Langsung ke konten utama

Negeri Peri dalam Kartu Pos


Cerpen Dody Kristianto*

Aku sengaja mengirim sebuah kartu pos untukmu. Kartu pos yang tak sempat kukirimkan setahun lalu. Mungkin kau takkan menduga bukan, bila aku merelakan menulis sepatah dua kata untukmu. Walau aku tahu itu berat. Dan setelah membaca kata-kataku, aku tak hendak menebak apa yang ada dalam hatimu. Mungkin kau suka atau lara setelah kau baca kartu pos itu.

Bintang-bintang tetap beredar di cakrawala. Tetap pada posisinya. Seperti dulu kau menatap langit ketika purnama tiba. Kau selalu mengatakan bukan, bila di balik bulan ada negeri sekawanan peri. Kau selalu berkata akan hal itu padaku. Kau sangat percaya akan kebenarannya. Ya, kata-katamu kerap membuat aku terlena dan mencoba untuk memercayai hal itu. Kau tahu, aku selalu ingin tersenyum bila mengingat kata-katamu. Bahkan aku selalu merasa kau ada di dekatku dan tetap membisikkan hal itu padaku.

Peri-peri yang tinggal di balik bulan? Seperti apakah mereka? Kau selalu mencoba meyakinkan bila sekawanan mahluk itu benar adanya. Mereka seringkali mengikuti kita bila kita sedang bermain di hampar sawah ketika tiba purnama. Tak takutkah kau pada gelap yang melingkupi kita? Tak sadarkah kau jika sinar bulan takkan mampu melindungi kita dari kegelapan? Justru kau mengatakan dalam gelap peri-peri berterbangan. Mereka mencari tubuh-tubuh mungil yang meyakini impian. Seperti tubuhmu misalnya.

Bukankah kau pernah menulis pelbagai daftar impianmu? Kau ingin bertemu dengan ibumu. Kau ingin memunyai sebuah buku yang penuh gambar aneka rupa. Kau ingin memiliki sepasang sayap yang dapat membawamu melintasi langit lapang. Dan kau ingin (ini yang selalu tak dapat aku terima) menemui peri-peri di negeri balik bulan. Negeri yang tak pernah dapat kau lihat. Negeri itu sungguh hanya dapat kau miliki. Kau bayangkan sendiri. Kau tak ingin benar-benar berbagi denganku bukan?

Sungguh indah bila kuingat malam-malam itu. Kau melipat daftar Impianmu menjadi sebentuk kapal kertas. Lalu kau arungkan kapal itu ke sungai kecil di belakang sawah. Kapal itu akan mengalir perlahan. Mengikuti desir angin yang membuat tubuh kanak kita makin gigil. Sungguh aku masih ingat. Ratusan kunang-kunang mengiringi pelan perjalanan kapal impianmu. Kau yakin kekunang itu akan menerbangkan impianmu menuju negeri para peri.

Hei, aku takut. Ibuku selalu bercerita perihal kekunang itu padaku. Lantas aku percaya bahwa kekunang itu penjelmaan dari roh jahat yang mencari anak-anak nakal berkeliar pada hari malam. Mereka tercipta dari kuku-kuku orang mati. Kematian yang tak wajar tentunya. Para arwah yang masih berada di dunia ambang. Mereka berada antara hidup dan mati. Mereka menunggu kesempatan untuk kembali. Mungkin mereka ingin tubuh kita berdua. Karena kita adalah kanak-kanak yang hidup pada malam.

Tapi sekali lagi, aku sangat ingin meyakini dan percaya bila kunang-kunang itu tak lebih dari pertanda kehadiran para peri. Kunang-kunang itu selalu hadir dengan perut sarat bara api. Bara penunjuk jalan bagi bagi mereka yang tak menemu jalan pulang. Bila kekunang itu masih berbinar, kau percaya para peri akan segera datang, membawa segala peruntungan. Mereka menjelajah dari negeri ke negeri. Mereka mencari anak-anak pilihan yang kelak akan turut ke negeri peri. Sebuah negeri yang tak tembus pandang oleh mata telanjang.

Sebenarnya seperti apa negeri peri yang kau impi? Sungguhkah ia benar-benar ada seperti dalam buku dongeng yang kerap kita baca bersama? Atau tepatkah bila kukata itu hanya halusinasimu saja? Atau ketika kau tengah linglung sebab pukulan dari ayahmu yang tengah marah? Sebab kau tak membawa cukup uang seperti yang tiap hari ia minta. Aku sungguh tak tahu benar. Kau mengatakan bahwa negeri peri itu sangat dekat, sungguh-sungguh dekat.

Di negeri itu, segala kembang akan melepas berbagai tembang. Tembang yang diperoleh para peri dalam pengembaraan mereka di segala negeri. Pengembaraan mencari impian anak-anak. Termasuk pula impianmu. Dan kau percaya, tembang impian itu lambat laun akan membubung ke angkasa. Berubah pelbagai warna-warni. Ia menjelma semacam jembatan dari negeri peri dan tubuh harapan yang masih tertahan di bumi. Harapan itu kelak akan tersampaikan sebagai pesan. Lalu mengembaralah sekian peri untuk menjala pesan-pesan yang masih tertahan.

Katamu, kita takkan menemu perdebatan di negeri itu. Tak juga sengketa panjang yang kerap kita dengar sepanjang jalan pulang. Hurup-hurup tragedi dalam koran akan saling berlepasan. Hurup-hurup itu lantas membawa pesan, keinginan dan bebunyian yang tersekat dalam kesunyian. Lalu dalam lorong penuh rahasia, hurup-hurup itu akan berubah karnaval. Serupa pertunjukkan sirkus yang sangat ingin kau saksikan.

Lalu bagaimana dengan kota yang terbakar? Kota-kota dalam koran yang setiap pagi kita saksikan. Gambar miris tentang sekawanan perusuh, muka-muka tak memiliki harapan. Kau katakan itu hanya terjadi di negeri yang tak memercayai peri. Ketika itu, peri-peri akan saling bersijau. Sebab negeri akan selalu diwarnai silang sengkarut panjang. Hingga langit dan awan gemawan dipenuhi noktah hitam. Impian-impian terus tercemar oleh sengketa panjang. Harapan. Tak ada lagi sisa harapan. Karena setiap ada harapan, tatap bengis akan selalu mendobrak dengan senapan. Seketika harapan akan bubar, pecah berpencar ke segala persimpangan. Pecahan-pecahan kecil itu pun akan terjaring oleh tangan-tangan panjang. Tangan penuh darah, resah dan sekian ranting patah yang merobek senja hingga langit penuh ornamen belang.

Benar, aku ngeri mendengar ceritamu kala itu. Kita takkan dapat memandang hamparan senja yang sementara. Sebab langit kita akan dijejali warna murung. Warna yang menjebak sekian burung dalam tudung-kurung. Dan dedaun yang tiap hari kita petik akan kerap beraroma tenung. Tapi beruntung, kita diam di negeri yang disinggahi para peri. Negeri tempat musafir akan menyandar segenap doa. Tak ada yang perlu kita cemaskan bukan. Karena tak ada kata dusta dalam koran. Jalanan akan nampak cerlang. Seluruh kesepian akan disucikan.

Ternyata aku mulai percaya pada ceritamu. Segala aksara yang kuucap mulai berwarna. Pertanda peri-peri mulai berkitar di kiri kananku. Sungguhkah hal itu? Aku belum sepenuhnya yakin. Aku juga tak teguh mengenai peri-peri tak nampak dan bersayap. Segilang apakah sayap-sayap itu? Aku ingat saat kau mulai merentangkan dua tanganmu. Satu depa. Dan kau mengiya bila sedepa itu ialah sayap peri yang kau impikan. Butiran halus lembut yang lebih berkilau dari selembar satin. Ia beraroma seribu seribu bunga alami yang akan berganti wangi. Setiap sayap-sayap mungil itu melintas dan memindai perasaan kita.

Sesayap itu sangat tipis, sangat bening. Lebih bening dari lembar kaca paling bening. Kala sesayap itu mengawang, ia akan ciptakan suasana hening. Setidaknya sebelum alam terbuka pada dirinya sendiri. Perlahan bebunyian nyaring akan berdering. Menyapa mereka yang percaya akan impian. Lalu impian-impian itu akan terjaring menjadi musik merdu bagi para musafir yang tengah pulas sehabis mereka bercucur air mata, memanjatkan segenap doa.

Sungguhkah doa-doa itu akan tersampaikan? Atau pendaran itu hanya tersampir di dahan? Lalu berubah dedaun yang kelak akan lerai dari ranting? Sungguh ketika itu peri-peri akan berada di dekat kita. Pada gugur daun. Pada lingkar reinkarnasi. Segenap kekanakan kita hanya takzim memandang pemandangan dedaun luruh. Seolah peri-peri tengah berusaha menampakkan diri mereka di depan kita. Tangan-tangan gaibnya menerbangkan dedaun itu ke kepala kita. Lalu dedaun itu terangkai serupa mahkota. Serupa Isa.

Saat itu kita betah berlama-lama menerawang senja. Matahari sore benar nampak merona merah. Sinarnya bagai payung teduh yang diselubung sayap peri yang takkan habis kita perbincangkan. Bukankah senja adalah penanda para peri akan tiba dengan harapan yang akan ditaburkan pada anak-anak yang percaya akan impian? Dan senja adalah jendela. Ruang bagi kita untuk menengok, mengintip masa depan yang tak pernah kita duga. Kita hanya mampu menerka.

Hei, mengapa aku mulai melantur membincang peri yang selalu kau rindukan? Bukankah aku tak dapat memindai wujud peri yang ada dalam khayalan?

Bagaimana dengan kapal kertas yang melarung segala impianmu? Sudahkah ia tiba dengan impian ke negeri peri, tempat akhir perhentian segala impian? Bila ia telah tiba, aku yakini segala impianmu bermaujud. Kau tentu telah berbeda dengan yang dulu. Kau pasti sudah berjumpa dengan salah satu peri dan kupercaya kau akan melukis rupa peri di atas selembar kertas.

Ah, tidak hanya selembar, mungkin berlembar-lembar. Lalu kau bentuk mereka sebagai kapal kertas. Kau layarkan mereka di atas sungai kecil, di persimpangan dam dengan arus deras. Arus yang akan terbelah dengan kekuatan impian. Persis ketika kau larung kapal kertas pertamamu. Pesanmu lalu akan sampai di setiap hati kami.

Sungai-sungai itu terus mengalir. Mengalir dengan bau paling anyir. Bebauan kawanan penjarah yang merenggut segala aksara doa. Kau tahu, kotamu tercinta telah percaya pada segala dusta. Segala tanah memerah. Perlambang darah, tuba dan semua rajah angkara yang menjelma angin terbanting. Yang dihirup dalam-dalam penduduk kota. Angin desir anasir yang terus merasuk dalam tubuh para penduduk.

Ya, semenjak kepergianmu, peri-peri tak lagi singgah di kota ini. Setiap jalanan penuh pecahan beling, yang menusuk kaki yang melintasinya. Pecahan dendam. Kematian para peri yang tak lagi diyakini penduduk kota. Aku turut hidup di antara mereka yang memandang ke depan dengan dendang paling dendam. Dendang yang dilantunkan para pembakar kota setiap kali mata mereka menatap kalis sisa peri yang berlintas di setiap rumah. Mata mereka penuh api. Pandang mereka tinggi hati. Bara yang membuat para peri seketika enggan berlintas.

Aku selalu ingin menghindar dari para pembakar itu. Sebab aku masih menyimpan sisa harapan yang kau pendam. Harapan akan para peri kelak berpendar di penjuru kota yang terbakar. Pendaran impian yang memadamkan segala dendam. Impian-impian paling mawar yang membuka hati dalam. Kemudian mereka beramai-ramai membuka mata mereka yang sekian waktu tertutup. Mereka akan percaya kembali akan para peri, pada kekuatan para pengkhayal. Lalu perlahan, mereka membuka cadar. Cadar keangkuhan yang sangat lama membekap kota dengan kegelapan.

Harapanku kelak, sungai-sungai itu akan kembali mengalir, membawa kapal kertas yang akan membawa segala impianku ke negeri peri. Impian untuk segera menyusulmu. Impian akan keinginan sungai itu mengalir bagai susu. Sungai yang menyimpan kelezatan bagi mereka yang memandang dan memercayainya. Barangkali saja selintas wajahmu akan kubaca, antara kidung bahagia wajah-wajah yang menemukan peri mereka dalam setiap hati. Antara alir sungai yang menjadi rindu dalam segenap hari.

***

Aku sengaja mengirim sebuah kartu pos untukmu. Dengan potongan langit terang yang kujerang dari keyakinanku. Kutangkap juga selintas kehadiranmu. Pada malam yang sama, saat kita menatap langit dengan tatap purba. Tatapan sepasang manusia pertama di dunia. Tatapan harapan. Esok mereka akan membuat beratus keturunan. Di antara mereka akan ada seseorang yang memiliki harapan. Harapan para peri akan tiba dan menemani malam-malam bagi manusia di bumi.

Sudahkah engkau menerima kartu posku? Sepotong bintang tersemat di dalamnya. Kulampirkan juga sebuah pesan keinginan. Sesudah kali terakhir kita berjumpa. Dan kau lenyap, tak berjejak, ditelan senyap. Sebuah keheningan yang membawamu(mungkin) pada peri-peri. Pada mimpimu paling tak kupahami. Sesudah sekian malam kita melabur khayalan, impian akan para peri berterbangan.

Kau tahu, sungguh aku kian merindukan dirimu. Aku ingin segera menarikmu dari negeri seribu peri. Membawamu kembali. Berada di antara padang ilalang menjulang juga kesepian yang kerap mendekap kita. Kesepian dan doa-doa akan senantiasa tertahan dalam tenggorokan kita. Karena kita memandang langit lapang dengan harap kerinduan. Kerinduan pada mahluk-mahluk kecil bernama peri, yang selalu kau harapkan, yang sulit aku bayangkan. Hingga kau menjelma senyap, merupa titik kabut di sebuah lanskap.

Kereta ungu segera menjemputku. Harus segera kutuntaskan baris kalimat-kalimat mimpi ini. Setiap baris akan menjelma kekuatan bagi langkahku. Baris yang menyusun pilar-pilar jembatan, penghubung hatiku dan hatimu. Dan di balik jembatan itu, aku yakin kau tengah berada, berpakaian putih dengan sebentang sayap bening hening. Lalu kau akan memelukku bukan? Membawaku pada setiap putaran yang kau katakan sebagai bentuk harapan. Aku akan memegang tanganmu erat. Takkan kulepas selamanya.

Aku sengaja mengirim sebuah kartu pos untukmu. Kerinduanku tengah berpencar ke seluruh penjuru. Kepergianmu memudarkan segala pandanganku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI