Langsung ke konten utama

Puisi Umar Fauzi Ballah


Hikayat Peri Burung Pipit

/22.00/

Burung pipit berteduh di bawah kamboja

Matanya picing melihat mayat-mayat menari

Bahagia nun di sana jauhnya.

Ada suatu malam di mana gelap dibuatnya

Sangsi oleh do’a seorang remaja kepada purnama:

Bulan, benderangkanlah sulur mimpinya

Kamarnya remang, bagaimana jika mimpinya

Membentur tiang-tiang di rumahnya sendiri

Hingga gagal ia bertemu mimpiku, yang seanggun bidadari

/00.30/

Hihihi…

Burung pipit geli (setengah mati)

Malaikat nungging di dini pagi

Menuruni embun sewangi bayi

Remaja insomnia itu, berkali meremas jam. Berkali pula

melonjak jantungnya. Ingin menuju bintang: bintang pagi!

Bintang yang tak pernah kubayangkan

Berbentuk segitiga lima sudut

Sebagaimana digambar banyak orang

Tapi berbentuk hati yang digambar pasangan sejati

/02.30/

Burung pipit meninggi

Ada janji yang akan mengekalkan birahinya

Sebelum malam dikhianati kokok ayam.

Malam hampir bening. Dan remaja itu baru saja terlelap.

Tepat ketika burung pipit hinggap di jendela rumahnya.

Tapi malang, baru saja peri menetas dari mimpinya.

Burung pipit lari meninggi kembali.

Bertengger di atap

Menunggu waktu sekarat...

(Sampang, 2009)


Umar Fauzi Ballah, (saya isi apa ya biodata orang ini? he3...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI