(melantur menikmati puisi Aziz Alfarizi)
/1/
Seketika saya harus menjadi orang yang menyebalkan ketika harus berhadapan dengan serangkaian puisi Aziz Alfarizi. Kemenyebalan itu disebabkan karena saya harus menjadi semacam ekseskutor dan puisi-puisi Aziz harus saya pertanggungjawabkan di depan khalayak, meski hanya dalam lingkup kecil, forum rutin Komunitas Rabo Sore. Alangkah nikmatnya bila saya menjadi pembaca yang tidak terbebani apapun ketika berhadapan dengan puisi-puisi Aziz. Tapi baiklah, saya mencoba memberati diri saya sebagai pembaca yang sok kala menghadapi puisi-puisi Aziz.
Kali awal izinkan saya mengutip mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Osip Mandelstam bahwa membaca puisi yang bagus ibarat melakukan latihan pernafasan. Sungguh, ia memasukkan kesegaran dari luar, menahannya, meresapkan ke dalam arus darah dan menghembuskan keluar anasir yang tak diperlukan lagi oleh tubuh. Lalu puisi pun menjadi semacam terapi jiwa, proses katarsis yang dimanifestasikan oleh penyair dalam berbagai bentuk padu padan lapis puisi.
Benar pulalah yang dikatakan oleh Hasif Amini jika kita menengok ke dalam puisi tentu akan kita jumpai pelbagai macam cara berbahasa yang kadang sampai ke kutub-kutub ekstremnya. Dan bermacam-macam cara itu merupakan sebuah jalan, di mana bahasa akan sangat mungkin menemukan kesegarannya. Dengan puisi, seakan terbukalah sebuah suaka bahasa : di mana ketidaklaziman, kegilaan, maupun pemberontakan dirayakan dengan tandas.
/2/
Lalu bagaimana dengan posisi saya terhadap puisi Aziz? Saya mencoba memasukinya serupa orang bernafas setiap hari. Melalui sebuah pembacaan, saya bisa bernafas, tapi nafas yang tersengal dan menyesakkan. Saya seolah dihadapkan dengan kemunafikan kota besar yang ditulis oleh Aziz dalam puisinya…Di gelap-gelap ruang karaoke/ dengan desahan tarian syahwat/ memeras keringat//…wajah penuh dosa terhimpit syahwat/ mau muncrat ke cawat-cawat sundal (Senyawa Malam). Lalu…mampetnya WC umum kurang air/ beraroma pesing kotoran manusia//…umpatan kotor para gelandangan/ pada nasibnya yang jorok (Aroma Pasar).
Kemudian saya bertanya di manakah posisi penyair dalam menghadapi kenyataan? Di sini saya dihadapkan bahwa penair bisa memosisikan diri sebagai apapun. Entah yang berdiri menantang seperti halnya Rendra atau mungkin juga Wiji Thukul yang berteriak: hanya ada satu kata : lawan! Mungkin pula Aziz ingin diam tenang ala Goenawan Mohammad yang berdiam sembari membidik apa yang ada di depannya dengan menghanyutkan. Mereka berhadapan dengan kenyataan sebagai objek langsung yang ingin ditaklukkan. Jadi bermacam teriakan, ancaman, sampai desahan bisa dengan bebas diteriakkan.
Tampaknya Aziz ingin mencoba berteriak, meski sesekali ia sisipkan kelembutan dengan idiom manis semacam…melabrak senyap, menyelinap/ pada rumus rekayasa//…keluar masuk jendela berjeruji/ gumam kata bercahaya di dada (Perenungan).
Yang menjadi masalah di sini adalah di manakah Aziz menjatuhkan pilihannya? Sebab seperti yang pernah ditulis oleh Mardiluhung bahwa puisi adalah suatu bentuk kegiatan berbahasa yang paling tinggi. Atau katakanlah puisi harus mengatasi senyap kenyataan. Apalah arti menulis puisi bila kenyataan yang biasa dipamerkan di media lebih seram, lebih menggoda untuk dibaca. Di tempat inilah kecerdasan penyair dituntut.
/3/
Apabila saya seorang pemvonis, maka saya ingin memberikan vonis pada puisi-puisi Aziz sebagai puisi yang ragu. Puisi-puisi Aziz semula diniatkan sebagai puisi protes yang mengambil demarkasi berhadapan langsung dengan kenyataan. Tanpa adanya tawaran atau benturan yang bias mengejutkan saya. Lain halnya jika kita bandingkan dengan puisi-puisi yang berangkat dari kenyataan namun terus terbang melayang menjadi orang setengah waras tapi masih berjejak dengan dasar. Contohlah puisi Mardiluhung yang berjudul Orang yang Bertuhan Jelek…aku makan orang/ makan mentah-mentah jadi berita gempar….
Perkara puisi, saya teringat perkataan Abdul Hadi WM bahwa seorang penyair yang baik adalah kritikus yang baik bagi puisi-puisinya. Tidak salah jika Abdul Hadi mengatakan kalau kelalaian seorang pemula adalah kelalaian dalam memeriksa puisinya sebelum dipublikasikan secara luas.
Saya pun mengajukan pertanyaan pada seorang aziz alfarizi, berada di jalur manakah puisi-puisinya? Apakah ingin menjadi seorang peneriak yang lantang atau ingin menjadi seorang pengamat yang memandang luas lantas menenangkan diri di dalam kamar? Sungguh, semoga kelak sikap mendua tidak lagi terjadi walaupun pada akhirnya puisi adalah proses pencarian tanpa henti dan penyair setiap saat dapat berbelok ke mana pun ia mau. Bahkan mati sekalipun.seperti kita baca spirit pada puisi-puisi Nirwan Dewanto akhir-akhir ini yang sering saya baca. Semua menjadi sesuatu yang dihalalkan.
/4/
Akan seperti apa puisi-puisi Aziz kelak? Saya tidak tahu dan akan mengikuti proses yang dijalani oleh aziz. Sebab seperti tertulis di atas bila puisi adalah proses pencarian. Segala yang menunggu di depan akan menjadi sebuah kemungkinan bagi Aziz alfarizi. Tidak ada yang tidak mungkin. Sebagaimana saya tidak tahu akan ke manakah saya melangkah setelah menulis lanturan ini. Semoga saya akan ke kamar kecil.
Komentar