Oleh LAN FANG
Pada 29 September 2010, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim menggelar Temu Sastra Jatim 2010. Perhelatan yang ke-5 ini diusung dengan tajuk ”Prosa dan Realitas Sastra Kini”.
Bila membicarakan realitas sastra, baiknya kita menyepakati bahwa karya sastra tidak jatuh dari langit. Melainkan diciptakan oleh para sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat.
Secara sosiologis, sastrawan merupakan bagian dari masyarakat sebab terikat oleh kelompok sosial yang berkaitan dengan pendidikan, agama, adat istiadat, dan semua lembaga sosial yang mengelilinginya. Sastrawan menggunakan bahasa sebagai medium menyampaikan gagasan, gambaran, ide dan segala perenungan. Sastrawan merekam semua kenyataan sosial yang saling bertaut dalam hubungan antarmanusia kemudian dipantulkannya kembali dengan memakai bahasa. Jadi, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.
Fahrudin Nasrulloh dalam makalahnya yang berjudul Dewan Kesenian dan Problematik Sastra Jatim menuliskan bahwa 38 kabupaten dan kota yang ada di Jatim mempunyai 10 subkultur kebudayaan. Berdasarkan pemetaan Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan, 10 subkultur itu adalah Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin, Tengger, Osing, Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean. Kemudian ditambahkan juga dengan budaya China dan Arab. Masing-masing subkebudayaan itu mengembangkan lingkup kebudayaannya dengan sangat kaya dan luas, termasuk berbahasa dan bersastra.
Dari realitas yang heterogen itu, lahirlah berbagai motor penggerak sastra di Jatim. Mulai dari sastra pedalaman, sastra pesisir, sastra buruh migran, sastra Melayu Tionghoa, sastra peranakan sampai sastra pesantren, dan sebagainya. Sapardi Djoko Damono dalam esainya yang berjudul Poerbatjaraka, Sastra Klasik dan Kita : Sebuah Kasus Kritik Sastra Indonesia menyebutkan bahwa para satrawan mempunyai ”sejarah sastra” sendiri-sendiri.
Namun, Sumpah Pemuda 1928, yang pada salah satu sumpahnya menyatakan: menjunjung tinggi bahasa persatuan: bahasa Indonesia, membawa dampak langsung bagi perjalanan sejarah sastra di Tanah Air. Yaitu: dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, kultur, geografi dan agama, para sastrawan menuangkan rekaman kehidupan masyarakat dari bahasa dan kebudayaan masing-masing ke dalam bahasa Indonesia.
Maka sebagaimana bahasa Mandarin menuliskan sastra China, bahasa Arab menuliskan sastra Arab, bahasa Inggris menuliskan sastra Inggris, bahasa Melayu menuliskan sastra Melayu, begitu pula bahasa Indonesia menuliskan sastra Indonesia.
Jadi acara tersebut lebih tepat disebut sebagai : Temu Sastrawan Jatim. Sebab, tidak ada bahasa Jatim yang menuliskan sastra Jatim. Jadi akan lebay bila masih memerkarakan seperti apakah sastra Jatim, efektivitas Dewan Kesenian Jatim, dan berbagai macam problem klasik lainnya. Seharusnya yang menjadi wacana adalah bagaimana peningkatan produktivitas dan kualitas para sastrawan Jatim sehingga bisa berkontribusi bagi perkembangan sastra Indonesia.
Tjahjono Widarmanto mencermati perjalanan sejarah sastra di Jatim melalui makalahnya Menengok Tradisi Sastra. Ia menjabarkan karya-karya sastra fenomenal yang lahir pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha yang berpusat di Jatim. Misalnya, Kitab Pararaton yang meriwayatkan Ken Arok dan raja-raja Singgasari, Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca.
Setelah Majapahit runtuh, Islam masuk dan berkembang ke Jawa. Dalam siar Islam, para wali juga menggunakan sastra sebagai salah satu medianya. Sunan Kalijaga menganggap kesusastraan adalah bagian kebudayaan terpenting untuk memahami masyarakat Jawa. Maka lahirlah karya-karya sastra Islam seperti Suluk Wujil yang menceritakan wejangan Sunan Bonang kepada siswanya yang bernama Wujil.
Industri media
Akhirnya, makalah Mashuri yang berjudul Masih Ada Cerpen di Jawa Timur mengamati kiprah dan eksistensi para sastrawan Jatim di era industri media dan teknologi seperti digital, blog, facebook, dan sebagainya.
Tidak bisa dinafikan bahwa sastrawan membutuhkan teknologi, media, kekuatan kekuasaan politik dan pasar untuk mempermudah proses kreatif serta sarana publikasi. Sebab, nilai-nilai instrinsik karya sastra tidak mungkin terangkat ke permukaan dengan sendirinya tanpa campur tangan kekuatan ekstrinsik. Tetapi perlu diingat bahwa sastrawan bukan cabup, cawali, cagub, atau caleg yang memopulerkan diri untuk mendapatkan dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya.
Sebaliknya, sastrawan yang baik adalah seniman sekaligus ilmuwan yang mau terus belajar, mengamati, dan menyikapi seluruh aspek-aspek kehidupan. Sebab, popularitas yang akan atau dan telah didapatkannya lahir dari rahim karya yang berkualitas. Hal itu tidak mungkin tercipta melalui pemikiran serta pemahaman yang dangkal dan instan.
Aguk Irawan MN dalam tulisannya yang berjudul Sastra Islam dan Perjuangannya (Kompas, 25 September 2010) menuliskan bahwa Al Quran dengan sangat terang sebanyak 10 kali dan dengan bentuk sinonimnya sekitar 60 kali dan secara istimewa menyebut satu suratnya dengan nama As-Syu’ara atau ”penyair” (QS As-Syu’ara [26], 24-27). Melalui surat itu, Al Quran secara khusus mengapresiasi penyair (baca : sastrawan) sebagai sebuah profesi atau pekerjaan dan ekspresi manusia yang istimewa karena kemampuannya berkata-kata dengan memesona sekaligus juga sugestif, imajinatif dan kontemplatif. Karena itu, siapa pun jangan main-main dengan sastra(wan).
Lan Fang Penulis Esai, Prosa, dan Puisi, Bertempat Tinggal di Surabaya. Novel terbarunya: Ciuman di Bawah Hujan (2010)
Komentar