Langsung ke konten utama

Reproduksi Puisi, Tumbuhnya Wilayah Inspiratif dalam Sejarah Sastra Jawa Timur


esai W Haryanto

Membincangkan sejarah sastra, adalah memperdebatkan terminology dan akurasi seluruh pemahaman kita terhadap “proses” dan wilayah-wilayah inspiratif. Penyair—adalah satu titik—ia mengawali proses memahami sejarah sebagai unsur yang terus berkembang, membesar dan menyusut. Implikasinya, yakni, tumbuhnya reproduksi puisi tidak sebatas mengorganisasikan teknik menulis (seperti model khas penyair-penyair Teater Utan Kayu). Karena, menulis adalah membentuk penyikapan psikologis terhadap apa yang mula-mula—hanya episode, percikan kausalitas, juga pelbagai hubungan kebahasaan.
Memang, patutlah diakui—sebagian penyair kita, menyadari dengan shahih ‘sebagai budak’ atau obyek atas perubahan pemahaman sejarah. Jika, awalnya, penyair menulis karena dorongan untuk melawan kelaziman dan metode-metode umum, sehingga penyair ‘memiliki’ bahasa khusus yang fungsional dan tak bisa ‘tergantikan’ oleh tafsir umum. Tetapi, sekarang justru sebaliknya, penyair menulis karena situasi yang lazim, system simbolisnya bukan sesuatu yang ‘indivual’ tetapi hanya transformasi dari kelaziman penulisan.
Puisi, kini—terbentuk pada etika, bahwa, penyair tidak memiliki keunggulan dalam kecerdasan, tetapi ia hanyalah bagian dari mesin bahasa, sehingga bahasa yang dituliskan tidak bersifat reflektif terhadap perkembangan psikologis penulisnya. Reproduksi tekstual harus dibaca lewat perkembangan symbol, dari satu larik ke larik lainnya. Banyak penyair—menurut saya—tidak pernah selesai menuliskan karyanya, puisi-puisi itu dibiarkan (atau sengaja) dibiarkan menggantung. Puisi-puisi tipe ini bisa saya sebut puisi ‘gagal’seperti gejala-gejala penulisan Komunitas Utan Kayu yang sangat menggagumi kata-kata yang indah, tetapi sang penulisnya tidak memiliki acuan psikologis yang memadai (ingat pula kritik Sutardji Coulzoum Bachri).
Bahaya kepenyairan kita, adalah krisis “sejarah” dan krisis persepsi. Tetapi jika kita mau menengok—ada wilayah-wilayah pinggiran yang sengaja dihilangkan dari horizon pembacaan kita. Lima tahun terakhir, saya menjelajah pelbagai daerah di Jawa Timur, saya menemukan reproduksi tekstual yang cukup layak untuk diposisikan—tentu dengan satu pandangan, bahwa nilai kreativitas lebih bersifat persinggungan, interaksi sekaligus interrealsi antar terminology. Isu ini tidak—sebatas—eksistensi yuridis, tentang siapa yang berhak dalam “sejarah”. Generasi (atau angkatan) sastra tidak diharuskan pada identifikasi atau takaran waktu, setelah D. Zawawi Imron ada Mardi Luhung, setelah Budi Darma ada Zoya Herawati.
Edi Sedyawati merujuk adanya tumbuh dan matinya tradisi, “kita tak perlu menangisi kematian bentuk-bentuk budaya, karena akan tumbuh lagi ratusan bahkan ribuan bentuk budaya yang lain”. Ini alamiah dan siklis. Cuma faktanya, demokratisasi justru tidak terjadi di dunia kesastraan, politik dan sikap pramatis telah menandai perkembangannya.
Muncul semacam hak-hak istimewa yang berkenaan dengan dominasi mainstream tertentu. Tetapi, dominasi ini hanya berkenaan dengan industrialisasi sastra, para pencipta tidak lagi menempati kondisi “adi-kodrati” tetapi ia berselubung dengan pemiskinan karakter. Menulis menjadi suatu aparat dari minimalisasi daya energi konstruktif. Menulis hanya pemenuhan status layaknya “gelar haji”. Menulis tidak—dan bukan lagi, kegelisahan membaca ruang dan mencapai dialektika sejarah. Penulis-penulis semacam “ini”, konon, jumlahnya jauh lebih besar dari tumbuhnya gagasan-gagasan sastra, puisi dan cerpen tidak lebih baik (malah lebih buruk) dari penjual sepatu—seperti halnya kritik Albert Camus, “Sheakespeare tidak lebih penting dari seiris roti.”
Arah kebudayaan kita, selalu, dan akan menyertai adanya kreatif-kreatif sekuler—yang memandang “hak hidup” atas kebudayaan bukan warisan dari atas (dari yang lalu), maka, generasi mutakhir dengan perspektif yang dia ciptakan lewat puisi—adalah cara memahami histografi “tubuh yang mengalami secara serempak” (subyektivitas berubah menjadi obyektivitas), sebuah sikap otomatis yang melihat relevansi dan koneksitas antara symbol dan psikologi yang menyertainya (menciptakanya lewat perspektif).
Penyair—bukan satu, atau sekaligus semuanya (Widzlawa Syamborska), karena “ia” mengawali permainan atas tafsir-tafsir yang semula hanyalah meja mediatif para sosiolog, agamis—sastra, tidak menyurutkan, tapi memperluas semua medan kajian. Karenanya, ia bersifat histografi sekaligus fotografis, antara perkembangan sekaligus kebendaannya. Maka, apapun resikonya, setiap gejala dan terminology yang diembannya, tiap generasi kreatif memiliki jalan keluar yang “misterius” terhadap gradasi konstruktif wilayah budayanya.
Generasi mutakhir, telah menemukan cara—(i) sebagai penolakan terhadap takaran waktu, secara serempak tidak menyepakati analog Horace tentang “pemiskinan karakter dari satu tahap ke tahap lainnya”, (ii) ancaman modernitas telah memicu tumbuhnya militansi bahasa—yang tidak lagi berandai-andai dengan keindahan dan pernik-pernik bahasa (atau Sutardji Calzoum Bachri menyebutnya sebagai kegagalan gagasan).
Generasi Mutakhir Jawa Timur, mengambil jarak yang tegas—dari warisan Hadi S. (di tahun 60an) yang memuncak pada tipe penulisan Tjahyono Widiyanto (di tahun 90an)—berpaling pada fragmentasi Andi Amrullah Mahmud yang memuncak pada tipe penulisan Saiful Hadjar di tahun 90an. Fragmentasi yang muncul kini—adalah nalar yang menolak kebendaan dan strukturisasi keindahan kaum simbolis. Mekanismenya terletak pada—bergesernya kemapanan psikologis yang menaruh beban lebih pada sisi inferior manusia kepada perkembangan zamannya. Ini mimpi dan romantisisme 80-an, ketika sastra dicekam artikulasi Suhartois. Konteks ‘bunga yang berguguran’ atau ‘sungai yang tiada meliuk’ yang dianggap lebih aman dan reflektif tanpa resiko pencekalan. Di sisi lain, ranah perlawanan sastra terlalu menyempitkan kompleksitas bahasa ungkap sekadar melewati slogan-slogan ‘penguasa’ atau ‘arus bawah’.
Penulis-penulis mutakhir kita, mengalami pembelajaran obyektif dari komunalnya. Modernitas, ternyata—juga mencirikan adanya kegelisahan dalam penulisan. Modernitas puisi Jawa Timur misalnya, bukan berakar—kepada metodelogi dan alegori atas wacana-wacana import, modernitas di sini berujud pada, (i) penyingkapan atas keberubahan, bahwa tipe-tipe penulisan tidak “berhenti” pada satu mainstream, melainkan sesuatu yang tak pernah “tercapai”. Eksplorasi, eksperimentasi, penjelajahan mimetic, sampai restorasi psikologis. (ii) kesadaran tentang energi tekstual yang mampu mengurai indicator—sebelum teks tercipta, pra-naskah.
Ada beberapa catatan ringkas tentang “Jawa Timur Mutakhir”. Kita bisa membagi menjadi beberapa karakter, (i) urban legend, arus kreativitas yang berawal dari pembelajaran komuni akademis. Komuni ini diciptakan dari sebuah ‘mimpi’ tentang pusat identifikasi, bahwa mereka ‘merasa” berasal dari sesuatu yang ‘tak ada’ menuju ‘menjadi’ (becoming) karena factor pendidikan. (ii) Romantisme Agraris, arus kreativitas yang muncul karena kecelakaan sosiologis. Komuni ini tidak memimpikan ‘pusat’, tetapi berbalik arah kepada nilai-nilai yang dianggap mulai surut.
Modernitas dalam perpuisian Jawa Timur, bukan sekedar penggunaan teknik-teknik modern. Tetapi muncul pergeseran kesadaran, dari wilayah ‘pinggiran’ ke pusat atau sebaliknya, atau malah sama sekali tidak mempercayai adanya ‘pusat alegoris’. Modernitas ini terjadi bukan karena ‘takaran waktu’, tetapi merupakan resiko—ketika dinamika kebudayaan kita mengalami titik jenuh, importisasi wacana (dari barat) secara terus-menerus justru memicu kerusakan. Inilah yang terekam pada kegelisahan tekstual penulis-penulis muda Jawa Timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi