Langsung ke konten utama

Sebuah Gugatan - Halta Sastra dan Konsistensinya


Halte Sastra Dewan Kesenian Surabaya terinspirasi dari kegiatan serupa yang pernah digelar di tahun 1990-an. Pada masa itu kesusastraan di Surabaya mengalami kemajuan pesat dan memunculkan banyak sastrawan bertalenta tinggi dengan beragam eksplorasi karya. Bedanya, para SASTRAWAN MUDA *) yang bermunculan di era sekarang ini berkembang tanpa kritik sastra. Halte Sastra Dewan Kesenian Surabaya diharapkan bisa memediasi kebutuhan itu. (Dikutip dari info Group Facebook Halte Sastra http://www.facebook.com/group.php?gid=170869488842 )

Halte Sastra tercatat berjalan kembali kurang lebih setahun masa berjalan. Apa dan bagaimana misi kegiatan tersebut secara nyata telah dikemukakan pada info group nya.

Muda?

Beberapa penulis dan sastrawan muda telah mengisi slot setiap bulannya dengan segala perjuangan dari para penggagasnya untuk memunculkan gerak dan nafas penulis muda. Tak jelas apa dan bagaimana patokan "MUDA" disini, dari segi eksistensi kepenulisankah atau dari segi usia?

ESOK sendiri telah mencatatkan beberapa anggotanya mengisi slot, Gita Pratama, Iwani Ahmad dan saya sendiri. Unsur ketidaksengajaan mungkin ketika pertama kali saya diberikan kehormatan tersebut (yang sebenarnya proses menuju kesana pun saya tidak tahu menahu), untuk periode berikutnya salah satu penggagas meminta saya merekomendasikan dua nama untuk mengisi slot.

Awalnya, saya menimbang-nimbang mengusulkan nama Gita Pratama dan antara Yuswan Taufiq dan Sudi Ono dari segi keajegan menulis dan kuantitas kepenulisan yang patut dibekali beban evaluatif dan apresiasi publik sastra.

Gita Pratama, saya pandang mempunyai keunikan sajak-sajak dari segi tematik, keunikan diksi dan permainan penciteraan yang matang, sebelumnya ia juga saya pandang memiliki daya upaya yang keras dalam membangun iklim kepenulisan muda yang militan, babat alas hingga menjalani perjalanan-perjalanan untuk mencari partner sekaligus kompetitor aktivitas menulisnya. Ketika pada saat itu ia belum menemukannya di Surabaya kota dimana ia berdomisili, ia tak segan menjelajahi kota-kota yang lain untuk mengasah kemampuannya.

Yuswan Taufiq, saya pandang mempunyai keunikan sajak dan ketajaman dalam mengangkat rumpun budaya Indonesia yang khas, ia tak segan mencari diksi yang meliuk dan mencapai titik keindahan tak hanya bagi kedalaman makna namun juga kekayaan bahasa. Meski ia juga tak bisa dikategorikan muda dari segi usia, namun dar segi penulisan ia merupakan penulis yang cepat belajar karena eksistensi menulisnya mungkin belum terhitung pada tahun ke lima.

Sudi Ono, kurang lebih hampir sama dengan Yuswan Taufiq hanya saja kekuatan beliau tidak hanya ia mampu menulis sajak, kekuatan menulis dalam bentuk prosa nya tak perlu diragukan lagi. Tema-tema reflektif kehidupan merupakan kekuatan yang saya rasa bahkan di media jejaring online semacam facebook, penulis ini telah mendapat tempat sendiri bagi para pembacanya. Hanya saja kesibukan bekerja telah membuat keajegan beliau perlu untuk mendapatkan suntikan motivasi dalam perjalanan kepenulisannya.

Dari ketiga rekomendasi yang saya kirmkan rupanya hanya Gita Pratama yang disetujui, dan saya diminta untuk merekomendasikan kembali satu orang dengan syarat, usia JANGAN LEBIH DARI 30 TAHUN. Sebagai orang awam saya lalu menyimpulkan bahwa kriteria pokok disini juga perlu ditambahkan bahwa yang dmaksud muda adalah segi usia YANG TIDAK BOLEH LEBIH DARI 30 tahun.

Setelah itu saya tanpa banyak omong, langsung merekomendasikan Ahmad Riduwan sebagai pengganti antara Yuswan Taufiq ataupun Sudi Ono. Meski saya tahu Ahmad Riduwan lebih memerlukan waktu dan pengalaman untuk upgrade diri, untuk mampu mengejar kemampuan dari penampil yang lain.

SETELAH MEREKA??

Entah apa yang kemudian mendasari perubahan format Halte Sastra, sehingga kemudian saya melihat list penampil tidak lagi diisi oleh penulis yang usianya TIDAK LEBIH DARI 30 tahun???

Apakah Sastrawan "Muda" yang didefinisikan oleh aktivitas ini kemudian paradigmanya berubah menjadi sekedar penggembira setelah diangkat untuk sesaat dan kemudian kembali meraba-raba jalan sunyi nya sendiri?

Apabila demikian yang saya cermati pada ESOK, bagaimana dengan komunitas sastra lain yang pernah ataupun belum terakomodasi oleh keberadaan "Halte Sastra"?

Nisa Elvadiani

(Komunitas ESOK - Emperan Sastra COK)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi