Langsung ke konten utama

MEMPERTANYAKAN KWALITAS PUISI PENYAIR (ATAS?)


Esai Cunong Nunuk Suraja

Penyair makin tua makin mantap jejak guratan penanya. Walau sedikit guyuh tapi tak lekang mengungkap daya kreatifnya untuk disodorkan ke pembaca. Puisi yang tercetak tentu sudah layak uji dan siap atau tidak siap menerima tanggapan pembaca. seperti pernah diungkap Sutardji CB bahwa salah cetak mungkin menjadi berkah atau malapetaka. Lebih-lebih jika dalam salah cetak atau unggah dalam dunia maya kesalah cetakan itu menimbulkan kesalahan logika kata.

Dunia wayang memang sumur paling subur untuk ditimba falsafah maupun pengujian tekstual atas makna dan beban pikiran yang mengacu pada kehidupan nyata. Untuk menentukan seorah tokoh pewayangan semisal raksasa Kombakarna hingga patih Sengkuni dalam memahami kejahatan tidak melulu dari tindak tanduk dan kulit luar penampakan tokoh wayang kulit yang gepeng ini. Pada wujudnya Kombakarna adalah raksasa tetapi pada wadag yang besar dan kasar tersimpan keluhuran budi dengan membabi-buta membela negara yang diserang musuh walaupun penyerangan itu karena ulah raja Dasamuka yang serakah, juga sebagai kakak kandung, tetapi Kombakarna tetap membela negara bukan membela penguasa (raja). Begitu juga Sangkuni sebagai patih sekaligus paman Raja Duryudana hanya menginginkan kelanggengan kekuasaan keponakannya. Walau disadari hak kerajaan ada pada putra Pandu atau Pandawa buka putra Destarata atau Kurawa.

Goenawan Mohamad (GM) menuliskan dunia perwayangan dalam puisinya bukan yang pertamakalinya. Kumpulan puisinya terdahulu berjudul Parikesit yang merupakan raja penghujung dinasti Pandawa seusai perang besar Mahabharata. Parikesit seperti juga kakek nya terkena sumpah pembalasan dendam dari dewa dan keduanya mati pralaya dalam menjalani garis nasib terbunuh sumpah. Pada Kompas Minggu, 28 Nopember 2010 redaksi sastra/seni meluncurkan satu sajak GM berjudul Gendari.Tokoh perempuan dalam Mahabharata, ibu seratus anak berlabel Kurawa yang disimbulkan sebagai keangkara-murkaan, keserakahan dan perilaku manusia yang kurang indah. Padahal kedua orang tuanya adalah manusia keturunan terhormat. Kekecewaan Gendari atas putusan Pandu Dewanata yang telah berhasil mengalahkan adiknya (Sangkuni) kemudian menyerahkan pada pilihan untuk dinikahi kakak Pandu yang buta menimbulkan dedam cinta terlara menjadi perang besar Bharatayudha. Kebutaan suami yang menuntun Gendari menutup matanya sepanjang sisa hidupnya merupakan prolog dari sajak GM kali ini.

Puisi ini menyodorkan gambaran mata Gendari sebelum ditutup memandang arah mata angin yang dipercaya sebagai arah aral melintang atau bencana. Utara symbol segala petaka dalam kancah falsafi Jawa. Walaupun GM sendiri tinggal di wilayah pantura (pantai utara)rupanya tidak menyadari makna Utara sebagai petaka walaupun makna lain kata utara adalah menyampaikan pemikiran/pendapat. Permulanan yang muram semuram cuaca awal dari tertutupnya mata perempuan yang terpaksa menjadi isteri priyagung buta (mata). Sosok tikus mati, papan terbelah dan dua pelarian yang sebentar akan terlindas puting beliung tepat sasaran mereflesikan kekecewaan dan kemuram Gendari, lebih-lebih dilafalkan dalam ngudoroso seorang putri pada bait puisi GM:

“Mereka lari dari koloni kusta,” kata Gandari dalam hati,

“dan mereka lihat warna hitam

yang berhimpun di atas bukit.”

Ketercenganan membaca puisi GM jadi pupus manakala GM kembali mengandalkan diksi atau pilihan kata purbanya:

Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:

pada halaman langit

bintang membentuk asteris,

yang merujuk ke nama yang tak ada

juga nama seorang dewa yang

susut.

Ketercengangan ini menutup rasa kagum kekreatifan penyair yang mumpuni terhenti pada ungkapan dengan klise diistilahkan yang itu-itu. Apa jadinya jika puisi semacam dengan judul dunia perwayangan ditulis oleh penyair yang lahir kemudian? Adalah tempat dengan mulus puisi itu bertengger di halaman Kompas yang diagungkan sebagai ukuran kekreatifan atau tingkat puncak penciptaan karya puisi ditara setelah majalah sastra Horison? Pertanyaan yang sama juga dilontarkan Gendari diujung puisi ini:

Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapi

di sudut halaman yang gelap,

utusan yang letih itu

hanya memejamkan matanya.

Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak.

Bumbu-bumbu episode gugurnya Bhisma jadi terasa hambar dengan jejalan imaji 100 luka.

Ketika itu,

utusan itulah yang bersuara.

“Bhisma gugur,

dengan 100 liang luka.”

“Dan ketika orang tua itu rubuh

di bawah bukit-bukit Kurusetra,

perang berhenti sebentar,

dan senjata diletakkan.

Dan di kedua perkemahan

orang-orang menunduk:

‘Bhisma gugur,’ mereka berbisik,

‘dengan 100 liang luka’

Pembaca pengagum penyair terdahulu dengan pahatan-pahatan kata dalam kumpulan puisinya seakan berputus –asa mencari makna kebaharuan suatu kreatifitas yang gress tanpa menoleh pada karya yang purba. Padahal jika cukup jeli mengeja puisi ini kekecewaan atas luruh dan lunturnya kepiawaian yang cerdas sebuah kreatifitas akan terbaca pada pupuhnya;

“Aur mengisut, air surut,

cahaya jadi sepa, dan dari langit

tak ada lagi apa-apa. Hanya di malam-malam tertentu

dewa-dewa menciptakan teks mereka

yang panjang, sepanjang ribuan makam.

Kenyataan yang mengecewakan ditambah dengan “petaka atau berkah salah cetak” pada pupuh yang rancu logika kata:

Dan dari bulan yang lambat

Maut meloncat ke kerumunan mega.

Ia menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat

yang terpenggal.

Singkat kata untuk menutup aurat kecewa pembaca ternyata kearifan dan kepiawaiaan yang surut (atau susut?) tetap menyilaukan mata redaksi untuk enggan membaca ulang dan segera menolak membuang ke kranjang sampah maya seperti ketika membaca nama penyair anyar yang menyodorkan puisi yang juga berbicara hal sama tanpa diksi yang sudah menjadi miliknya. Semisal kata hujan bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi