1. Buku Sastra Raksasa.
Ruang sastra, yang turut membentuk berlangsungnya kebudayaan pasti mengalami titik klimaks dan titik nisbi. Kapan sastra berkulminasi, ia akan mendominasi kadar warna kebudayaan pada suatu komunitas atau negara. Sebaliknya sastra pada titik nisbi, cenderung termarginalkan kekuasaan dan hanya menjadi keranjang luapan keluh bagi pecintanya.
Sepanjang meruangnya sastra dalam sejarah ke-indonesia-an, kembang kempisnya kesusastraan juga dipengaruhi pertarungan antar sekterianisme sastra. Yang mana dalam perhelatan itu tiap sempalan (golongan) justru mengamalkan kilas balik nilai pluralisme kebangsaan.
Sumpah Pemuda yang mengikat ke satu bangsa, satu bahasa, resmi melibas spora lokalitas. Padahal, keindonesiaan itu sendiri terbentuk dari berbagai lokalitas. Dalam wacana ini, sang ‘ibu sastra’ sebagai inti lokalitas didurhakai dengan mengagungkan ‘sastra pasar’ yang menjual dagangan di lapak media yang berbasis komunal sekterianistik. Disinilah inti lokalitas sebagai akar kesusastraan pluralitas tercerabut. Akibatnya kiblat sastra kehilangan arah. Di satu sisi menJogjakan genre sastra, di sisi lain menJakartakan, meMelayukan atau bahkan memBaratkan. Pluralitas yang semestinya ialah mempertgas identitas masing-masing, dan bukan menggeneralisasikan.
Sumpah Palapa Gajah Mada di bumi Majapahit seolah menyembul kembali dan sekaligus menjawab perpecahan antar sekte sastra kontemporer. Terbukti Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto tanggal 23 Oktober 2010 nekat melauncing antologi puisi dan cerpen dengan tajuk ‘Majapahit dalam Sastra’. Tentu bukan gejala megalomania paranoid pihak penyelenggara ke arah MURI buku sastra. Kita tau! Sejarah kesusastraan Indonesia sejak Zaman Balai Pustaka yang lahir 1908 hingga kini belum tercatat adanya kemonceran sejarah sastra. Apalagi era-sekarang, percetakan akan gulung modal jika menerbitkan buku sastra. Inilah kegilaan sastrawan bumi Majapahit yang menerbitkan 94 judul cerpen setebal 706 halaman dan 620 judul puisi setebal 825 halaman.
Siapa pun bisa berpendapat gebyah uyah perihal proyek penerbitan buku yang ketebalannya melibas Das Kapitalisnya Karl Mark. Namun sejarah akan mencatat lain jika melongok beberapa poin yang berkaitan dengan terciptanya buku antologi Majapahit dalam Sastra tersebut. Pertama: Alokasi dana untuk biro sastra di Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto hanya 2,5 juta / tahun. Sedang kekurangannya disokong dana pribadi pegiatnya termasuk DKJT senilai 1,5 juta. Bisa dibayangkan hiruk pikuk yang terjadi dalam sebuah proyek pengadaan buku yang bersandar’ati karep, bondo cupet’ini. Kedua: Awak kurator biro sastranya yang menyisir hingga 6 rem cetakan pengirim email dari seluruh pelosok nusantara. Ketiga: Bagaimana kerja team dalam merumuskan standarisasi pengkategorian karya yang dimuat. Poin ketiga inilah yang perlu dicuatkan sebagai alegori kerja sastra / kerja puitik ke tengah bergelimangnya kesusastraan Indonesia.
2. Sastra Perawan.
Awal pencetakan buku Antologi Puisi dan Cerpen Majapahit dalam Sastra ini mencapai total: 1531 lembar. Sedangkan agenda ini digagas rutin tiap tahun. Bisa dibayangkan proyek sastra raksasa tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Pekerja sastra yang terlibat akan dihadapkan pada persoalan teknis-adsministratif yang amat gigantik ketika menangani karya sastra senusantara.
Berbeda dengan buku cetakan Jurnal Cerpen atau Puisi Indonesia yang diterbitkan tiap tahun. Jurnal Indonesia, hanya memuat puluhan karya sastrawan yang dinilai kelas kakap saja. Sedang antologi Majapahit dalam Sastra ini memuat karya penulis dari pelosok ‘deso kluthuk’ sekalipun, yang dimungkinkan luput dari incaran kesusastraan pusat sebagai data base analisis. Dengan sendirinya, kehadiran karya sastra senusantara akan mendominasi unsur lokal dalam membentuk pluralitas yang bukan sentralitas.
Dominasi lokal dalam buku ini efektif jika dijadikan kajian kesusastraan Indonesia dalam menganalisa perubahan gen sastra kontemporer. Sebab karya sastra lokalitas pelosok adalah sastra yang masih ‘perawan’ sebelum dijamahi kecimpung pandangan sastra media yang notabenenya terbentuk hanya segelintir editor.
Penampungan gen sastra perawan yang apalagi se-nusantara, yang apalagi dilakukan pegiat sastra di area bumi Majapahit (biro sastra setempat) merupakan pengulangan gelombang waktu momental Sumpah Palapa Gajah Mada: Dimana kekuatan ekonomi pertanian pedalaman dirubah menjadi kekuatan ekonomi maritim federal yang bukan maritim sentralistik. Demikian agaknya rumusan yang melandasi terbitnya buku ini. Yaitu keberaniannya menampung indikasi perubahan genologi sastra nusantara. Orientasi yang diterapkan adalah merubah kekuatan sastra lokal pedalaman menuju kekuatan sastra maritim federal. Berbeda dengan konsep pusat yang menggeneralisasikan potensi lokal menuju karakter sentral.
Contoh kongkrit pergerakan sastra berbasis maritim federal dalam Antologi Majapahit dalam Sastra ditandai barisan nama dari belahan nusantara yang antara lain: Naqiyyah Syam (Lampung Timur), Maryam Zakaria (Gorontalo), Lola Giovani (Payakumbuh), Gracia Asri (asal Jogja tinggal di Perancis), Bambang Kariyawan (Pekanbaru), Yuli Duryat (asal Pemalang tinggal di Hongkong) dll. Nama nama ini tidak ditemukan dalam barisan sastrawan Indonesia. Sebagai sastrawan, nilai karya mereka sulit dideteksi secara individu ataupun komunitas. Namun memahami kesusastraan Indonesia secara komperehensif, karya mereka pasti membentuk karakter entitas teks serta entitas ruang tersendiri. Buku tebal dengan 94 judul cerpen dan 602 judul puisi telah tercetak. Silahkan menandingi!
*) Penulis: Sabrank Suparno. Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media web: www. Sastra Indonesia.com. Forum Sastra Jombang.blogspot. Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02, Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito. Kabupaten Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com.HP: 081-515-833-900.
Komentar