OLEH S JAI
TULISAN Beni Setia Sastra “Kebacut” di media ini beberapa waktu lalu (19/10) tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Tulisan yang merupakan tanggapan tulisan sebelumnya oleh Lan Fang Jangan Main-Main dengan Sastrawan (15/10) tersebut bila salah asuh, menyebabkan pembaca bisa jatuh pada tindakan tidak melakukan apapun. Atau setidaknya cukup bertahan pada tindakan kreatif yang biasa saja tanpa tawaran baru estetika yang mengejutkan. Yang menarik, Beni tidak menulis dibawah judul sastra dan iman. Meski sama-sama bicara perihal teologi kepenulisan sastra. Artinya, Beni mempertimbangkan betul aspek daya kreatif pembaca. Memang dalam hal kepenulisan banyak yang telah melakukan pengkajian teologis. Akan tetapi dalam bidang yang lebih specific tentang sastra, seni, tentu timbul pertanyaan apakah sebetulnya dapat diterapkan pendekatan teologis? Atau setidaknya seberapa tepat didapat manfaat bagi makluk kreatif yang dalam bahasa Iqbal insan kamil ini? Sastra, seni, puisi, fiksi atau drama adalah dunia yang otonom bahkan dari kekuasaannya sendiri yang membakukan. Karena itu sampai di sini bagi saya mau tidak mau karya sastra, puisi maupun fiksi mesti ditempatkan semerdeka mungkin, sebagaimana mustinya demikian halnya pada utopia perjuangan manusia. Barangkali inilah yang menempatkan kemurnian akan sastra, karya sastra dan daya kreativitas yang kemudian dicurigai bisa “kebacut” tersebut. Bila pun ada daya kreativitas yang cenderung mencari keseimbangan diantara keduanya—teologi dan seni murni—atas nama apapun dalam kerangka garis batas ini, sebetulnya lebih banyak cenderung pada pemahaman yang pertama. Terlebih bila dengan mengutip ayat-ayat suci Al-Quran seperti pada sastra-sastra sufi, atau sastra profetik. Tulisan Beni Setia membatasi sastra berada di batas ini. Pertanyaan berikutnya, benarkah memang ada sastra kebacut? Atau pertanyaan itu bisa diperpanjang, bila telah benar-benar kebacut, masihkah hal itu disebut sastra? Pengalaman arkeologi sejarah pemikiran Arab-Islam menarik untuk dicermati. Adonis, salah seorang sastrawan besar paling mutakhir abad ini dicatat murtad oleh dunia Arab karena pandangan-pandangan dan pemikiran sastranya walaupun dengan berbesar hati ia mencintai Islam dan Al Quran. Ia mencintai dengan mengkritiknya. Sementara mengkritik Al Quran dianggap mensekutukan Tuhan dan mengkritik Islam menyebabkan dia lama hidup dalam pengasingan. Adonis menulis buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam dan memperlihatkan bagaimana tradisi sastra Arab, sampai dimana ketegangannya dan sampai kemana jalan damainya. Di sini kita melukis keteguhan kreatif Al Halaj, Sinisme Gibran, Kebijakan Abu Nawas atau Danarto. Bagi saya dalam bahasa puitika, takdir manusia berbeda dengan takdir puisi. Kodrat penyair tidak sama dengan kodrat penjahat. Jasmani maupun rohani. Kodrat puisi mesti ditulis atau dimantrakan. Tapi kodrat puisi tidak untuk dibaca karena kuasa puisi tak bisa dipindahtangankan, dipindahpikirkan, dipindahrasakan. Ada kejahatan, kebohongan di sana ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Penyair seringkali membunuh puisinya sendiri dengan kejam. Bahkan sekalipun ketika ia membaca, sebetulnya penyair sedang berbasa-basi untuk menempatkan diri selaku pembaca puisi: orang lain. Kejahatan besar manusia, pembaca, juga penyair adalah ketika tanpa ada perintah kemudian membaca puisi. Dalam sejarah umat manusia, yang diperintahkan dibaca adalah ayat-ayat Tuhan. Bukan puisi. Bahkan dalam surat Asy-Syuara (yang juga dikutip Beni Setia), Al-Quran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Kenyataan yang lebih fatal lagi, tidak sedikit yang kemudian mempersepsikan ayat-ayat Al-Quran adalah kata-kata yang puitis sehingga menjadi sangat kabur antara keduanya berkaitan dengan idiom dan estetika puisi. Maka sangat wajar manakala puisi sangat kurang ajar, liar bahkan jahat bukan hanya karena tidak ada dalam kitab. Melainkan lantaran puisi meniru perilaku kejahatan manusia. Namun saya percaya, hal itu hanyalah basa-basi dari puisi. Ia punya ruh yang murni, ruang rohani yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi misteri. Bukan mustahil kejahatan puisi terjadi karena menyerang pencitraannya, perasaannya, pikirannya, hatinya bahkan alam citanya. Akan tetapi siapa yang bisa menghentikan manakala justru dengan itu puisi hendak merebut kembali kehormatannya, kemurniannya? Jadi yang sungguh hebat adalah sastra, puisi. Bukan sastrawan, penyair.[]
Komentar