esai Ribut Wijoto
Dalam beberapa hal, saya adalah penggemar Afrizal Malna. Ketika suatu kali Afrizal bilang bahwa banyak penyair sekarang sebenarnya tidak punya alasan untuk menulis puisi, sungguh, saya terpesona.
Apakah pernyataan itu dilontarkan setelah melalui riset yang panjang, pertimbangan mendalam, atau sekadar ceplosan, saya tidak tahu pasti. Yang pasti, dalam beberapa hari bahkan bulan, pernyataan itu terus terngiang dalam benak saya. Dia seakan merasuk inheren pada otak saya, istilah Jawanya, saya terus kepikiran. Beruntung bagi saya, pernyataan Afrizal tidak sampai membetot mimpi saya. Mimpi saya tetap terisi persoalan-persoalan rumah tangga. Semisal percintaan saya dengan istri saya yang tidak pernah jenuh kami lakukan. Pernyataan Afrizal hanya berkelindan dalam pikiran ketika saya sepenuhnya sadar.
Pernah suatu kali saya iseng menanyakan kepada Afrizal, apakah puisi-puisi yang termuat di media itu bisa dijadikan standar kualitas puisi di Indonesia. Dia menjawab dengan nada datar, “Ribut.., para redaktur itu banyak yang tidak paham puisi”. Waduh! Jawaban apa pula ini. Untung yang ngomong Afrizal Malna, tokoh idola saya. Coba kalau yang ngomong orang lain, saya tentu mendebatnya habis-habisan. Atau setidaknya, saya akan langsung menganggapnya sedang pilek pengetahuan. Tapi ini Afrizal, tokoh idola saya. Engkau tahu, setiap omongan idola adalah spirit menjalani kehidupan. Semisal engkau mengidolakan Amin Rais. Maka setiap omongannya tentang politik, engkau tentu menghargainya, menghormatinya. Nah, ini Afrizal Malna, seorang penyair dan dia berbicara tentang kepenyairan, tidak bisa tidak, saya menghormatinya.
Afrizal, dia telah mendedahkan 2 soal gawat bagi keinginan saya membaca karya puisi-puisi saat ini. Bagaimana tidak, penyairnya dinilai tidak punya alasan menulis puisi sedangkan redakturnya dianggap tidak paham puisi. Klop. Itu artinya, puisi-puisi yang dimuat media massa saat ini adalah sampah. Diam-diam saya berdoa, semoga penilaian ini salah.
Lantas saya berusaha mengabaikan statemen Afrizal. Saya tetap tanpa jemu mengikuti satu dua puisi di media massa. Membacanya. Kadang menyimaknya. Kadang memasuki lanturan imajinasinya. Kadang menyisir asonansinya, rima-ritmenya, pilihan diksinya yang mencengangkan, literasinya, juga tipografinya yang kadang sopan kadang norak. Saya menikmatinya. Bersanding dengan semburan berita, feature, iklan, dan foto lepas; keberadaan puisi tetap menyuguhkan dunia lain. Pada puisi, semua peristiwa penting bisa bertemu dengan peristiwa sepele. Berpadu pula dengan peristiwa seronok. Dan, ini yang paling istimewa, puisi-puisi itu mengajak saya untuk berkontemplasi. Bukankah ini asyik? Sangat berbeda dengan membaca berita. Apalagi baca iklan. Wekss!!
Tetapi begitulah, keasyikan saya membaca puisi tidak sepenuhnya menyebar di seluruh tubuh. Ada beberapa bagian tubuh saya menolak untuk menikmati puisi Indonesia saat ini. Semakin ganjalan itu saya tekan, semakin dia menolak untuk menyingkir. Dia membantah, mengajak beradu argumen, dan saya tidak menanggapinya. Saya hanya memberi saran pada sebagian tubuh saya; pikiran kamu itu tidak bersih, kamu telah dipengaruhi Afrizal Malna, istigfarlah, memohon ampun pada Allah SWT, kembalilah pada jalan yang benar, abaikan orang yang telah memprovokasi kamu, jernihlah memandang fenomena-fenomena baru, jangan terlalu percaya pada status quo. Bukannya menurut, bagian tubuh saya yang menolak puisi Indonesia semakin beringas, dia secara terang-terangan menantang saya. Sekali lagi, saya tetap tidak peduli dengan tantangannya. Saya anggap dia sedang caper (cari-cari perhatian). Maka, saya memilih untuk pamit pergi. Pura-pura sedang ada janji dengan teman.
Saya menuju warung. Memesan kopi dan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana. Sembari mengepulkan asal, saya bergumam, ah, hidup memang layak untuk dibuat gembira.
Sebagai penggemar Afrizal, saya merasa mengenal baik puisi-puisi Afrizal. Saya merasa sepenuhnya tahu, puisi Afrizal adalah reproduksi tradisi perpuisian yang sebelumnya pernah ada. Afrizal memahami teknik puisi mulai dari zaman Indonesia masih dijajah Belanda hingga puluhan tahun setelah Indonesia merdeka. Kesemuanya turut membentuk karakter puisi Afrizal. Secara sadar dia mengadopsi dan mengolah kembali sehingga membentuk pola puitik tersendiri. Dari situ, saya bisa katakan, Afrizal telah berkontribusi terhadap tradisi kepenyairan (baca: kesusastraan) di tanah air. Dia tidak sekadar mengekor. Lebih dari itu, dia mencipta ulang.
Mengekor dan mencipta ulang tentu saja berbeda jauh. Tradisi puisi menyediakan pola puitik seperti template website. Pada blog wordpress misalnya, pengguna telah disediakan beragam macam template. Tinggal memilihnya. Usai memilih, pengguna cukup memasukkan tulisan atau foto. Jadilah blog baru. Kegiatan ini yang saya sebut mengekor. Kalau mencipta ulang, pengguna bakal membuat template tersendiri. Setelah jadi, dia baru memasukkan tulisan dan foto.
Begitu pula dengan kepenyairan. Tradisi puisi itu semacam template. Seseorang bisa memasukkan kalimat atau kisah di dalamnya. Lahirlah puisi baru. Semisal template sajak perenungannya Subagio Sastrowardoyo, template sajak lirisnya Sapardi, template sajak mantra Sutardji Calzoum Bachri, atau template pantun. Banyak sekali template puisi yang disediakan tradisi puisi Indonesia.
Nah, Afrizal mempelajari template-template itu untuk menciptakan template baru. Inilah yang saya sebut sebagai penciptaan ulang.
Tidak cukup mencipta template, Afrizal juga membelakkan mata terhadap realitas keseharian sekaligus mendialogkannya dengan ilmu pengetahuan terkini. Dia lahir dan besar di ibukota, Jakarta. Kesehariannya sangat keras. Bayangkan saja, jumlah kantor terbanyak se Indonesia, ada di Jakarta. Supermarket terbanyak di Jakarta. Mobil dan televisi terbanyak ada di Jakarta. Dan di situlah, Afrizal hidup. Imbasnya, ketika menulis puisi, Afrizal tidak bersikukuh membicarakan daun dan laut. Gunung dan sawah. Afrizal menulis tentang deru kereta, barang-barang mewah, coca cola, pemerintahan yang sibuk, keterasingannya terhadap lintasan waktu, identitas-identitas liar di sekujur tubuhnya. Afrizal menulis karena segala peristiwa telah melebihi dirinya. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa, tulis Afrizal. Dia bisa sampai pada perspektif itu karena dituntun oleh pemikiran postmodern. Sejak tahun 1970-an dan memuncak pada akhir 1980-an, Indonesia memang sedang mabuk posmodernisme. Tidak terkecuali Afrizal. Maka, Afrizal pun mempertanyakan tubuh, mempertanyakan bahasa, memecah indentitas, menghirup simulakra, merayakan global village. Rosa membesar jadi sebuah dunia seperti Rosa mengecil jadi dirimu, tulis Afrizal pada puisi yang lain. Begitulah, Afrizal menulis puisi dengan mata terbelalak. Tradisi puisi ditangkap sekaligus persoalan kekinian disadap.
Saya tidak tahu pasti, apakah proses itu yang disebut Afrizal sebagai alasan menulis puisi. Apakah proses itu pula yang dianggap Afrizal tidak dipahami para redaktur. Sekali lagi, sungguh, saya tidak tahu pasti. Yang pasti saya tahu, penyair kerapkali berbohong dalam berbicara. Kejujuran penyair hanya ada pada puisi.
________________ Studio Teater Gapus, 2010
Ctt: Tulisan Ribut Wijoto ini dimuat harian Radar Surabaya, Minggu (7/11/2010).
Komentar