Oleh Aris Setiawan
Usai sudah event besar bertajuk Festival Seni Surabaya yang berlangsung dari tanggal 6 hingga 14 Oktober 2010 kemarin di Balai Pemuda Surabaya. Sebagai sebuah wadah, Festival Seni Surabaya mampu menyajikan berbagai tontonan yang menarik seperti musik, teater, seni rupa, tari dan lain sebagainya. Namun sebagai satu ruang pemaknaan wacana besar, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali, sejauh mana efek yang disandang setelah Festival ini usai? Akankan ia mampu memberi satu diskursus perkembangan yang signifikan bagi seni-seni di Jawa Timur dan khususnya Surabaya ke depan? Atau justru sebaliknya, Festival Seni Surabaya tak lebih dari hanya sebatas rutinitas uforia seni sesaat yang begitu sakral, mahal dan megah ketika berlangsung dan hilang lalu sepi tak bermakna ketika berakhir.
Tak Terkekang
Menarik kiranya membaca tulisan W Haryanto pada Kompas Jatim edisi Kamis 28 Oktober 2010 dengan judul ‘Surabaya tak Butuh Festival Seni’. Haryanto secara lugas mengkritik bahwa Festival Seni Surabaya tak lebih dari sekedar ritual nominalisasi seni. Bagi Haryanto, Festival itu telah mengambil dimensi yang kelewat luas dan abstrak bila dikaitkan dengan perkembangan seni di Surabaya. Imbasnya, kreativitas seniman Surabaya ‘dipaksa’ mengikuti paradigma festival.
Tidak salah memang apa yang dikemukakan oleh Haryanto. Namun satu hal yang harus difahami bahwa seniman yang kreatif bukan berarti harus hidup dalam satu wacana kreativitas yang kekeh dengan idealisme keindividualnya. Bagi Haryanto, idealisme seorang seniman adalah tidak terjerumus pada lembah mainstream. Seniman dengan anugerah kreativitas yang dimilikinya harus menjadi dirinya sendiri, tidak boleh dikontrol apalagi dikondisikan oleh apapun dari luar termasuk festival. Dengan demikian seniman adalah makhluk tunggal. Ia akan berkarya sesuai dengan apa yang diyakininya. Tidak perduli apakah publik suka atau tidak.
Jika memang harus dituntut demikian, bisa dibayangkan akan banyak seniman yang akan kehilangan dunianya. Kreativitas para dalang wayang kulit tidak akan laku lagi di musim kampanye partai, padahal ia harus menyuarakan ideologi dari berbagai partai yang mensponsorinya. Bahkan dalang selaku seniman juga memiliki idealisme yang mungkin cenderung berbeda dengan banyak partai itu. Lalu apakah dengan demikian kita anggap bahwa si dalang itu telah menggadaikan kreativitas dan idealismenya demi uang? Atau pada kasus Festival Seni Surabaya, apakah seniman yang terlibat di dalamnya menggadaikan kreativitasnya karena hanya menuruti paradigma festival?
Jawabannya tentu saja tidak. Kreativitas tidak harus dimaknai para ruangnya yang sempit.Kreativitas adalah hasil dari olah pikir kreatif seniman yang dengan lentur dapat dibenturkan dalam berbagai wacana layaknya festival ataupun event lain (Darsono, 2007). Justru dengan banyaknya benturan di luar dirinya itulah kreativitas yang sesungguhnya telah muncul. Layaknya seorang dalang yang harus kreatif membentuk jatidirinya ketika dihadapkan dengan berbagai event kala musim kampanye. Dengan demikian seniman akan mampu ditempa dengan berbagai wacana atau ruang yang menuntut dirinya untuk menjadi pribadi yang kreatif namun sosialis. Mengerti bahwa hidup itu adalah jaringan sistem, saling mengikat antara satu dengan yang lain, antara seniman dengan masyarakat, bahkan antara seniman dengan festival itu sendiri. Sadar dan melihat kenyataan yang lebih kompleks di luar dirinya.
