KUPAHAT MAYATKU DI AIR
kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku
di mana-mana ada tanah
ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air
Solo, 1981
AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI
Aku ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan
Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman
Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali
1982
KOTA KOTA KOTA
dari kerangka tanah
kerangka darah
ribuan jasad angin terdampar
di kota lapar
pengembara hanya bayang-bayang
ngambang
kerangka ombak berkejaran di dinding
lalu matahari terguling
di bawah kuburan
bulan meringkik panjang
ringkikan kerangka kota kota kota
jelaga!
anak-anak mata darah tak dapat lagi
bermain dengan langit
perempuan-perempuan berjalan
lewat suara yang tak jelas
lalu hilang
di sorga hitam
tapi kemerdekaan tanah
untuk siapa?
dan kota bagai sebuah bola
yang disepaknya sendiri
lalu orang-orang pun kelelahan
merayapi luka
dan tak pulang
solo, 1981
JALAN
dalam tidur terbentang sebuah jalan
di luar jendela yang kupandang
angin gagal mencapai puncak
lalu matahari luruh seperti gerimis
tak ada yang bisa datang
atau pergi malam ini
bangun lebih parah
dan awan yang bergantung pada daun
kemana bakal pulang?
Solo, 1983
NATAL DI GURUN PERTEMPURAN
aku tak bisa berkata-kata lagi padamu
burung punya keteduhan dari sayapnya sendiri
angin punya keteduhan dari sejuknya sendiri
namun srigala punya keteduhan
di taringnya. Kini setiap perjumpaan
aku tak mampu mengucapkan kenangan
dan menjelang kepunahan ini
tibalah penebusan kekal
Solo, 1986
NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU
aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku
Solo, 1986
KUPU-KUPU KACA
Sehabis meninggalkan jejak kemarau lama
lalu kupu-kupu menjadi kaca
Aku makin mengerti keluh bumi ini
Malam menjadi jalan dan mencari pemilik diri
Juga terasa jiwa, memuat pedih lalu lenyap
Udara telah menutup semua peristiwa
dan suara ombak melimbur
Menggelepar di pinggir pagar yang meraj terbakar
Setiap menyusup dalam bumi kelam
Tangan-tangan mayat menjulur ke bulan
Kota yang bangkit karena hujan
Mengubur luas jaman
NB : pemirsa blog saya yang gelap dan kelam ini, namun agak remang, he3..., ini adalah puisi-puisi Kriapur, seorang penyair Indonesia kelahiran Solo, 6 Agustus 1959. Penyair yang sangat berbakat ini meninggal dalam usia relatif muda, 28 tahun. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di daerah Batang, 17 Februari 1987. kali awal saya membaca puisi penyair ini adalah ketika bulan desember 2004 pada saat saya membaca sisipan majalah Horison bulan itu. Ada puisi-puisi Kriapur. bisa dibilang penyair ini adalah yang kali awal saya baca ketika berkuliah di bangku sastra indonesia Unesa karena saya mengalami kebosanan kala harus mbaca puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah maupun Sapardi yang selalu jadi contoh kala perkuliahan. tanpa banyak bacot, silahkan dinikmati. gambar dalam laman ini saya bajak dari laman blognya Indra Tjahyadi, merupakan manuskrip yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta guna mengenang Kriapur. hingga saat ini belum ada terbitan puisi-puisi Kriapur secara utuh.
Komentar