Tidak sedikit sastrawan yang mabuk keindahan. mereka terjebak pada “imperium keindahan”—dan lupa bahwa persoalan sastra adalam masalah humanisme: Sastra-Humaniora! Karenanya sastra(wan) harus punya nyali untuk bicara pada kemanusiaan. Kemanusiaan, dan bukan hanya keindahan dan permainan katakata, adalah kunci dari kegiatan kesusastraan. Masalahnya, jika persoalan sastra harus lebih ditekankan pada keindahan, mengapa penghargaan sastra (seperti Nobel Sastra) selalu saja diberikan pada sastrawan yang bicara banyak hal dan mengeluarkan pandangannya—yang penuh nilai dan berpihak—tentang manusia, masyarakat, dan sejarah?
Apakah sejarah dan manusia berada di wilayah objektif (ada dan independen) atau hanya harus dibiarkan berada dalam pikiran dan pemaknaan orang, terutama sastrawan? Kalau keindahan itu relatif dan tidak bisa diuniversalkan (dinilai dengan patokan tertentu), mengapa masih saja ada pemilihan tentang karya sastra (atau bahkan film, musik, dan produk-produk estetis) yang terbaik? Berarti keindahan memang tidak pernah hanya mendekam dalam benak, tetapi juga selalu bersenyawa dengan realitas material, wacana yang diangkat oleh media yang sifatnya material, dan tentunya bersenyawa dalam dunia kenyataan yang dapat diukur.
Pokok persoalan kemanusiaan akan dapat dipahami dan diselami sastrawan jika ia memaksimalkan potensi pengetahuannya, dan bukan semata-mata kepintaran dan kebiasaannya menyusun, merangkai, dan me(mper)mainkan kata-kata indah atau kisah kehidupan yang diangkatnya. Tak heran jika abad 20 lalu, Chernysevsky, seorang filsuf seni-sastra Rusia, mengatakan bahwa “TIDAK ADA YANG INDAH DARIPADA KEHIDUPAN ITU SENDIRI”.
Maka, tuntutan yang diberikan pada sastrawan untuk memperindah kehidupan adalah tanggungjawab dan komitmen sosialnya—yang harus dimiliki. Karena tanpa komitmen ini mereka menganggap bahwa posisinya (sebagai seniman atau sastrawan) dianggap anugerah yang muncul dengan sendirinya dan tak terikat dengan relasi material dalam kehidupan. Sastrawan pun lupa diri, menganggap bahwa menulisi kertas dengan kata-kata untuk menyusun karya adalah kebanggaan. Akhirnya mereka lupa bahwa ada kertas kehidupan yang perlu ditulisi agar kisahnya benar-benar indah, manusiawi, tidak diwarnai centang-perenang dalam hubungan antara manusia satu dengan manusia lain. Singkatnya, mereka harus menggoreskan nilai-nilai yang diungkapkan dalam karya-karyanya. Nilai-nilai itu tentunya dihasilkan dari renungan dan analisa yang mendalam atas realitas sosial di bumi empat ia berpijak. Dalam konteks inilah, ilmu pengetahuan dan filsafat harus melekat dalam diri sastrawan.
Bahkan seorang sastrawan juga identik dengan orang yang jenius, intelek, dan mereka ini dapat dikatakan sebagai golongan minoritas kreatif (creative minority) yang berani tampil ke depan menyuarakan pemikirannya. Mereka juga berani mengambil inisiatif dalam merespon gerak kebudayaan. Oleh sebab itulah, sastrawan sebagai kalangan yang memiliki kelebihan sangat jauh berbeda dibandingkan orang awam. Sejarawan besar Arnold Toynbee pernah mengatakan: “There was a deep, indeed and essential difference between the genius and masses. And so the great mind, creating for the future, was doomed in his own day to loneliness and lack of appreciation. Genius is casually related to insanity”.
