Perpuisian Surabaya pasca-Orba menjadi sejenis gerakan separatis di wilayah perpuisian Indonesia. Dengan buku kumpulan puisi Labirin dari Mata Mayat karya W. Haryanto (2003), Pengantin Lumpur karya Mashuri (2004), dan Ekspedisi Waktu karya Indra Tjahyadi (2004); gerakan itu gamblang memproklamasikan tampangnya yang membelot dari muka pasaran perpuisian Indonesia.
Tersiar kabar, sejumlah elite kesusastraan Indonesia menuduh tiga penyair utama Surabaya itu sebagai pengamal puisi surealis dan menyelundupkan warna gelap gulita ke wilayah perpuisian Indonesia yang terang benderang. Bahkan, menurut Abdul Wachid B.S., Surealisme di Indonesia masih sebatas estetika (belum membangun ideologi) sebab jejak Surealisme terendus melalui kata-kata bentukan abstrak dan pencitraan realitas berganda semata, belum pada cara pandang dunianya. Sahihkah?
Secara enteng, Surealisme dipahami sebagai nalar yang menjunjung aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar kenyataan), menempatkan yang nyata dan imajiner dalam kesatuan ruang-waktu. Surealisme yang “resmi” menerapkan aliran itu secara estetik dan ideologis tak sebatas gaya puisi, tetapi juga pandangan dunianya.
Mula Surealisme dikumandangkan oleh Andre Breton di Prancis melalui Manifesto Surrealism (1924). Andre Breton terilhami ajaran Sigmund Freud dan eksperimen automatic writing Breton sendiri. Aliran seni itu memengaruhi kesenian dunia, terutama seni rupa. Seni rupa Salvador Dali, misalnya. Judul puisi W. Haryanto “Apparition of Face and Fruit Dish on A Beach” meminjam sebiji judul lukisan maestro seni rupa dunia itu.
Tiga penyair yang bertahun-tahun bertungkus-lumus dalam pergaulan komunitas Gapus (Gardu Puisi) dan kelas Sastra Indonesia di bangku Universitas Airlangga Surabaya itu pernah hadir bareng dalam kumpulan puisi Manifesto Surrealisme (2002). Dalam pengantar buku itu, Sony Karsono bilang, “Bacalah, atas nama ketidaksadaranmu, sajak-sajak itu dari depan ke belakang, melawan arus metafor dan metonim.”
Lebih dari sekadar “melawan arus”, yang menyebabkan puisi mereka menghindari nalar dan tata tertib puisi kolektif, tiga penyair yang mengolah diri dan dewasa menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru itu menyempal dari raut umum perpuisian Indonesia dan “sadar” telah mengusir diri sendiri untuk menghuni dan membiak dalam bungker di bawah tanah perpuisian Indonesia.
Tugas penyair, kata W. Haryanto, tidak lagi mewartakan atau mengabdi kepada kesunyian –tetapi berupaya mengambil alih dengan paksa dunia. Dia mendakwa, “Kejahatan terbesar para penyair adalah membuat dunia tidak punya ‘hak bicara’; nalar ini, pada akhirnya membuang penyair jauh di luar semua tujuan dunia –kemajuan.”
Sikap radikal itu mirip kredo Chairil Anwar (“Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia”) dan bergelora “mengambil alih dengan paksa dunia” yang murni, bebas dari cemar-nalar sehingga tak ada bahasa yang kumengerti, selain puisi yang bertebaran di tubuhku (W. Haryanto, “Imperialisme Kota Beku”).
Tekad perpuisian Haryanto itu menggambarkan kenyataan murni dunia demi melawan nalar dan tata tertib puisi kolektif yang menggelapkan dan mengotorinya. Akan tetapi, kehendak itu dituduh justru sebagai penggelap dan pengotor dunia oleh pihak yang lain (para penuduh itu). Perbedaan perspektifkah yang menjadi biang saling tuduh itu?
Pandangan Chairil tentang puisi itu menyodorkan paradoks: “sebuah sajak yang menjadi” (bukan “jadi”) tak menggumpal-beku, mengeras, dan serbaberes (Goenawan Mohamad), melainkan bergelut tanpa ampun dan tak terampungkan. W. Haryanto menarik diri dari pandangan kolektif tentang kenyataan dunia itu, sebab “tak ada bahasa yang kumengerti” dan dia membangun bahasanya dari “puisi yang bertebaran di tubuhku”.
Bagi Chairil, sajak sebagai “dunia yang menjadi dirinya sendiri” dan sajak menurut W. Haryanto sebagai “dunia yang dimengerti tubuhnya sendiri”. Tak ada yang paling absah dari keduanya.
Karakter puisi Haryanto sangar, terlunta, tegang, dan lebih tak doyan halus-genit sentimentil ketimbang puisi Mashuri maupun puisi Indra Tjahyadi. Dia gamblang mengakui, di kotaku. Tak ada yang bisa diingat, “sungai telah sendiri, dan perempuan telah dijahit kelaminnya!” dan bayanganku tak berbaju, hujan datang mencambukku (“Simphoni Perpisahan”). Karakter itu mewarisi sifat tiang listrik, kasar muka tembok lorong, bahasa masyarakat yang benci basa-basi, dan orang-orang yang kelewatan jujur.
Kesadaran Haryanto terhadap dunia yang kehilangan “hak bicara” itu mengompori emosi kepenyairannya, menyulut militansi dan kegilaannya sehingga “tata krama” perpuisiannya “kurang ajar” bagi nalar dan tata tertib puisi kolektif.
Puisi Mashuri sadar pola bunyi bahasa. Keliaran imajinya tak bablas seperti orang gila minggat dari rumah sakit jiwa dan mengamuk di tengah pasar. Puisinya sering tampil manis meski memuat kengerian dan kesaruan. Puisinya seperti pembunuh berdarah dingin yang necis dan santun. Puisinya mengatur pola bunyi bahasa (a-a-b-b), “air mengalir/setiaku mengalir/kupuja bangsat/kulanggengkan khianat (“Mengunci Waktu di Bibir”), serta sadar ritme dan rima, Di sana, kupahat namaku, riwayatku dan luka waktu… Lalu di atas seorang perempuan berkebaya yang menyingkapkan sebuah rahasia, kusucikan lingga dan analku (“Potret Seorang Bandit”).
Puisi Mahsuri juga bicara klenik Jawa (“Metafisika Aksara”) dan mistik Islam (“Alif Ba’ Jim”), juga erotika. “Puisi,” kata Mashuri yang saya ingat sekenanya “membuat saya bisa mengucapkan yang terlarang.” Soal-soal itu cenderung absen dalam puisi Haryanto. Mashuri menjelajah gagasan puitis dan W. Haryanto suntuk mengebor potensi psikis dan profan sejauh dan seekstrem mungkin persoalan yang cenderung personal dan memusar. Penjelahan itu mungkin mencairkan puisi Mashuri, “prosaik”, karena arus kesadaran bahasanya tergoda gairah mengabarkan gagasan dan mempertaruhkan harga kepuisian pada pola bunyi bahasa.
Watak puisi Mashuri meladeni godaan gagasan dari luar tubuhnya ketimbang menggali perkara yang mengendap di sana, serupa don Juan yang bergairah menjamah perempuan demi perempuan dan cepat bosan. Pengelanaan “fisikal” itu membuat kematangan psikisnya tak semantap puisi Haryanto. Mashuri seperti pengelana dan Haryanto serupa petapa. Yang menyamakan mereka adalah kebrutalan dan kekasaran kontemplasi.
Soal kekaleman dan kelirisan, puisi Indra Tjahyadi paling kentara ketimbang puisi Mashuri maupun puisi Haryanto. Puisi Indra seperti laki manis yang tekun melamun di kamar malam hari dan malu-malu menulis buku harian yang berisi pengakuan cinta, tapi alergi menyatakan berahi secara diam-diam atau terbuka. Puisi Indra tak segarang puisi Haryanto yang meledakkan bom di laci mejanya dan jauh dari mistik seperti puisi Mashuri yang hendak melayari akhirat dan “mengafirkan segala cinta”.
Puisi Indra menetek nostalgia: merumus-ulang ingatan dan kenangan. “Toh, tak ada buruknya berbagi kenangan dengan orang lain,” katanya. Puisi Indra kukuh berdiri di atas tubuh waktu dan ingin seiring keyakinan Milan Kundera yang melawan lupa. Waktu berjalan menuju hulu, alangkah lambat perjalanan angan yang bersinar pada ruas redup. Seperti awan yang mengapung telentang di mana malam hanya tahu; hening (“Ekspedisi Waktu”).
Puisi Indra tampil cool dan jauh dari keberingasan puisi Mashuri dan puisi Haryanto. Keromantisan menjadi ciri utama puisi Indra. Puisinya teduh-sayu. Puisinya serupa kebun, bukan medan ganas serupa puisi Haryanto dan tak memasuki kasunyatan maupun perklenikan seperti puisi Mashuri.
Puisi Indra gandrung kehalusan imaji dan membuka pintu bagi lambang dan pengelanaan yang tenang, penuh isyarat, menyusupkan rayuan tersembunyi, jauh dari keberisikan. Kepekaan sosial-politiknya juga tumbuh (misal puisi “1997″) meski terbata dan menjurus vulgar: menanami seluruh mataku dengan beringin. menguningi seluruh mataku menguningi seluruh tanganku. tapi, sebuah berita ekonomi datang lagi. inflasi!
Yang menyambungkan puisi Indra dengan puisi Haryanto dan puisi Mashuri adalah kegandrungan pada tragedi: kenyataan dunia yang tak gembira dan mereka memberikan kesaksiannya serupa suara mimpi yang kelam melalui cara kalem dan romantis (Indra Tjahyadi), brutal dan psikologis (Haryanto), dan memainkan pola bunyi bahasa serta jelajah gagasan (Mashuri).
Mereka tak lagi sembunyi dalam bungker. Mereka telah jalan-jalan di keramaian perpuisian Indonesia dengan identitasnya sendiri meski dituduh sebagai pengamal puisi surealis dan gelap. Keyakinan diri dan sikap mereka terjaga meski ditampar tuduhan yang serampangan itu.
Puisi ketiga penyair itu mungkin menaati estetika dan ideologi surealisme Prancis atau mengambil spiritnya saja dan diselaraskan dengan semangat (kesurabayaan) mereka. Kemungkinan itu bisa berlangsung sebagai strategi atau akibat “salah baca” dan itu semua saya kira bukan masalah.
Surealisme yang “benar” atau dianggap keliru penerapannya bukan soal terpenting bagi puisi. Bagi A. Teeuw, ketegangan antara konvensi dan inovasi sebagai urusan menarik dalam kesusastraan. Ketegangan itu mungkin nihil bagi para penuduh itu dan dinilai sebagai kengawuran yang bandel belaka.
Meski “terpencil”, tiga penyair itu dan eksponennya, gembira dan waspada sebagai separatis yang membangun harga diri “Puisi Mazhab Gapus” yang diimani serupa puisi Mashuri “Pelayaran di Akhirat”: jangan bertanya kubah itu milik siapa sebab nujum telah terwarta bahwa dewa bumi akan tertanam di perut waktu.***
Binhad Nurrohmat
Penyair
Komentar