Sebuah Tema
Festival sebagai sebuah ‘wadah bertema’ harusnya mampu menjadikan seniman lebih dewasa. Seniman akan mengerti bahwa dirinya hanyalah sesosok kecil dalam ingar-bingar dunia yang begitu kompleks. Dengan masuk pada ruang-ruang festival itu bukan berarti menjual kreativitas demi uang atau menominalisasikan karyanya. Namun sebaliknya, sebagai sebuah kejelian dalam mengolah anugerah kreativitas dengan berbagai pertimbangan dan wadah (festival) yang mengitarinya.
Kemudian menjadi menarik jika hal ini dikaitkan dengan Festival Seni Surabaya yang kemarin telah berlangsung. Dengan alih-alih tema besarnya ‘Surabaya Experience”, Festival Seni Surabaya mencoba digunakan sebagai titik pijak untuk mengukur dan melihat seberapa jauh Surabaya telah turut berproses dalam ingar-bingar kehidupan, baik dalam konteks lokal maupun global.
Sayangnya, pemaknaan tema yang demikian justru cenderung dangkal. Tema itu hanya menjadi guratan besar yang tak sampai dalam bentuk, format dan isi sajiannya. Jika W Haryanto dalam tulisannya di atas mengetengahkan bahwa seniman dalam event ini terjebak pada paradigma festival. Maka dengan melihat berbagai penampilan kemarin, justru sebaliknya, seniman cenderung bebas, tak mampu mengontrol karyanya untuk dapat ditarik dalam satu tema besar yang membingkainya, “Surabaya Experience”.
Tema itu harusnya mampu mengikat warna karya-karya yang ada. Dengan tema itu, harusnya Surabaya dapat muncul kepermukaan yang tergambar jelas dalam berbagai goresan sajian karyanya baik musik, teater, seni rupa dan tari. Hal itu dapat tergapai dengan mengandalkan sisi kreativitas yang bersumber pada pengalaman (experience) senimannya dalam memaknai kata ‘Surabaya’. Sehingga Festival Seni Surabaya tidak hanya sebatas ‘festival seni di Surabaya’, yang tiada beda dengan festival seni –kontemporer- pada umumnya. Namun ‘festival seni untuk Surabaya’, menggurat warna dan idiom ‘Surabaya’ menjadi lebih bermakna.
Dengan demikian, melalui karya-karya seni itu, harusnya kita dapat melihat warna Surabaya dalam berbagai sisinya. Sayang, hal itu tak sampai dalam pergelaran festival kemarin. Seniman bebas membawa karyanya tanpa harus terikat dan mengikuti tema. Pertanyaannya kemudian, lalu apa gunanya tema di atas? Pengkarya dan penikmatpun pada akhirnya diajak berkontemplasi dan jujur mengakui bahwa Surabaya selama ini hanya mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Surabaya tak mampu mewacanakan ke Surabayaannya. Surabaya hanya menjadi lahan empuk untuk berfoya-foya dan berpesta seni. Lihatlah bagaimana event ini mengkultuskan teater koma di atas segalanya, dibanding penampilan seniman dari Surabaya atau Jawa Timur sendiri.
Di sisi lain, jika memang festival kali ini mencoba mengangkat tradisi, ditandai dengan pentas ludruk Karya Budaya Mojokerto dan Pojian dari Bondowoso (14/11/2010). Lalu, bagaimana wacana perkembangan seni tradisi setelah event ini usai? Dapat diperkirakan, layaknya festival-festival serupa lainnya, sumbangannya belum mampu menggerakkan roda kesenian di Surabaya dan Jawa Timur umumnya menjadi lebih cepat. Justru sebaliknya, membuat eksistensi kelompok seni di luar wilayah Surabaya menjadi semakin populis, layaknya Teater Koma itu (Abdul Latief, Kompas Jatim 15/11/2010). Oleh karena itu wajar jika di banyak forum mengungkapkan bahwa seni-seni ‘tradisi’ di Surabaya kini mulai terasingkan di balik kemeriahan dan kemegahan berbagai festival mahal yang diberlangsungkannya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog Asal Surabaya
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
NB : ah lagi-lagi FSS, festival ini memang menyisakan gema walau kontribusinya terhadap kesenian di Surabaya tak begitu signifikan!
Komentar