Oleh AF TUASIKAL
Adalah hal yang kurang tepat, bila Beni Setia tidak hadir di Forum Temu Sastra Jatim, lalu menyinggung hal tersebut sehingga asumsi yang dia tulis tidak tepat dan mengambang (kurangnya keakuratan data). Lepas dari hal tersebut di atas, Beni Setia beranggapan bahwa problem sastra di Jatim adalah kemarahan para penyair-penyair yang tidak kunjung di beri kesempatan tampil di media massa, lalu menerbitkan buku sendiri. Ini adalah anggapan dan asumsi yang salah.
Karena problem sastra di Jatim bukanlah hal tersebut, melainkan sedang terjadi krisis eksistensi. Ini semua dapat kita lihat dari para pengurus-pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang menerbitkan buku karya-karya pengurus dan anggota mereka sendiri. Seperti halnya R Giryadi, Ketua Komite Teater DKJT menerbitkan buku karyanya sendiri drama pilihan 1994-2007 dengan judul Orde Mimpi. Lalu Ribut Wijoto, anggota Komite Sastra menerbitkan buku karyanya sendiri juga sebuah kumpulan esai Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia.
Dana yang seharusnya digunakan untuk menerbitkan karya-karya para penyair Jatim malah digunakan untuk kalangan sendiri. Adalah suatu hal yang tidak tepat dan tidak etis.
Taufik Ismail barangkali tidak akan terkaget-kaget dengan semangat para penyair Jatim yang menerbitkan bukunya sendiri, di diskusikan dengan komunitasnya sendiri, bila tahu yang sebenarnya kondisi sastra di Jatim.
Menurut hemat saya, sastra koran (media massa) adalah sastra picisan (rendah) karena ekspresi-ekspresinya hanya sebatas hasil dari selera redaksi yang belum pasti punya daya baca sastra yang luas. Sastra yang dimuat di media massa adalah sebuah iklan eksistensi pengarang bukan iklan eksistensi karya. Karena kualitas itu dari redaksi bukan dari pengarangnya sendiri.
Seperti halnya terjadi dalam sejarah sastra tahun 50an, muncul gejala malaisse sastra atau krisis sastra yang terjadi karena rendahnya kualitas karya sastra, di mana karya-karya sastra tersebut berumur pendek (hanya termuat di media massa).
Bila kita harus berkaca, sastra dunia adalah sastra buku, dan sastra sesungguhnya adalah sastra buku. Karena dengan buku itu, kita akan tahu yang sebenarnya kadar rendah dan berkualitasnya suatu karya sastra dari pengarangnya. Seperti Robert Frost (1874-1963), Henry Wadsworth LongFellow (1807-1882), Ralph Waldo Emerson (1803-1882), Edgar Allan Poe (1809-1840), Walt Whitman (1819-1892) dan juga Victor Huggo yang besar oleh bukunya.
Kahlil Gibran
Ketika saya membaca tulisan Beni Setia, pada Kompas, 19/10/2010 saya terpukau dengan kata-katanya yang berbicara tentang Surat Asy Syuara, yang begitu luar biasa menggambarkan dan mengingatkan para penyair agar tidak liar mengumbar imajinasi hingga melampaui batas. Saya ucapkan terima kasih Mas Beni Setia, seperti rasa kagum saya pada Socrates yang saya anggap dewa.
Dan dalam hal ini, saya teringat juga ketika membaca karya-karya Kahlil Gibran yang imajinasinya sungguh luar biasa dan melampaui batas pemikiran manusia. Saya tersihir dan terpukau menganggap karya-karya Kahlil Gibran adalah nabi dan Kahlil Gibran adalah Tuhan.
Namun, ketika saya sadar kembali dan mengucap laillah ha illallah bahwa tiada Tuhan selain Allah, tumbang sudah pemikiran-pemikiran, kekaguman-kekagauman saya tentang para cerpenis, pengarang seperti Albert Camus, dan para dewa-dewa yang saya kagumi tadi. Karena dengan mengucap kalimat bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah, saya sadari betul bahwa yang namanya imajinasi adalah milik Allah dan datang dari Allah.
Saya berpikir kembali, mengapa kaum sufi seperti Farriduddin Attar dan Jalaluddin Rumi tidak menulis puisi dengan imajinasi yang membangun imajinasi baru, yang menghidupkan karya itu, artinya menghidupkan sesuatu yang tidak ada, layaknya sutradara menghidupkan naskah drama melalui film-filmnya, dan dalang menghidupkan wayang melalui pertunjukannya, yang memberi nyawa pada Arjuna, Rahwana, dan lainnya.
Karena mereka kaum sufi sungguh mengerti dan paham akan kekerdilannya di mata Tuhan, tidak ingin menjadi tuhan-tuhan kecil dalam imajinasinya yang liar terumbar melampaui batas imannya. Karya-karya mereka kaum sufi melanjutkan cerita-cerita dalam Al Quran, dan tidak membuat cerita sendiri.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Mas Beni Setia atas tulisannya yang menggugah ini, semoga Mas Beni Setia yang saya anggap dewa tadi bisa lebih memahami dan bisa membedakan antara Surat Asy Syuara dengan Surat Asy Syura sehingga tidak menjadi sastra kebacut.
Ahmad Farid Tuasikal, Penyair Tinggal di Mojokerto
NB : ah, lagi-lagi polemik murah lagi! Jawa Timur memang suka ribut sendiri dengan hal remeh temeh dan tak substansial semacam ini!
Komentar