-- Acep Iwan Saidi
BAHASA selalu merupakan hubungan antara penanda (”signifier”) dan petanda (”signified”). Tidak ada kaitan antara kata (bahasa) dan realitas di luar dirinya. Kata-kata diletakkan pada struktur (sistem) dan membangun makna karena relasinya dengan kata lain. Ini berarti strukturlah yang penting, bukan kata itu sendiri.
NUT
Ferdinand de Saussure, ahli linguistik dan pelopor semiotika, selalu melihat fenomena bahasa dalam perspektif dikotomis. Ia, antara lain, mengonsepsi bahasa dalam dikotomi penanda versus petanda, langue versus parole, sintagmatik versus paradigmatik, dan sinkronik versus diakronik.
Pada sistem itulah kemudian ditemukan dikotomi sintagmatik-paradigmatik. Sintagmatik adalah poros linear yang menghadirkan rangkaian kata (kalimat) sebagai sebuah aturan baku (subyek-predikat-obyek). Jika makna ingin diproduksi, aturan ini tidak boleh dirusak. Di dalam poros paradigmatik (asosiasi), kata-kata yang hadir (presence) bisa dipertukarkan dengan yang tidak hadir (in absentia). Inilah yang disebut asosiasi. Taruhlah contoh kalimat ”Perempuan itu cantik sekali” (sintagmatik). Pada poros paradigmatik, kata perempuan itu bisa bertukar dengan gadis berbaju biru dan kata cantik dapat bersulih dengan seksi sehingga kalimatnya menjadi ”Gadis berbaju biru itu seksi sekali”.
Beralas teori tersebut, sajak-sajak Afrizal Malna yang terkumpul dalam buku ini kiranya bisa didekati. Afrizal tidak berambisi untuk menghimpun makna konvensional dalam sajaknya. Ia membidik hal lain yang jauh lebih penting, yakni konsepsi mengenai bahasa yang pada akhirnya terkait dengan problem manusia dan masyarakat kontemporer. Dalam sajaknya, black box (hlm 26), misalnya, dengan cermat ia meresepsi sekaligus memainkan dan mengkritik konsep linguistik sausurian. Periksa bait pertamanya sebagai berikut: ”nabi/ kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan/p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti/dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi”.
Tidak berhenti sampai di situ, Afrizal kemudian menulis ”aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//”. Pilihan kata pada larik ini menuntun pada asosiasi bahwa bahasa bukan permainan bunyi semata. Bahasa adalah sebuah ”jiwa” yang di dalamnya tersimpan daya untuk menjelmakan dunia, ia tidak hanya mendeskripsikan, tetapi mengonkretkan yang abstrak.
Manusia, yang terbelenggu dalam struktur di seluruh bidang kehidupan, termasuk bahasa, kiranya memang sulit untuk masuk ke pemahaman demikian. Nabi, bagi manusia kontemporer, adalah juga sekadar bunyi. Dapat diucapkan di mana-mana, di mesjid hingga kamar mandi, tanpa efek, tanpa ruh. Nabi hanyalah jargon. Demikian, mulai dari bahasa, Afrizal menawarkan sebuah kritik terhadap problem manusia hari ini.
Penempatan kata
Konsepsi lain yang ditawarkan Afrizal adalah penyeleksian kata secara acak dari realitas (poros paradigmatik), kemudian menempatkannya secara sistematik pada poros sintagmatik. Dengan kata lain, Afrizal menjadikan kata membentuk asosiasi secara liar, tetapi tetap berada pada logika sintaksis konvensional. Kata-kata (bahasa), dengan demikian, adalah sebuah dunia imajinasi yang bisa berlapis. Perhatikan larik berikut ”besok, besok aku akan membuat januari dari kulit jeruk. dan membuat rumah dalam perut ikan” (hlm 115).
Pada titik inilah kiranya bisa dibandingkan antara Afrizal dengan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri (periode O, Amuk, Kapak) dalam hal penyikapan terhadap kata. Dicatat bahwa Chairil menempatkan kata sebagai pisau yang menukik ke akar makna atau makna harus digali hingga ke akar kata. Kata harus dipilih seselektif mungkin sehingga ia menjadi. Sementara Sutardji seakan hendak menuntaskan pekerjaan Chairil. Ia menyelesaikan fungsi kata dengan menempatkannya sebagai makna itu sendiri. Kata telah selesai pada Sutardji. Sebab, kata telah menjadi makna, sebenarnya tidak perlu lagi memaknai sajak-sajak Sutardji. Yang harus dilihat adalah bagaimana efek kata sebagai makna dalam realitas, seperti mantra yang menenung pihak termantra.
Pada lapis luar bahasa tersebut, bisa dilihat bahwa Afrizal sedang membidik dua hal dengan cara menegasikannya. Ia menempatkan kata pada struktur sekaligus untuk ”memberontaki” struktur tersebut. Pada tulisan terdahulu mengenai penyair ini dikatakan bahwa kata-kata meronta, melepaskan diri dari struktur sintagmatiknya (Saidi, 2006: 146). Simpulan ini dianggap kurang tepat. Kata-kata justru terpaku kuat pada struktur, hanya ia memang membangun dunianya sendiri-sendiri. Dari sinilah kemudian bisa ditangkap kesan ”terpecahnya bahasa” sehingga ia tampak menjadi sajak-sajak yang ”skizoprenik”.
Di lapis dalam, fakta linguistik itu lagi-lagi merepresentasikan problem manusia kontemporer. Dalam hal ini, masyarakat urban yang kondisi psikologisnya terus-menerus mengalami ”pembelahan”, bahkan penghancuran: ”merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia” (Jam Kerja Telepon, hal 268). Ini berarti bahwa Afrizal membidik posisi subyek di tengah realitas. Berbeda dengan Chairil yang menciptakan subyek yang mengatasi realitas dan Sutardji yang meleburkan subyek dalam kata yang telah jadi makna, sajak Afrizal mengusung subyek yang ”terengah-engah” berdiri dalam realitas yang dibelit struktur. Afrizal mungkin tak hendak kembali membangun ”subyek manusia Chairil”, tetapi ia sedang memberikan ruang pada subyek untuk melahirkan dirinya dalam bahasa, dalam langue, dalam struktur.
Untuk merepresentasikan hal itu, Afrizal juga dengan cerdas memakai ”strategi visual”. Ia membawa pembaca untuk berimajinasi di ruang visual yang diciptakan kata-kata. Dengan cara ini, asosiasi pembaca bisa tak berbatas. Di poros asosiasi (paradigmatik) itulah bahasa menempati posisinya secara terhormat, sebagai sebuah realitas berjiwa, tak sekadar alat pendeskripsi realitas.
* Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB
Komentar