W. Haryanto
Pandangan Arif B Prasetya tentang sastra Jawa Timur (Jawa Pos, 25 Juli 2010)—bukanlah ‘sesuatu yang baru’, tetapi hanyalah runtutan catatan politis yang diperkenankan oleh Dewan Kesenian Jakarta terhadap—‘apa yang disebut sejarah Jawa Timur’. Agus R. Sardjono secara eksplisit menyebut, ‘kelisanan (orality) dalam kehidupan sastra modern Indonesia harus segera beralih menuju keberaksaraan (literacy)’ (pengantar buku Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Dan, acuan Arif B Prasetya pun tak jauh-jauh.
Tampak jelas, jika ‘persemaian Jawa Timur’, yang dicatatkan, katakanlah pada buku Pesta Penyair (DKJT, 2010)—hanya kepentingan pusat untuk mengkontrol wilayah-wilayah jajahannya. Dan, politik ini semakin jelas dengan tidak tercantumnya nama Kuspriyanto Namma dan Bagus Putu Parto dalam buku Pesta Penyair. Karena, kedua penyair ini adalah gerbong utama Revitalisasi Sastra Pedalaman, sebuah gerakan sastra yang menolak perspektif Jakarta di tahun 80-an dan sedikit menganggu ‘tidur nyenyak’-nya Jakarta. Faktanya, kedua penyair ini tetap berproses dan menuliskan karya-karyanya, seperti terlihat dalam antologi Malsasa (terbit tahun 2009). Lebih celaka lagi, muncul penyair-penyair yang ‘tak punya sejarah’ yang dipaksa masuk ke dalam buku terbitan DKJT itu.
Jakarta, memang punya kepentingan strategis—dengan menghapus ‘kelisanan’ sastra dalam sejarah sastra Indonesia, utamanya berkait dengan politik identitas. Jakarta masa kini, dengan memanfaatkan pelembagaan puitiknya (DKJ dan media massa terbitan Jakarta) berupaya mencengkeram militansi kedaerahan. Seperti ungkapan Sutardji Calzoum Bachri, ‘yang dibutuhkan Riau adalah merdeka dari estetika Jakarta’ (dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Implikasi standari-sasi estetika khas Jakarta justru mempermiskin persemaian sastra dan cenderung menciptakan budaya plagiat dan penyeragaman karya. Karenanya, puisi-puisi Jawa Timur ‘hampir tak biasa’ menyokong berbiaknya dinamika kebudayaan Indonesia—karena kebanyakan penyair cenderung ‘menjiplak’ Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono maupun Sitok Srengenge. Toh, kalaupun ada militansi dan fragmentasi estetika, keberadaan penulis-penulis militan ini pun tidak diakui oleh pelembagaan kesenian formal.di Jawa Timur. Inilah kenyataannya.
Toh, sebuah teori sastra tidak bisa dipakai untuk menilai ratusan kreativitas. Tak urung, Lucien Goldmann menyebut, “teori saya (strukturalisme genetic) hanya bisa dipakai untuk membahas karya Andre Marlaux, Pascal, Jean Recine, atau karya-karya lain yang punya struktur yang sama dengan ketiga karya tersebut.” Maka, dibutuhkan begitu banyak cara pandang untuk membaca Jawa Timur—dan bukan lewat ‘asumsi’ tetapi penjelmaan riset, analisis, dan tumbuhnya pelbagai persepsi untuk mewadahi pelbagai gejala kesastraan.
Militansi dan ketidakpuasan komunitas sastra terhadap sumbu-sumbu kekuasaan Jakarta ‘memicu’ tumbuhnya konsep independent tentang kualitas karya. Maka, definisi kualitas berujung pada indikator komunikasi antara teks dan audiens secara langsung. Seiring timbulnya sikap skeptis terhadap ‘replika’ kesadaran Jakarta. Pelbagai alternatif muncul, baik lewat pembacaan puisi dan penerbitan. Kita bisa mencatat, antara lain, Mimpi Jakarta (R. Giryadi, 2006), Suara-suara Sumbang (Rego S. Ilalang, 2006), Reuni (Ali Ibnu Anwar, 2006), Kesaksian Sebuah Perjalanan (Brewok A.S, 2004), Pisau Melukis Gelas (Igbal Barras, 2009), juga antologi Malsasa yang terbit tahun 2005, 2007, dan 2009—daftar ini sebenarnya masih cukup panjang.
Grand design Jakarta perihal estetika dan keberaksaraan—hanya menyentuh lapisan terluar Jawa Timur, yakni penulis-penulis yang ‘berpikir ala Jakarta’, utamanya penyair-penyair Surabaya. Pergeseran estetika terjadi pada beberapa sektor, (i) mobilitas sastra on-line (internet) yang telah mempengaruhi persepsi kita terhadap sejarah sastra (sastra Koran). Maka reproduksi sastra dan pembentukan karakter terjadi lewat pembiakan yang ‘hampir tanpa kontrol’. Pengertian kualitas—yang awalnya, menjadi status quo dan hak-hak istimewa kaum akademisi, redaktur, aparat-aparat kritis—lambat laun runtuh dan tak punya hak bersuara lagi. Dialektika terjadi semarak, hampir tak berjarak lagi penulis dan audiens, konstruksi pikiran pun dibongkar sebebas-bebasnya.
(ii) Menguatnya aspek ‘kelisanan’ yang menggali sumber-sumber inspirasi dan pengetahuan dari apa—‘yang kita kenal kehidupan sehari-hari’. Komunikasi sederhana antar individu, makna-makna yang terkesan verbal dan struktur puitik yang simple dan ‘tidak bertele-tele.’ Seperti tampak pada kutipan karya Kuspriyanto Namma berikut,
Mula-mula hanya menebang sebatang pohon
Tak ada teguran
malah mendapat tambahan kawan
maka ramai-ramai mengubah hutan jadi lading
ditanami palawija yang menguntungkan
Mula-mula hanya banjir besar kecil-kecilan
dianggap cobaan ringan
ketika rumah-rumah hanya terlihat wuwungan
baru tersadar bahwa hutan telah hilang
butuh dua puluh lima tahun untuk menanam
(Sajak “Catatan Tahun 2007”, antologi Malsasa 2009, hal. 50)
Struktur puisi di atas, hampir tak memakai konstruksi simbol yang berbelit. Pesan yang disampaikan cukup sederhana, tetapi cukup menggugah emosi—dan ditandai ‘psikologi otomatis’ yakni, upaya penyair yang memindahkan obyek dengan tanpa membebani pikiran-pikiran abstrak. Kuspriyanto Namma, membangun konstruksi puitiknya dari bentukan tanda-tanda yang lazim, dan mengubah peristiwa referensial menjadi—‘bunyi pikiran’ yang khas. Teknik ini mengingatkan kita pada beberapa sajak Rainer Maria Rilke dalam kumpulan ‘The Cornet’.
Tampak sekali, perbedaan antara persepsi Jakarta dan kebanyakan penyair-penyair Jawa Timur. Jika, Jakarta masih belum selesai mempersoalkan ‘bahasa’ dan bagaimana meletakkannya—sebagai sesuatu yang abstrak, ekslusif, dan terus-menerus dieksplorasi (hampir tanpa ujung). Sebaliknya, sebagian penulis di Jawa Timur sudah selesai mempersoalkannya (setidaknya usai eforia Reformasi) dan justru menggali—inspirasi yang lebih kongkrit dan rasional. Maka, cukuplah naïf, jika asumsi Jakarta ditempatkan untuk membaca Jawa Timur. Terlebih, karena komponen struktur dan alam budaya yang melatari kreativitas tak mungkin dibakukan. Dan, butuh banyak persepsi untuk mendalami ‘bawah sadar’ penulis-penulis Jawa Timur.
W. Haryanto, eseis, Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar, dan Ketua Forum Alumni Unair Independent (FauNA). Menyunting sejumlah buku penulis-penulis muda Jawa Timur, antara lain, Konstruksi Bunyi dan Taman Benda-benda (Antologi Mutakhir Penyair Jawa Timur edisi 3, tahun 2010), Penulis Muda Jawa Timur Bicara Sastra (esei, 2010). Juga menerbitkan karya kompilasinya berjudul Stop Anggodo Violence! (antologi puisi-drama)
NB : Ini adalah esai tanggapan dari W. Haryanto setelah penayangan esai Arif B. Prasetyo seminggu sebelumnya. Di facebook, perdebatan mengenai sastra Jatim beberapa waktu lalu ramai. Saling serang terjadi. Di luar dua esai ini, juga ada beberapa esai lainnya, semacam esai AF Tuasikal di Kompas, Beni Setia, maupun Fahrudin Nasrulloh. Akan tetapi, pada kesempatan lain saja saya akan mencari esai-esai mereka. Jika dibaca lengkap, semoga perbedaan pikiran itu dapat ditemukan titik tengahnya sehingga menjadi sumbangan yang sangat berharga bagi sastra Jawa Timur. Semoga.
Komentar