Tafsir Ikan
Telah kurindukan sengau batu hitam berlubang, tempat benih-benih bersemayam. Juga tangis kecil perempuan yang ingin sampai kepada akar-akar pohon yang membadai. Agar ada yang tetap tegak meski jejak musa ditafsir ribuan air kali. aku melihatmu melepas baju kehormatan. lantas udara mengirim salam terbuka. Datanglah seperti kau menghampiri makan malammu dengan empat orang kenalan.
Masing-masing ingin menuang air putih ke gelasmu
Orang pertama datang dari ketulusan karena engkau setia mendengar keluh kesah, meski punggungmu lumut menggigil. Dan malam yang kau sulam kembang setaman, menemukan kekasih dengan ombak kecil di dahinya. Bukankah pandanganmu telah kau jatuhkan kesemua arah? lantas kau leluasa berenang. Semakin jauh ke dalam
Orang kedua adalah kejujuran yang kau angkis dari ceruk duka. Lalu kau kabarkan kesetiaan pada mata, telinga, hidung, mulut, kelamin, juga dada yang menyembunyikan laut abad-abad yang tenggelam. Mata kirimu bersaksi saat mata kanan mengerling pada bunga ombak. lalu kau kirim alamat pada mata kaki
“Wahai mendekatlah pada yang lemah, seperti rindu nelayan pada tumpukan pasir”
Orang ketiga datang dari kerumunan. Ia dari bangsa perempuan, namanya, rahim. Bila anjing menghardik dan pintu pagar berwarna kelam, kau melambaikan pelukan seperi bisik gerimis di kebun belakang.
”Jangan tidur di kala petang. Sebab urat nadi ingin benar mendengar kepak warna yang meninggalkan rumah pelan-pelan.
Orang keempat adalah pengertian. Kadang wajahnya securam lembah. kadang perawan yang datang menirukan bunyi gamelan. Kali ini ia menutup separuh wajahnya dengan kain hitam. Mengabarkan laut yang terbelah. Lalu matanya menjadi ikan-ikan yang berenang ke dalam kalbu. Kalbu menjingga, menerima uluran tangan ibu semesta
“Paman, paman! hatiku menagkap ikan yang melompat dari kematian”
surabaya 2008
Labang mesem
Aku dulunya, airmata yang terlempar dari mata kanan anak gadis di bawah petang yang diburu. Karna seorang lelaki yang menanam biji matanya pada daun salam, telah mengasah hari depannya dengan lengkung besi. Lalu aku tumbuh menjadi sebatang pohon yang memberi naung pada tualang. “siapakah namamu dinda?” tanya seseorang yang menaruh kembang tujuh warna di akarku.
Akupun memuncak sewarna kuning pengantin. Di bawahku, umbul-umbul dan bunyi-bunyian yang mengabarkan rahasia selendang.”Wahai, siapakah di antara kalian yang kelak menerjemahkan bibirku yang bisu” lalu hujan tak datang. Orang-orang mencari sungai. Juga tetabuhan yang mengundang bianglala.”Adakah yang hendak memberi senyuman dalam kering begini?”
“Tunggu aku di bawah beringin, kanda. Jika kau setia pada biji mata yang kau tinggalkan di keningku. aku pasti datang bersama kabut tipis yang menyimpan anak-anak gerimis. dan pada hari itu, hadapkan wajahmu pada gundukan tanah, tempat gembala mengawasi kambing-kambing. Bukankah telah kau rindukan airmatamu sendiri?”
Lalu pertemuan itu, seperti maut yang mendekati orang-orang kudus, seperti gadis yang mengangguk.kepada pinangan yang dijanjikan
2008
Bunga Ombak
Gerangan apakah yang menuntun bunyi liris dari debur yang kelam
orang-orang dalam kidung berangkat menggali subuh seperti nuh.
suaranya, suara angin berulang-ulang di dahan-dahan. Adakah yang jatuh sebagai sabda pagi nanti? Lalu kerling anakku mengupas buah jamal yang jauh dari ingatan.
Hanyutlah rinduku bersama bunyi liris ke sendang-sendang. Menghijau rumput dan kenangan kepada inkarnasi. haina, haina, bulan buntung minta ditanam, bulan buntung minta ditimang. Sebab
rumahnya mau di makam
Duhai, berapa kali telah ku lagukan riang-murung ombakmu supaya
tirakatku menjelma ikan yang mengerti arah kebajikan. Lalu mataku yang majnun tak lagi berdusta pada kematian. sebab tubuhku berlayar ke palung namamu paling perempuan
Haina, berikan kecupanmu, agar laut tenang kembali.
2008
angon
akupun kembali asing ketika pohon tubuhku
menemukan musim kemuning yang membawa jejak lapar
ambillah satu dan bawa pergi kekasihmu ke tempat yang teduh
angin kecil datang dengan hembusan amat kuat
berikan tanganmu, agar aku lewati kesumat ini dengan
keringat dan tatapan yang mengurai tapal batas
lalu tak ada mimpi pada malam berikutnya. sebab udara telah
membangkitkan yang semula terpendam. aku telanjang, gusti.
dan jendela mataku melihat isyarat warna bermekaran
ku dekati yang paling hijau untuk memastikan risalah tangis
yang menjelma gerimis. lalu benih dari tualang rindu tumbuh
menjadi kerling mata kambing yang berlari ke luar pagar
berikan pelukanmu sebagai penanda kepulanganku kelak.
bahwa kau juga menanam kembang pada jejak yang kau tinggalkan
lalu kubaca air yang turun begitu ritmis.
o, mengapa menangis
november 2007
Alek Subairi, kelahiran Sampang 1979, lulusan Jurusan Seni Rupa Unesa
Komentar