Langsung ke konten utama

FESTIVAL SENI SURABAYA; Gaungnya Nyaris Tak Terdengar


Oleh: Abdul Lathief

Senin, 15 November 2010 | 03:22 WIB

SUMBER: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/15/0322385/gaungnya.nyaris.tak.terdengar

Hari Sabtu (13/11) malam berbarengan dengan pentas ”Rumah Pasir” oleh Teater Koma Jakarta dalam rangkaian Festival Seni Surabaya 2010 bertajuk ”Surabaya Experience” di Gedung Cak Durasim, di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya yang semula dipakai untuk aktivitas FSS justru menjadi tempat penyelenggaraan acara perkawinan.

Panggung FSS dengan segala perlengkapan pendukung seni pertunjukan sudah disiapkan di dalam gedung utama. Namun, sejak Jumat (12/11) sudah mulai dibersihkan karena hendak dipakai untuk hajatan dan pesta perkawinan yang sudah mengikat kontrak dengan pengelola Balai Pemuda Surabaya.

Ironis, itulah yang terjadi sepanjang sejarah Festival Seni Surabaya. Sebab, selama ini tatkala perhelatan berlabel FSS, kompleks Balai Pemuda nyaris berubah wajah menjadi oase sekaligus etalase seni dan budaya selama aktivitas festival berlangsung.

Realitas itu setidaknya mengindikasikan persiapan panitia FSS tidak terprogram dengan baik. Adapun pihak panitia mengaku sudah berupaya maksimal bisa memanfaatkan Gedung Utama Balai Pemuda selama ajang tahunan ini berlangsung.

”Soal tempat, murni soal teknis. Awalnya mau pakai gedung Mitra baru. Tapi tidak bisa karena belum selesai direnovasi dan memang sudah terikat kontrak. Jadi tidak bisa dipaksakan,” kata Ketua Umum FSS ”Surabaya Experience” Basuki Babussalam.

Fakta lain yang amat mengganggu eksistensi FSS yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, sejak tahun 1996, adalah tampilnya Teater Koma dengan lakon ”Rumah Pasir”.

Penampilan teater dari Jakarta itu oleh sebagian seniman dianggap kesalahan panitia yang wajib dipertanggungjawabkan ke pada khalayak.

”Event seni FSS kacau, rusak, dan amburadul. Teater Koma ditanggap gede-gedean, sementara seniman lokal tidak diberi kesempatan seperti Teater Koma. Semakin runyam pentas Teater Koma tidak lebih dari garapan proyekan (HIV-AIDS),” kata Saiful Hadjar, seniman penggerak Kelompok Seni Bermain Surabaya.

Kelompok seni ini pernah menggegerkan jagat kesenian di Surabaya bersama seniman Mulyono asal Tulungagung dengan aksi seni rupa Marsinah, aktivis buruh yang ditemukan meninggal di kawasan hutan di Jatim pada 1990-an.

Penghormatan atas Teater Koma pun terkesan overdosis. Semua orang pasti mafhum dengan eksistensial, kebesaran, kepopuleran, dan keprofesionalan Teater Koma yang tanpa harus bersikap berlebihan tentu akan menyedot perhatian khalayak.

Kenyataan itu tersirat saat Teater Koma hendak geladi bersih dan pentas, Jumat dan Sabtu (12-13/11), panitia pun tampak antusias menghubungi media massa. Sebaliknya, tatkala kelompok-kelompok lain taraf lokal hendak tampil, nyaris panitia bungkam.

Bahkan, tatkala Kompas diundang meliput geladi bersih pentas tari pada Minggu (7/11), tak banyak panitia yang hadir hingga akhirnya geladi bersih pun molor tanpa kejelasan. Hal itu pun kembali terulang manakala geladi bersih pentas kolaborasi musik-puisi pada hari berikutnya.

Kacau sejak awal

Dari balik keruwetan, kekacauan, dan perlakuan yang overdosis yang mewarnai FSS tahun 2010, tebersit sebuah upaya yang layak mendapat apresiasi saat giliran pentas teater lakon ”Rembulan di Atas Kremil” oleh Bengkel Muda Surabaya bekerja sama dengan teater Berdaya, Bangunsari (Kremil), Surabaya.

