Langsung ke konten utama

Sebuah puisi yang rada dawa, he3...


Keroncong Karam Arit Kelewang
-jarak jauh Sidoarjo-Jember

hidup kami mulakan, bahasa sebilah kelewang
ketika bebukit memanjang, jelma tubuh
malam jadi pejalan lambat
alangkah hidup kami lebih bertuba
paling tuba ketimbang pertempuran
mengenali muasal di bukit gersang

berpagut segala laut dalam badan kami
badan kaum papa, badan segala kata:
serangkaian haru tentang tualang
yang ciptakan bunuh diri di sepanjang hikayat
ada yang kau tahu, bagaimana tubuh kami-
tubuh seluruh keterpesonaan pada chaos-
bertumbuh, membunuh cahaya harum
bersama kebisuan

ada pasar, layangan makar melalui setanggul tanah
seolah awan dibantah sekumpulan kenangan
ratapan mata biru
atau sentuhan yang tak kami dapat
dari wajahmu
--lukisan mengenai kanak sekarat

kami sadari, katakata terlarang
impresi menanduskan harapan
dari pertemuan
tidur kami yang agung selalu sama
kekosongan berbadik masa lalu

ada kematian yang menghirup uap
ratusan musim gerimis mundur di kening kami
sentuhan kami, mungkin, yang sekelam puisi,
minta keabadian sekelumitan pembakar
yang kutuki mendung di tangan

serupa gaun pengantin kami ciptakan
pikiranpikiran usang merayakan penguburannya
gladak halusinasi, pengimajian
cahaya menjelma penampakan
bagi pelangkah di pikiran kami
maka perawanmu sungguh tergambar,
mengerang sebagai serangga, lindap dan bara

kami lukis, spora musim mati yang hujan
o, tetangan kami ingin gerakkan jalan
badan kota yang berlampu muram
sekabilah pengarak kian alpa
terus resah lantunkan doa
doa merangsang atas kemerahan bibirmu

bapa kami ngelantur untuk doa
sebuti kiamat dalam malam sampah
tak terlukis. Setiap desing kami artikan,
tak hanya lanun lusuh
yang rindui tubuh mengkal
manis perawan jalan

(menara rubuh sungaisungai
menggugat kegeraman puisi
tapi tetap tanpa bayangan)

Otak kami telah ubah mobil, defile kanak
yang panjangkan tangan kacaunya di bulan
sungguh, hanya dari kota, gladak kami agung
mengirim udara rabun, mengutuki kampung
di mana dataran tandus selalu kekal dengan doa

doa bapa kami yang malang, semalang kerusuhan sejarah
imaji kami yang tertinggal, pelarian kotakota utara
tentang tafsir blunat Tawangalun
dan kupukupu menjelma otak seorang pembakar
dengan ketakjuban pada clurit dan pedang

maka tusuk, tusukkanlah sebelum seribu kangkangan
membentuk aksara, nyanyi hantu, rekuim bahasa serupa sihir
orang buangan yang rindukan bom, ledakan di tanah kelahiran

kampung kematian terdalam : lagu ganti rupa

kami temukan napas mayat kami, perlintasan simpang
ajal bagi penyair yang gantung diri di rembulan
melebihi perayaanan tidur sepotong katedral rumpang

bersama bidadari, kami imani sunyi sendiri
udara kami yang tuba menembaki ingatan
aroma tak berwarna dari seonggok pulau
kami punguti jantung kami sendiri
sepungut musim hujan yang cerita
tentang tubuhmu yang terpampang
tanpa palang, tanpa nyanyi tualang

hujan lanturkan dirinya entah ke mana
entah tubuhmu yang tiba retak, entah segairah
luka yang menganga. Kami hanya mau seteguk
sereguk syair, tapi dengan malam yang muskil terkatakan

tubuhmu yang mulus terus kami sangsikan, sesangsi tatapan
pada potret luka dunia ketiga, keharuannya serupai demit,
penunggu yang berlabuh pada syahbandar jauh

--demi keagungan kami:

para nujum yang ciptakan kuburan
di kamarkamar sempit singup para binal
yang tunggui segerumbulan malaikat cabut ajal
dengan segerowong parang, gelontorkan kebugilan
di jantung hujan

kelak kau tahu, bagaimana kami gantung kembaran kami
pada ruang kosong. Keramaian barisan bangkai berseluncur
di selatan. Kami tumbuhkan harapan pada selembar koran

mayat bau karam
sebagaimana kami berilusi untuk lanun
patung lantak muka kami
di pelabuhan

di mana kejahatan kami abadikan, abadi, setelak kekacauan
beburung bunuh dan sayat leher lengkungnya di kepiuhan bulan
dari segenap ziarah, jejantung kami menanjak menyakitkan
bersitkan kiasan, kiasan, sematang cahaya dan udara tuba
yang ngelupas dalam lowong risau pencarian kami

kami langkahi rupa perkampungan kami
gambar tinggal nama. Kegemuruhan laut menjulang
bisu, melebihi diam tanah dengan lambung perusuh
yang lebih berat dari segala menara kesakitan

dalam hujan akhir yang kami agungkan
pikiran kami setumpul pekik
ditumpahkan di udara, mengunggahi sakit
berbau menyan, berbau malam, tinggal malam
mengirabi tahuntahun kesusahan
dan percumbuan kami yang gasal, tampari segala niatan
pada ikhtiar terakhir kami, sebilah hanya,
hanya sebilah kelewang yang ingati
segala leher dan badan ingatan kami

2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI