S Yoga*
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya puisi gelap begitu marak perkembangannya di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Pengistilahan puisi gelap sendiri masih bisa diperdebatkan lagi, juga mutu puisi tidak terkait dengan istilah puisi gelap atau puisi terang. Istilah ini juga sudah biasa digunakan untuk menyebut kecenderungan puisi-puisi dari penyair komunitas Airlangga. Dengan para penyairnya di antaranya W Haryanto, Sihar Ramses Sakti, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal dan Puput Amiranti N, coba simak puisi-puisi mereka pada dekade 2000-an hingga sekarang, maka akan terasa kegelapan dan keremang-remangan. Tentu saja hal ini tidak kebetulan semata, karena mereka memang berkembang pada satu komunitas, bermarkas di lingkungan kampus Universitas Airlangga. Namun perlu juga diketahui bahwa meski berada dalam satu komunitas banyak juga penyair yang memilih jalan sendiri, karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab atau ideologi. Misal penyair Panji K Hadi, F Aziz Manna, S Yoga, M Anshor Syahroni, Kadirman, K Yudha Karnanta, St Fatimah, Luska Fitria dan M Aris.
Surealisme
Bila ditelusuri sejarahnya, sebenarnya kecederungan taman puisi gelap Surabaya mulai berkembang pada tahun 1995-an, saat itu mereka gandrung dengan aliran surealisme, super realis, “yang melampaui kenyataan”, begitu menurut pencipta istilah tersebut; Guillaume Apollinaire, bagi mereka surealisme adalah jawaban dan gambaran yang tepat dari realitas sosial yang mencekam, represif dan informasi yang tak bisa dipegang kebenarannya. Puisi, Indra Tjahyadi, “Amsal Kekosongan dan Rindu” bisa menjadi petunjuk akan kata-kata atau bahasa yang tak bisa dipercaya, Seperti katamu bulan adalah hantu. Seteguk pekik terlepas/dari negeri raibmu, lebih nyata ketimbang perahu/Bahasa yang diciptakan geludhuk membisukan penglihatanku.
Maka mereka suntuk membaca dan mempelajari surealimse lewat tokohnya Andre Brenton dan penyair Kriapur (Solo) dengan apokaliptiknya. Kalau kita baca karya-karya Kriapur maka kita akan bisa menarik benang merah pada puisi-puisi gelap mereka. Menurut Abdul Hadi W.M dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia tahun 2004, ketika menelaah penyair Jawa Timur, di antaranya Indra Tjahyadi dan W Haryanto, ia menyatakan penyair Jawa Timur berkecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda-tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. Kemudian Nirwan Dewanto dalam kata pengatar antologi puisi, Lima Pusaran, FSS 2007, menyatakan, sejumlah penyair dari Surabaya memang giat dalam sepuluh tahun terakhir. Di antaranya dengan mengusung puisi gelap yang bisa menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.
Karena kegandrungan penyair komunitas Airlangga akan surealisme maka ketika membuat antologi bersama, mereka beri judul Manifesto Surealisme, sebuah judul yang mengambil pernyataan, manifesto, Andre Brenton, karena pada tahun 1924, penyair Perancis ini, pernah mengeluarkan Manifesto Surealisme. Andre Breton menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, di alam bawah sadar, yang telah terkekang oleh rasio dan kebiasaan. Merayakan alam mimpi dan menekankan bawah sadar. Membiarkan imajinasi liar bekerja secara bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Mereka berharap menemukan paduan antar kata dalam sebuah metafor yang mengejutkan dan baru, tidak terpancang pada logika struktural dan konvensi umum sebuah puisi. Mereka mencoba menerapkan temuan psikoanalisis Sigmun Freud dari Austria. Yakni antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego).
Puisi gelap atau abstrak, tidak rasional, sebenarnya sudah marak pada tahun 1950-1960, di mana pada waktu itu banyak puisi yang susah dimengerti dan dinikmati. Kemudian muncul juga pada tahun 70 dan 80-an. Seolah gelombang yang secara siklus terus mengempur kesadaran rasional kita di zaman modern. Puisi-puisi gelap penyair koumintas Airlangga ini, seolah-olah melakukan pelarian kedalam keterasingan terhadap pikiran-pikiran pembaca, mengambil jarak, menjauhi akal sehat dan imajinasi pembacanya. Puisi-puisinya sangat subjektif, alienasi dirinya terhadap dunia sekitarnya. Sarat imajinasi, pembebasan imaji, dan metafor, kata-kata adalah imajinasi. Yang seringkali meloncat-loncat, tidak sinkron, retak-retak dari bangunan imaji sebelumnya. Puisi dipahami sebagai sebuah teks (writerlytext) yang cerai berai, retakan-retakan peristiwa. Dalam gelap rimba imajinasi. Kita berharap bisa mendapatkan sejumput kearifan dan keindahan.