Tim produksi teater lakon ”Rembulan di Atas Kremil” mengambil cara efisien, efektif, dan komunikatif dengan menerbitkan dan membagikan buku kecil naskah seputar pementasan.

Sekalipun tanpa mendapat perlakuan yang berlebihan dari panitia, media pun meresponsnya dengan antusias.

Ritus tahunan FSS yang telah menjadi ikon Surabaya kini telah usai berbarengan dengan pentas kesenian ludruk ”Karya Budaya” Mojokerto, Minggu (14/11) di Pelataran Balai Pemuda, Surabaya.

Kehadiran kesenian tradisional dalam ajang FSS kali ini sesungguhnya mencederai eksistensi festival. Prosesnya telah menasbihkan sebagai ruang kekaryaan seni kontemporer, futuristik dan eksperimental, entah seni tari, seni musik, seni rupa dan sastra.

Berdasarkan catatan Kompas, dalam perhelatan FSS tahun 2003, Sekretaris Panitia Henry Nurcahyo secara tegas menyatakan, Festival Seni Surabaya berbeda dengan Festival Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, yang lebih kepada kesenian tradisi. ”Framenya FSS adalah kontemporer, futuristik, dan eksperimental,” katanya kala itu.

Menilik waktu penyelenggaraannya pun, tahun ini berbeda dengan kesejarahan FSS yang momentumnya bersamaan dengan peringatan hari jadi Kota Surabaya pada Mei-Juni.

Alasan panitia menghelat FSS tahun ini dalam bulan November karena persoalan teknis setelah FSS vakum tahun 2009 dengan adanya pemilihan presiden.

”Setelah vakum di tahun 2009 karena pilpres, perlu persiapan yang cukup dan pilihan jatuh di November. Namun, tahun depan direncanakan kembali ke bulan Juni,” kata Basuki.

Adapun soal penampilan tampilnya kesenian ludruk, panitia FSS berargumen, hendak menyatukan budaya modern dan tradisi. ”Karena FSS punya semangat budaya itu, selain tampil karya mutakhir, kita juga ajak menikmati ludruk. Apalagi tema tahun ini adalah ”Surabaya Experience” dan ludruk menjadi bagian perjalanan panjang kota ini,” katanya.

Saiful Hadjar menyatakan, sampai sekarang manajemen FSS tidak pernah lahir. Walaupun mereka yang menangani kepanitiaannya sudah berulang kali terlibat, terkesan masih berjalan sendiri-sendiri. Panitia tampak sekadar menjalankan kerja, tidak berinisiatif dalam berpikir dan bersama-sama membangun strategi kesenian sehingga penyaji yang diundang pun tidak selektif.

”Sudah seharusnya yang terlibat FSS paham kesenian. Kesenian itu ideologi dan dialogis. Mereka katanya tahu manajemen kesenian, tapi tidak menerapkan sehingga aplikasinya nol,” ujarnya.

Mencermati perjalanan FSS dari tahun ke tahun, tidak semakin berkarakter yang membuat khalayak merindukan kehadirannya kembali.

Konsistensi pencapaian sebuah festival amat menentukan jati diri, bahkan menjadi sebuah peristiwa fenomenal yang akan terus ditunggu masyarakat seni pertunjukan.

Apa yang pernah dilontarkan oleh komponis kesohor arek Surabaya Slamet Abdul Sjukur, tampaknya masih relevan untuk direnungkan. ”Indonesia memang hebat dalam konsep, namun amat lemah dalam pengejawantahannya. Hal itu tercermin di negeri ini yang tidak pernah bagus,” katanya.

Festival Seni Surabaya tahun ini terkesan sekadar ada, setidaknya tercermin dari kurang matangnya panitia mengelola event besar itu, seperti tanpa baliho dan poster di sudut kota.

Dari awal penyelenggaraan hingga berakhir, tak ada kesan yang mendalam dalam FSS 2010, kecuali sebuah kekecewaan.

FSS tak dikelola secara profesional sehingga insan media pun nyaris luput dari kegiatan seni itu. Malang FSS 2010 yang nyaris tak terdengar gaungnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI