Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Indra Tjahyadi


AFTERWORD

pada akhirnya kau pun pergi
entah ke benua mana
entah ke laut mana
entah ke dunia mana
tapi masih saja
aku setia kirimkan pesan
pesan singkat buatmu
meski di gerimis tak mesti
hanya rasa sakit
yang menghubungkanku denganmu
dengan bayang-bayang darah
yang menjelma huruf
huruf sunyi
bait-bait murung sajakku

2007.

MAUT SENDIRI

engkau terasa begitu jauh
bahkan lebih jauh ketimbang bulan

sungguh pernah kurajahkan kembang
dan kupu-kupu di gelap dadamu
tapi kecantikanmu adalah kepergian
dikekalkan jarak terjauh

siapa bertugur sendiri di bawah kabut
mereguk derita yang tak juga surut
bersama luka
sunyi membakar
buku-buku umur dan kerinduanku

kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu
ketika seekor burung malam terbang
menembus mendung
tapi hanya sosok langit yang remuk
yang pernah terpekik dari suaraku

tak ada doa
tak ada airmata
yang mengantarku
sampai ke dasar lubuk kubur

di kota tandus tak berlampu
kututupkan pelupukku
kukenang namamu
darah hitam
menetes dari sajakku
butirannya yang tajam menancap
lalu menggeram di dasar maut
: mautku!
maut sendiri

2007.

POHON YANG HIDUP DI JAM LARUT
: fransisca romana ninik

Kesendirian menguntitku. Kelam yang merangkak
menghisap darahku. Dari Neraka yang begitu
jauh dan tak terbayangkan, kesunyianku meluncur.
Burung-burung bersayap muram terbang diam, tiba-tiba
meledak di ujung mendung.

Kusaksikan bulan memar menyoroti malam. Kusaksikan
gelap yang pekat, kian memekat, membekas di jejakku
yang rapuh. Pernah kutangkap degup nafasmu
yang memabukkan, lantas kutempuh jalan menuju cumbu,
tapi rindu dalam lengang kalbu terlampau pahit, teramat sakit.

Bila musim beringsut, Kasihku, iklim akan mencatat
kesepianku, dan pohon-pohon yang hidup di jam
jam larut akan meneguhkan keterasinganku,
seperti bunyi sumbang dentangan lonceng gereja
di hari Paskah yang tak pernah menyebut nama. Namaku.

Kiranya masih kusimpan sisa kecupmu dalam senyap detak
jantung yang tinggal lelah berbau kubur, meski dalam
tidur, sajakku telah jauh berjalan, jatuh dalam bisu
tak berujung. Tenggelam dalam hampa tak berjuntrung.
Seperti mayat seorang perindu yang membusuk. Serupa aku.

2007.

Lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga. Probolinggo. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen. Juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya, baik puisi, esai maupun cerpen, termuat antara lain :di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Jurnal Cipta, Sastra, , Jurnal Puisi, Kompas, Koran Tempo, Republika, Suara Karya, Surabaya Post, Surabaya News, Jurnal LaminSastra, Jawa Pos, Bali Post, dan lain-lain.Juga di kumpulan puisi bersama, antara lain: Upacara Menjadi Tanah (1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (1996), Seribu Wajah Lilin (1997), Rumah Yang Kering (1997), Luka Waktu; Antologi Puisi Penyair Jawa Timur ’98 (1998), Penunggang Lembu Yang Ganjil (2000), Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (2002), Manifesto Surealisme (2002), Permohonan Hijau (2003), Birahi Hujan (2004) dan Dian Sastro for President; End of Trilogy (2005). Tahun 1997, kumpulan puisinya Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997. Ia salah satu pemenang Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis. Puisi-puisinya juga pernah dibacakan di Radio Deutsche Welle. Ia pernah membacakan puisi-puisinya di Festival Seni Surabaya 2003 dan Pertemuan Sastrawan Nusantara ke XIII. Juga pernah membacakan sajak-sajaknya di TIM dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia. Manuskrip kumpulan puisinya Di Bawah Nujum Kabut tercatat sebagai salah satu nominasi penghargaan KSI Award 2003. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris termuat di Big Lick Literary Review; a Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal.Ekspedisi Waktu (2004) adalah buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit.

NB : Jujur, ini penyair idola saya banget!

Komentar

kakjaya mengatakan…
Puisinya bagus ya,

salam kenal
salam kenal dan terima kasih dah mampir ke blog saya. puisi-puisi Mas Indra memang begitulah. karena membaca puisi-puisi beliau, saya termotivasi ikut menulis juga. puisi-puisi Mas Indra yang sekarang mengalami evolusi, jadi tunggu saja pemuatan puisi-puisi Mas Indra selanjutnya!

matur nuwun!

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI