untuk mengucapkan diri secara otentik dan mengada.
Dibayangi tarik-menarik antara fungsi komunikatif dan fungsi ekspresif bahasa Indonesia sebagai bagian dari dinamika proses “menciptakan Jawa Timur”, saya memilih enam sastrawan untuk tampil di forum ini: S. Yoga, Indra Tjahyadi, Timur Budi Raja dan A. Muttaqin di bidang puisi, Mardi Luhung dan Stefanny Irawan di bidang prosa. Karya mereka saya nilai representatif untuk menampilkan sketsa perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur kiwari. Namun selain soal kemutakhiran belaka, perkara intensitas kreatif, pencapaian estetik dan kematangan pengucapan menjadi poin penting yang menentukan terpilihnya mereka sebagai wakil Jawa Timur di forum ini.
S. Yoga adalah penyair yang tumbuh dari lingkungan Universitas Airlangga Surabaya pada paruh kedua 1990-an. Pada masa itu, kendati lebih dikenal sebagai aktor teater, ia menulis puisi yang seolah mereaksi gerakan “puisi gelap” yang dikibarkan rekan-rekan sekampusnya. Kiprahnya sebagai penyair mulai tampak menonjol sejak awal abad 21.
Puisi-puisi Yoga mewakili perkembangan terbaik di Jawa Timur dalam arus puisi yang setia menjaga fungsi komunikatif bahasa. Bahasa puisinya terang dan wajar, tidak dirumit-rumitkan atau digawat-gawatkan, tapi secara konsisten diwarnai getaran puitik yang menyembul di sana-sini dari retakan antara penanda dan petanda. Yoga bermain di ambang puisi dan prosa untuk melonggarkan, tanpa pernah melepaskan, ikatan konvensional antara kata dan makna, antara narasi dan pesan. Dalam permainan itu, ia banyak mengaktifkan nostalgia sebagai cara untuk menebus kutuk waktu dan mengatasi fragmentasi realitas. Puisi-puisinya ditulis, sebagaimana ia nyatakan dalam puisi “Naik Sepeda Fongers”, “agar kita tahu betapa isyarat menjadi tanda yang berarti”.
Indra Tjahyadi adalah tokoh gerakan “puisi gelap” yang merebak dari kalangan penyair muda di Universitas Airlangga pada sekitar pergantian milenium. Bersama sejumlah penyair muda lain seperti W. Haryanto, Mashuri dan Deny Tri Aryanti, Indra menjelajahi palung-palung gelap di kedalaman psike manusia modern. Puisi-puisinya merayakan hidup terkutuk dan mimpi buruk, kehancuran dan kegilaan, neraka dan nekrofilia. Dalam kredo puitik “Manifesto Puisi Gelap”, Indra menyatakan bahwa tugas penyair adalah menyelamatkan manusia dari kejatuhan mengerikan ke jurang kebanalan dunia, dan untuk itu penyair harus menghancurkan dunia. Caranya dengan melakukan penggelapan makna: sejauh mungkin mendorong puisi bekerja dalam tataran pemaknaan paling ambigu.
Namun belakangan, karya puisi Indra menampakkan perubahan. Dalam puisi-puisi terbarunya, seperti “Kasidah Kepergian”, kegelapan puitik kian paralel dengan dukalara, kepedihan dan kesedihan. Puisi baru Indra seperti menyedot kepiluan Nyanyi Sunyi Amir Hamzah dan depresi puisi-puisi awal Chairil Anwar, lalu meledakkannya ke arah dalam, menjadi implosi kemurungan. Dan efeknya, mungkin tanpa disadari sang penyair, puisinya justru menjadi semakin terang. Mendung perasaan kian menggusur mendung makna.
Betapa pun, sampai hari ini, di Jawa Timur belum muncul gerakan puitik baru yang semilitan dan seserius “puisi gelap” Surabaya. Mazhab “puisi gelap” mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khazanah puisi dari berbagai provinsi lain, sehingga layak dicatat sebagai kontribusi unik Jawa Timur dalam sejarah sastra Indonesia kontemporer.
Timur Budi Raja mewakili penyair muda yang dihasilkan Madura, pulau kecil tandus yang telah melahirkan tiga penyair nasional: Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman. Tapi di luar tiga nama terkenal itu, Madura sesungguhnya tak henti melahirkan penyair. Selain Timur Budi Raja, saat ini Madura memiliki beberapa penyair lain yang aktif, seperti Syaf Anton Wr dan Hidayat Raharja dari generasi senior, M. Faizi, M. Fauzi dan Umar Fauzi dari generasi baru.
Timur menarik perhatian saya karena puisi-puisinya terasa tidak terbebani oleh tauladan literer trio penyair nasional asal Madura yang dengan intens mengeksplorasi dan mengeksploitasi khazanah natural-kultural Madura dan/atau nafas religius Islam (agama orang Madura). Citraan alam Madura memang masih menggenangi puisi-puisi Timur, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa penulisnya tinggal di Pulau Madura. Sebagai orang Madura yang memiliki budaya khas dan bahasa daerah sendiri, selaku anggota kelompok etnis yang relatif eksklusif, Timur tidak terdorong menghadirkan warna lokal Madura dengan pretensi “ideologis”. Dalam puisi-puisinya, tidak terasa adanya suatu pemujaan kepada pulau kelahiran sebagaimana diperagakan oleh puisi Abdul Hadi atau Zawawi Imron.
Madura dalam puisi-puisi Timur cenderung dimaknai sebagai sebentang kesunyian: ranah yang gemetar menanggung perih perpisahan, kepergian dan kehilangan. Itulah Madura yang terus-menerus menyaksikan warganya pergi meninggalkannya ke tanah rantau di seberang lautan. Puisi-puisi Timur menggemakan kesunyian yang seakan menghapus sejarah Madura, mengubah pulau kelahiran sang penyair menjadi sepotong geografi tanpa biografi, tubuh tanpa riwayat, masa kini tanpa masa lampau dan masa depan.
A. Muttaqin adalah sastrawan termuda di forum ini. Ia tumbuh dari lingkungan Universitas Negeri Surabaya, basis sastra penting di Jawa Timur. Prestasinya paling cemerlang di antara para penyair angkatan terbaru Jawa Timur.
Muttaqin meramu anasir-anasir alam, flora, fauna dan mitologi dengan lincah, renyah dan canggih, hingga menjadi bangunan puitik yang terasa akrab dan sekaligus asing, ringan tapi menyimpan kedalaman, rimbun namun bening. Seringkali puisinya seperti menarasikan suatu pokok, terdengar seperti bercerita, tapi makna yang dijanjikan selalu bertukar-tangkap dengan lepas. Puisi-puisinya bagai mengulurkan benang Ariadne yang menuntun dan sekaligus menyesatkan pemaknaan di labirin tanda-tanda, menjerat pembaca dalam permainan tarik-ulur makna yang mengasyikkan.
Muttaqin tahu bahwa makna tak bisa diusir dari bahasa, sementara puisi tak mungkin hidup di luar bahasa. Karena itu, dalam puisi-puisinya, ia tidak berupaya menihilkan makna. Makna diterima, bahkan dipelihara, tapi dikendalikan secara ketat agar tak sampai meringkus puisi menjadi ide atau pesan. Kontrol makna dilakukan dengan menekankan aspek materil bahasa, terutama bunyi. Rima dan ritme terus-menerus menginterupsi makna, tak henti-henti mengembalikan makna kepada bunyi. Dalam puisi-puisi Muttaqin, bunyi menunda makna, dan penundaan ini berefek menyegarkan bahasa.
Mardi Luhung adalah penyair terkemuka di Jawa Timur, namun ia tergolong pendatang baru di bidang penulisan prosa. Cerpen-cerpennya sesekali menghiasi koran lokal antara 1994-1999, lalu absen cukup lama, dan muncul lagi di media-massa daerah dan nasional sejak 2008. Karya prosa Mardi Luhung menawarkan alternatif yang segar dan berani dengan mengaduk kritik sosial, fantasi, humor dan ironi. Narasi Mardi seperti celotehan spontan tukang dongeng kurang-ajar yang meriwayatkan suatu dunia-kehidupan di mana anomali dan abnormalitas, kegilaan dan kekonyolan, diterima dengan akrab dan sedap sebagai suatu keniscayaan.
