oleh RIADI NGASIRAN
Bersikap dan bertindak adalah berbeda. Akan tetapi, keduanya sama-sama mempunyai satu ujung: risiko. Demikian pula dalam berkesenian, seseorang dikatakan seniman lantaran ia memberikan diri dalam jagat pergaulan kreativitas. Ia pun dikenal sebagai kreator. Berkarya dengan memberikan nilai-nilai kebaruan.
Pun bila ia mengalami establish, kemapanan, tanpa diiringi pencarian-pencarian kreatif-eksperimentatif, seolah mendung kesenian menjadi gulita. Maka hujan kecaman turun bak halilintar yang menyambar-nyambar kesadaran akal budi mereka yang berpikir jernih. Di sini langkah seniman, retreat, menziarahi diri, merenung, dan mengambil langkah lagi untuk memaknai kehadiran eksistensinya.
Risiko adalah sebuah pilihan, juga kenekatan yang dipaksa. Keadaan yang menjadi orang terlatih untuk menghadapinya dengan lapang. Liu Xia, istri pemenang Nobel perdamaian 2010, Liu Xiaobo, dijatuhi tahanan rumah setelah diumumkan bahwa suaminya mendapat hadiah itu. Risiko itu harus ditanggung lantaran ia dianggap pendukung penting suaminya dan menjadi corong ke dunia luar. Sebenarnya Liu Xia tak pernah tertarik pada politik. Puisi, lukisan, dan fotografi lebih menarik perhatiannya.
Risiko itu juga harus ditanggung dalam penyelenggaraan Festival Seni Surabaya 2010 setelah setahun vakum lantaran pelbagai pertimbangan agar kesenian tak dijadikan ajang manipulasi politik berkedok ”kepedulian terhadap kebudayaan”, ketika pada tahun 2009 terjadi perayaan demokrasi.
Apabila penyelenggaraan FSS 2010 tak kalis dari berbagai kritik dan cercaan, itu bagian dari risiko yang harus ditanggung bersama. Saya kira risikonya bukan semata-mata berada di pundak para pendukung penyelenggaraannya, melainkan juga komunitas kesenian secara umum di Surabaya.
Karena di situlah harapan-harapan dipertaruhkan guna keberlangsungan serangkaian ikhtiar untuk mengembangkan citra kota yang lebih beradab. Kota Surabaya sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur agar tak sekadar dijangkiti semangat untuk mengembangkan diri pada nilai-nilai kebudayaan materi, seperti angka pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah yang terus meningkat.
Permainan bisnis
Ada catatan terhadap kritik yang sungguh sulit saya bedakan, mewujud kehadiran intelektualitas dan kepandiran. Dengan lantang diteriakkan Surabaya tidak butuh festival seni (Kompas edisi Jatim, 28 Oktober 2010). FSS cenderung memprakarsai adanya permainan bisnis dan memaksakan identitas seni.
Kehadiran FSS dikomparasikan dengan kemenangan Klanting dalam Indonesia Mencari Bakat sebagai fenomena budaya Surabaya. Ketakadilan sebuah kritik adalah tindakan tirani. Ia muncul dari analog yang diselewengkan, seolah-olah FSS dan Klantik, sekelompok anak jalanan yang memenangi penyelenggaraan ”permainan bisnis”, sebangun.
Begitulah. Saya semakin menyadari di Indonesia kritik tak lagi digunakan dengan istilah lain, seperti ulasan, wawasan, sorotan, dan sebagainya. Sebagaimana kamus Poerwadarminta, kritik berarti kemelut, keadaan genting. Jadi, sesuatu harus dilabrak untuk menyampaikan ketaksetujuan. Namun, mungkin kritik semata-mata berharap dengan pertimbangan pragmatis, insentif honorarium semata - semoga dugaan ini salah.
Saya ingin menyitir sejarawan Anhar Gonggong, ketika menilik kondisi negara kita. Menurut dia, kondisi Indonesia dengan manusia tanpa nilai telah mengakibatkan keterpurukan bangsa. Keterpurukan itu tak lepas dari mentalitas materialistis yang subur ketika setiap entitas bangsa meninggalkan nilai kearifan lokalnya masing-masing.
Setiap etnik harus menginternalisasi kembali kearifan lokal itu. Kearifan lokal dikembangkan, bukan untuk kepentingan lokalitas, tetapi justru penting untuk membangun landasan keindonesiaan, telah menjadi orientasi FSS sejak awal, sejak digelarnya Pekan Seni Surabaya 700 tahun 1993.
Hasil internalisasi kearifan lokal dikomunikasikan lintas etnik, diolah menjadi kearifan Indonesia, dalam kesenian. Maka, lahirlah internalisasi nilai-nilai : nilai kearifan lokal (local wisdom), nilai keindonesiaan, dan globalisasi.
Karena itu, sederet kesenian tradisional, seperti ludruk, sandur Tuban, pojean Bondowoso, musik mulut Madura, musik arum manis Pasuruan, turut merayakan kebhinekaan khazanah kesenian kita dalam FSS. Antara yang modern dan tradisi, sama-sama berhak mendapat tempat dan berhak dihadirkan.
Kreativitas pada akhirnya menjadi puncak orientasi. Barangkali FSS semacam ujaran awak ludruk ketika menggambarkan peran seorang janda muda. Laksana kembang dilem, apik gak dielem nek elek ya digunem. Bagus tak dipuji, bila jelek apalagi kalau tidak dicela. Nah, pilih mana: berbuat sesuau dengan risiko atau duduk manis?
NB : lagi-lagi FSS tahun ini bermasalah, ya memang bermasalah sih!he3...bagaimana kalau membuat FSS tandingan?he3...
Komentar