Karena itu dalam menelaah puisi, penyair komunitas Airlangga, perlulah juga melihat struktural semiotik dan latar seting sosial budaya. Di mana kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang, khususnya pada era Orde Baru, Soeharto, sangat berperan. Namun kegelisahan mereka dalam manifestasinya tidak muncul dalam karya sastra kritik sosial atau puisi protes. Mereka lebih memilih dalam gambaran dari bentuk pemerintahan yang reprensif itu sendiri. Dalam wadah sebuah ekspresi simbolik yang subyektif. Yang mencerminkan sebuah zaman kegelapan, di mana struktur kekuasaan yang otoriter dan militerisme berkembang, keterasingan masyarakat begitu mengedepan. Puisi Deny Tri Aryanti, “Tarian Sebuah Musim”, merupakan gambaran dari keterasingan peradaban; Aku tak ingin menjadi abu/saat mayat-mayat menari gemulai/menorehkan darah pada tanah peradaban.
Sikap pejabat negara yang bukan pada batas kewenagannya namun sudah menjadi kesewenang-wenangan yang tak bisa ditoleransi lagi. Hingga puncaknya pada demonstrasi mahasiswa dan terjadilah peristiwa reformasi. Maka bentuk-bentuk puisi mereka benar-benar kelam, cemas, seram, gelap, erotis, liar, sebagai bentuk perlawanan realitas sosial yang ada, yang hinggar bingar dengan kekerasan, penembakan, pembunuhan, pengusuran dan ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum menjadi barang dagangan. Puisi Mashuri, “Asu” bisa megambarkan betapa dahsyatnya perubahan sosial yang tak bisa terelakan, namun tak bisa disiasati sehingga mereka menjadi korban yang paling hina, yang digambarkan menjadi anjing, yang nasibnya ditedang kesana kemari tanpa keadilan. Begitu angin menderu, seluruh tubuhku berbulu, gigiku bertaring/ kuku-kukuku runcing. Aku telah menjelma anjing. Lalu aku menunggu/ isyarat, ketika malam telah lengser ke peraduan dan kokok ayam/ pertama menggantikannya untuk kembali bertahta. Ketakutan menebar di udara, seperti aromba busuk yang menusuk paru-paru.
Sehingga wajar bila judul antologi puisi mereka yang serba seram, menakutkan dan liar; Ekspedisi Waktu, Syair Pemanggul Mayat (Indra Tjahyadi), Pengantin Lumpur, Ngaceng (Mashuri), Labirin dari Mata Mayat (W Haryanto). Maupun judul-judul puisi mereka misal; Syair Pemabuk, Lembah Kabut Kematian, Kembali ke Neraka, Hantu Pasir, Hikayat Orang Bangkit dari Kubur, Kubur Panjang, Saksi Kematian, Karnaval Ajal. Kata-kata neraka, maut, labirin, mayat, hantu, kematian, kegelapan dan bayang-bayang seolah-olah menjadi kata-kata kunci dalam puisi-puisi mereka.
Dalam kondisi seperti ini, akhirnya mereka memilih sebuah paradigma atau ideologi dalam perjuangan literernya yakni surealisme yang cenderung kedalam kegelapan, di mana bentuk-bentuk strukturalisme mereka tentang. Hingga bila memahami puisi mereka dengan cara strukturalisme maka akan sia-sia, yang akan ditemui hanyalah kegelapan semata. Karena puisi mereka adalah retakan-retakan realitas yang tidak bisa atau terpahami lagi, karena kegelapan peristiwa yang ada, realitas yang ada bagai jaring-jaring labirin yang tak bisa diurai dan ditemukan siapa pelaku, bagaimana bisa terjadi, apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana bisa keluar dari kenyataan yang ada. Mereka tak bisa memahami realita itu semua, karena yang ada hanya kabar burung tanpa ada sebuah kebenaran yang bisa diyakini. Bila hingga kini mereka masih tekun menulis dengan cara demikian, puisi gelap, berarti mereka masih meyakini bahwa pada zaman sekarang ini, yang kataya menjunjung demokratisasi dan keterbukaan ternyata masih menyimpan labirin kegelapan yang susah untuk dibongkar, semisal mafia peradilan dan korupsi rente dalam sebuah birokrasi. Di mana irasional kemanusiaan berlangsung.***
*) Alumnus Sosiologi FISIP Unair Penyair dan pemerhati kebudayaan anggota Komite Sastra DK-Jatim.
NB : esai-esai mengenai puisi gelap sengaja saya kumpulkan karena pada awal mula menulis puisi, saya terpesona pada keganjilan dan kocokan maut kata-kata, istilah Nirwan Dewanto. akan ada beberapa rangkaian esai yang saya pampang nantinya!
Komentar