Cerpen “Ikan yang Menyembul dari Mata” menyodorkan alusi terhadap sejarah, yakni tragedi pembantaian massal 1965. Tak ada plot dalam cerita ini. Sang pendongeng membuka kisahnya dengan informasi biografis yang didefinisikan oleh ingatan tentang prahara pembunuhan besar-besaran: “Aku dilahirkan di bulan Maret. Empat puluh tahun yang lalu. Bertepatan ketika negeriku mengalami hari-hari berdarah.” Dan selanjutnya ia berceloteh seperti orang kesurupan atau mengigau, bertutur melantur kesana-kemari tentang ikan, penyair, pahlawan, pembakaran pasar, teroris pengebom, Sisifus, orang sinting dsb. hingga berakhir, seolah menyelesaikan siklus, pada veteran algojo pembantaian massal. Mardi mengaktualkan trauma sejarah dengan mengaktifkan narasi personal khaotik. Mencampur inskripsi kejadian historis dan strategi refleksi-diri, cerpen ini memproblematisasikan wacana sejarah dan representasi sejarah.
Stefanny Irawan adalah cerpenis muda alumnus Universitas Kristen Petra Surabaya, kampus yang sebelumnya tak pernah dikenal melahirkan sastrawan. Dalam karya-karyanya, Stefanny banyak menyoroti kehidupan kalangan kelas menengah urban, tak jarang dengan menampilkan latar luar negeri dan tokoh-tokoh bernama asing. Ia memanfaatkan daya komunikatif dan kekuatan retorika sastra populer, termasuk sentimentalismenya, untuk mengangkat perkara-perkara yang sebagian masih dianggap tabu oleh masyarakat umum di negeri kita, misalnya lesbianisme dan hubungan seks di luar nikah.
Cerpen “Pelacur” mengisahkan tentang krisis kejiwaan seorang remaja 16 tahun yang begitu menggebu-gebu ingin menjadi pelacur. Stefanny menelusuri sebab-musabab kompleks di balik hasrat seseorang untuk melacur. Dengan peka dan telaten, ia mengurai riwayat perversi psikologis pelik yang melibatkan problem suami-istri, gejolak libido, seduksi citra dan transeksualitas. Serentak dengan itu, makna “pelacur” pun dipertanyakan. Marka-marka moralitas dan normalitas digoyang. Cerpen ini membocorkan sisi gelap sejarah seksualitas kontemporer yang direpresi di lapisan bawah-sadar masyarakat urban.
Jawa Timur adalah konstruksi yang belum selesai karena masih terus dibangun – terutama oleh kerja imajinasi. Sejarah Jawa Timur tidak berakar di masa silam, tapi merentang ke masa depan. Sebagai pekerja imajinasi, enam sastrawan yang tampil di forum ini adalah para perawi sejarah Jawa Timur.


______________
Arif Bagus Prasetyo, sastrawan dan kurator seni rupa. Lahir di Madiun pada 1971, tumbuh di Surabaya, kini tinggal di Denpasar. Pada 2002 mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat. Bukunya antara lain Mahasukka (2000), Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005), Memento: Buku Puisi (2009).

NB : Pada penerbitan yang lalu, telah saya publikasikan esai Arif BP yang dimuat oleh Jawa Pos dengan judul Jawa Timur Negeri Puisi. Seperti keterangan saya di bawah esai Arif, bahwa tulisan Arif di Jawa Pos adalah esai kuratorial untuk acara Sastra Indonesia Hari Ini : Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Salihara pada pertengahan tahun 2010. Maka, pada kesempatan kali ini saya akan menayangkan catatan kuratorial Arif BP secara lengkap dan esai ini (tampilan lengkapnya) tak pernah dipublikasikan secara luas di Jawa Timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...