Maka salah satu sebab mengapa sastrawan sebagai intelektual dianggap sebagai orang yang bermartabat adalah karena ia tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang purba (hidup hanya untuk sekedar makan, minum, seks, serta kepuasan-kepuasan nafsu yang dibawa eksisensinya sebagai tubuh), tetapi berupaya mengorbankan pemenuhan-pemenuhan tubuh untuk memperbanyak aktivitas yang memperkaya pengetahuan dan berusaha merespon atau merubah keadaan. Makanya, intelektual dianggap sebagai kalangan yang “derajatnya tinggi”, “lebih langka dan unik”.
Meskipun kebanyakan sastrawan lahir dari mereka yang berasal dari kelas ekonomi cukup, sebagaimana pada jaman kerajaan hanya dari golongan istana bangsawan) saja yang dapat menjadi sastrawan dan pujangga, kita tidak dapat mengatakan bahwa sastrawan tidak pernah lahir dari kalangan miskin. Wiji Thukul, misalnya, benar-benar penyair yang lahir dari kalangan miskin. Bahkan dapat ditegaskan di sini bahwa intelektualitas dan ilmu pengetahuan objektif dalam sejarah sebenarnya adalah warisan dari semangat orang miskin. Hanya dalam kondisi kontradiksi yang secara material dialami oleh rakyat miskin yang kesulitan menghadapi hiduplah kesadaran akan kontradiksi muncul, yang ini data mengarah pada aktivitas mempertayakan segala sesuatu yang menjadi sebab-sebab permasalahan yang dihadapi.
Ideologi kemiskinan adalah ideologi membongkar sebab-sebab kemiskinan; sedang ideologi kekuasaan adalah ideologi yang mengarah pada upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
Hal itu sebenarnya adalah landasan moral kenapa sastrawan harus berpihak karena dengan berpihak pada orang miskin berarti mereka membongkar dunia ini. Apalagi posisi sosial dan ekonomi kekayaan juga tidak lepas dari hubungan produksi yang dalam tatanan kontradiktif selalu dicrikan dengan hubungan antara kelas tertindas dan kelas penindas. Kelas penindas akan selalu menjaga agar tatanannya (yang menindas dan menghisap kerja-kerja rakyat miskin) stabil. Maka segala upaya untuk memproduksi aparat maerial dan ideologis juga diarahkan untuk membuat tatanan itu langgeng. Sedangkan rakyat miskin juga membutuhkan keadilan dan dalam epos tertentu juga berjuang melawan penindasan yang dilakukan terhadapnya.
Sastra berada dalam wilayah pertarungan ideologis tersebut. Apakah sastra hanya akan memproduksi kemanusiaan dalam cara pandang penindas sebagaimana para sastrawan dan pujangga di jaman kerajaan hanya menuliskan karya dan menceritakan dongeng-dongeng yang menyanjung-nyanjung para raja dan kalangan bangsawan agar rakyat tunduk-patuh membayar upeti dan menyerahkan tenaga produktif dan semua miliknya untuk dikuasai raja, ataukah sastra dengan landasan filsafatnya yang dalam akan mampu menyuarakan realitas rakyat yang merintih perih, yang darah, keringat, dan air matanya telah dikorbankan dalam kehidupan yang dinikmati oleh raja-raja dan para pembela-pembelanya (termasuk sastrawan), hal inilah yang disebut keberpihakan. Karena sastrawan percaya bahwa realitas itu ada dan bisa dirasakan, tidak relatif dan absurd, maka ia dapat merasakannya. Ia percaya mana yang benar mana yang salah. Bahkan pada saatnya ia juga percaya bahwa—sebagaimana ditegaskan sastrawan Rusia—“bahkan samudra darahpun tidak sanggup menenggelamkan kebenaran”.***
***Catatan Nurani Soyomukti, peserta Arisan Sastra Bulanan dan Ketua Quantum Litera Center/QLC—Lembaga Pemberdayaan Keberaksaraan
Komentar