Membaca sejarah sastra (baca, perpuisian) Indonesia –pun mungkin kesusastraan dunia– dengan cara sederhana adalah membaca pengotakan zaman, sebagai khazanah yang coba dimitoskan ke dalam angkatan-angkatan atau periodeisasi kesusastraan. Dari bentukan angkatan/periode itulah, kritikus –secara sadar maupun terpaksakan– menemukan benang merah hingga layaklah disebut sebagai sebuah angkatan bla-bla-bla kesuasatraan Indonesia. Ini menjadi makfum, sebagaimana diungkapkan oleh Dami N Toda, tentang “benang merah” bahwa hadirnya kesamaan pencerapan diakibatkan “roh waktu” alamiah yang biasanya muncul sebagai trend mode karena lingkungan kode, simbol budaya, konversi dan konsumsi budaya yang sama. Secara praktis pun usaha ini memunyai kepentingan besar bagi perbendaharaan museum sastra Indonesia di masa mendatang, terutama bagi para pemerhatinya.
Menarik dari apa yang diungkapkan oleh Dami N Toda tersebut, adalah juga pembagian atau pemetaan sastra menurut “daerah estetika” yang dapat ditelaah melalui keberadaan/ tempat tinggal sastrawan. Jadi tidak hanya pembagian dalam arti kurun waktu, sastra Indonesia, telah menggoda para kritikusnya untuk melihat sengkarut proses kreatif dengan keberadaan sang penyair. Terjadi kemudian, wilayah geografis itu, tidak hanya dibaca sebagai usaha pencapaian estetik individu, namun penemuan corak-corak keterwakilan yang dibaca secara komunal sebagai ciri karya sastra daerah bla-bla-bla.
Usaha untuk ini sudah cukup banyak, misalnya yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, bertajuk “Cakrawala Sastra Indonesia” tahun 2004 membuat antologi sastrawan masing-masing provinsi, diterbitkan oleh penerbit Logung dan Akar Indonesia. Antologi Jawa Timur dalam program tersebut adalah Birahi Hujan, memuat puisi Mardi Luhung, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Tjahjono Widijanto, dan Tjahjono Widarmanto dengan kurator Zawawi Imron. Majalah Horison, misalanya juga pernah menerbitkan edisi daerah. Antologi kota misalnya dapat dibaca pada antologi Lima Pusaran, Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, penyunting Nirwan Dewanto, memuat puisi-puisi Zen Hae (Jakarta) Iswadi Pratama (Lampung), Gunawan Maryanto (Jogja), S. Yoga (Surabaya), dan Sindu Putra (Bali).
Dari serangkaian antologi “wakil” wilayah geografis itulah, mencuat dan menjadi menarik adalah perhatian para kritikus terhadap puisi-puisi Jawa Timur (dibaca juga, Surabaya), yang katanya, keluar “terlalu jauh” dari maenstream perpuisian Indonesia. Inilah puisi gelap.
Resepsi menarik itu dapat dibaca seperti pendapat berikut. Puisi-puisi gelap sebagai akibat salah baca terhadap surealisme yang coba diusung sebagai “ideologi” kata Binhad Nurrohmad (dalam Sastra Perkelaminan, Pustaka Pujangga 2008); kecenderungan apokaliptik, ceramah Abdul Hadi pada waktu “Cakrawala Sastra Indonesia” dan kata pengantar Arif B. Prasetyo untuk Antologi Lima Penyair Jatim, Rumah Pasir, Festival Seni Surabaya 2008; Nirwan Dewanto mengatakan “puisi (Surabaya) yang menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.”
Memang yang mengemuka dalam peta penyair Jawa Timur, kebanyakan dari mereka adalah penyair-penyair yang matang berproses di Surabaya, utamanya dari kampus, seperti W. Haryanto, Mashuri, Indra Tjahjadi, S. Yoga, Tjahjono Widarmanto. Terlepas dari Surabaya yang menjadi inspirasi kelangsungan hidup mereka, Surabaya adalah delta pertemuan menarik, sebelum akhirnya para penyair itu kembali ke kampung halaman, sehingga puisi gelap tidak hanya dibaca sebagai Surabaya, akan tetapi ia adalah milik Jawa Timur.
Puisi gelap itu tak hanya dibaca sebagai capaian estetika individu, ia juga dibaca sebagai Surabaya, bahkan juga dibaca sebagai Jawa Timur. Karena itulah ia pun tak lagi dibaca sebagai pencapaian estetika individu, akan tetapi berubah menjadi “ideologi” komunal.
Perilaku ini ditemui pada “proklamasi” antologi Manifesto Surrealis oleh W. Haryanto, Mashuri, Indra Tjahjadi, dan Mohamad Aris. Jejak itu juga terasa dalam antologi tunggal mereka. Garda inilah sebenarnya yang cukup mengejutkan publik sastra Indonesia. Dengan membawa semangat Andre Breton, pencetus Surealisme, mereka mengira telah sampai pada taraf surealisme yang dimaksud, yang terjadi adalah puisi-puisi mereka jatuh pada “kegelapan.” Di sinilah rumusan puisi surrealis dan puisi gelap perlu dikonkretkan kembali.
Secara historis, Surabaya –sebelum puisi madzab “surealis” ini ada– telah ada prosa surealis yang dikatakan juga “anti novel” diciptakan oleh pengarang Iwan Simatupang dan Budi Darma. Kedua nama inilah dikatakan sebagai pembaharu prosa Indonesia juga sebagai pelopor prosa periode ’70an.
Kehadiran dua pengarang penting ini, setidaknya dapat dilihat dari banyaknya resepsi apresiatif terhadap karya-karya mereka. Meskipun dikatakan ganjil dan menyimpang dari “struktur” lazim prosa, justru estetika inilah yang dibaca sebagai kenikmatan prosa oleh pembacanya. Bahkan novel eksistensialisme ini juga dapat dikupas dengan baik oleh pelajar SLA, Julia Surjakusuma, pemenang penulisan esai DK Jakarta1973.
Sejalan dengan suksesnya surealisme dalam prosa, usaha terbalik terdapat dalam khazanah puisi “kredo” surealis Surabaya. Hal ini maklum, karena puisi memiliki struktur berbeda dengan prosa. Menarik untuk melihat bagaimana tidak mudahnya, surealisme puisi diterima oleh khalayak, adalah kata-kata terakhir Hasif Amini (dalam kolom “Tilas”, Kompas, 5 Maret 2006 dengan judul “Surealisme”) sebagai sebuah cita-cita yang mulia, tapi alangkah sulitnya. Tapi apa salahnya… Pun apa yang dikatakan oleh S. Yoga (SINDO, 1 Juli 2007) “puisi surealis yang baik tentu saja tetap membayangkan sesuatu yang nyata dalam ketidaknyataan. Kualitas ini harus dicapai jika tidak ingin disebut sebagai puisi gelap.”
Polemik puisi gelap Surabaya, pun secara nasional, seperti pernah dialamatkan pada puisi-puisi Afrizal Malna tidak hanya menyangkut pola ekspresi simbolik yang terlampau subjektif sehingga menyulitkan pembaca, akan tetapi –dalam konteks perpuisian Surabaya– lebih kepada pilihan tema yang terakumulasikan dari diksi yang tersebar. Jika kita membaca secara bersamaan puisi-puisi Afrizal Malna, Indra Tjahjadi, dan Mardi Luhung misalnya, tentu persoalan puisi gelap tidak lagi dalam konteks kesulitan dipahaminya sebuah puisi, melainkan pada jalinan peristiwa dalam puisi tersebut juga tema yang diangkat.
Afrizal Malna sebagai “anak”dari modernitas yang sedang berlangsung, memungut remah-remah diksinya dari apa yang ia lihat sebagai representasi teknologi, benda-benda, dan kegelisahan-kegelisahan di dalamnya, dalam Kalung Dari Teman, (Grasindo,1999). Atau “anak” pesisiran, macam Mardi Luhung yang bebal dan tanpa andeng-andeng itu, dalam Ciuman Bibirmu yang Kelabu, (Akar Indonesia, 2007). Menikmati imaji-imaji kedua jenis puisi itu, tentu akan berbeda ketika kita menikmati sarkasme maut-nya Indra Tjahjadi, sebuah kumpulan puisi dalam Ekspedisi Waktu (2004) yang remah diksi-diksinya tak “memijak” bumi, melainkan mengawang dan berasal dari dunia antah berantah, mungkin lebih mirip film hantu Indonesia, ketika kita menikmatinya, pun menikmati puisi-puisi aurat-nya Mashuri, atau kesangaran W. Haryanto.
ANGKATAN BARU PENYAIR SURABAYA
Estetika gelap itu mungkin akan atau sudah berlalu, dirasakan atau tidak, beberapa penyairnya mulai sedikit “jenuh” dan membelot meski tidak secara terang-terangan dan malu-malu pada pola pengungkapan baru, tengoklah misalnya puisi Mashuri, setelah Pengantin Lumpur –setidaknya yang terbit di media-media nasional dan lokal beberapa tahun belakang– seperti dua puisinya yang termuat antologi Pena Kencana 2008, misalnya.
Meskipun begitu masih ada studi cukup menarik dan kontras, pabila menikmati antologi bersama lima penyair Jawa Timur dalam Rumah Pasir, Festival Seni Surabaya 2008. Dalam puisi itu kita melihat tiga penyair “lawas”: Indra Tjahjadi, Mashuri, dan Denny Tri Ariyanti, serta dua penyair “baru”: A. Muttaqin dan F. Aziz Manna. “Lawas” karena mereka masih menampilkan kegarangan dalam kegelapan puisi-puisi mereka. Dan “baru” karena dua penyair tersebut terakhir, adalah penyair yang datang dengan segala respon lahir-batin terhadap kesuraman puisi-puisi pendahulunya.
Puisi-puisi Festival Seni Surabaya 2008 yang bertajuk Tribute to Surabaya itu, apa boleh buat, sebenarnya lebih pantas disebut “Lima Penyair Surabaya (kota)”, bukan Jawa Timur. Ini karena kelima penyair tersebut ternyata adalah penyair yang pernah menikmati delta pendidikan sastra di Surabaya. Arif B. Prasetyo selaku kurator ternyata masih diganduli kenyataan bahwa Surabaya adalah penghasil puisi apokalipstik, maka yang termaktub dan pantas mewakili Tribute to Surabaya adalah sajak-sajak seperti yang “lawas”. Seolah-olah Surabaya dengan dinamika sosialnya memanglah “segelap” puisi-puisi itu, padahal Tribute to Surabaya akan lebih dinamis seandainya Arif memahami usaha “penghijauan” di Surabaya. Setidaknya jika ini terjadi akan lebih layak menyandang “ lima penyair Jawa Timur”, seperti halnya Pelayaran Bunga, antologi mutakhir penyair Jawa Timur, pilihan Festival Cak Durasim 2007.
Terlepas dari kondisi keterbatasan itu, antologi Rumah Pasir akan dibaca sebagai tonggak peralihan puisi Surabaya, yakni dari gelap menjadi terang.
Adalah A. Muttaqin, penyair fenomenal Jawa Timur saat ini, kalau mau dikatakan sebagai pelopornya. Kecendrungan itu setidaknya dibuktikan oleh diterimanya puisi-puisi Muttaqin oleh masyarakat sastra Indonesia. Kemunculan penyair ini, telah mengejutkan publik sastra Jawa Timur. Sebelumnya, Muttaqin tidak pernah ada dalam peta penyair muda Jatim. Lihatlah misalnya tulisan S. Yoga yang menyebut nama-nama penyair muda Jatim dalam esainya di SINDO 1 Juli 2007, tidak ada nama Muttaqin di sana. Penyair lulusan Sastra Indonesia Unesa ini, seolah tanpa permisi kepada pendahulu Jawa Timur, tiba-tiba langsung melejit di koran nasional.
Muttaqin telah sampai pada pencapain estetik. Membaca Muttaqin dengan segala usahanya menarasikan flora dan fauna, seperti menikmati usaha “penghijauan” yang sering dikampanyekan Surabaya. Ia tidak menulis jelaga-jelaga Surabaya sebagiamana penyair pendahulunya. Puisi-puisinya pun tak perlu dikait-kaitkan dengan falsafah Jawa Timur dalam artian psikologis maupun sosiologis. Justru Muttaqin dengan demikian, telah melepaskan diri dari tema-tema umum yang selama ini digarap oleh pendahulunya, semacam puisi-puisi gelap.
Sajak-sajaknya mendamaikan diksi dengan rima, sehingga simbolisme yang naratif bertemu dengan visualisasi logis. Inilah mungkin yang membuat sajaknya terang benderang. minimal, pembaca dapat terbuai oleh ketukan ritmis sajak-sajaknya, seperti orang Belanda yang terbuai menikmati gending Jawa. Lihatlah salah satu petikan sajak ini:
Di gelap ombak, mungkin di taman gagak, kuraba-
raba keharuman yang menanjak. Sepasang daging
membengkak dan segala arwah merebak
(Lukisan Kamboja)
Begitulah Muttaqin mengeksplorasi diksi dengan rima sebagai “diri” kepenyairannya. Bunyi-bunyi puisinya melantur secara alamiah. Muttaqin cukup jeli menangkap objek dan menyusunnya dalam kerangka estetika bahasa. Kita dapat merasakan bagaimana konsonan /k/ menjadi ritmis yang berpadu dengan diksi yang sekerabat seperti /ombak/ dan /gagak/ yang mempunyai asosiasi kegelapan.
Begitupun dengan frasa /keharuman menanjak/, /sepasang daging membengkak/ dan /arwah merebak/. Puisi ini adalah narasi tentang Kamboja. Kamboja menjadi simbol imajinya pun untuk menjelaskan tema kematian. Lukisan Kamboja dapat ditafsirkan –selain berbagai kemungkinan tafsir– sebagai peristiwa membusuknya sebuah mayat: dilalui oleh penanda kematian yang secara umum dimetaforkan dengan gagak, lalu mayat itu membusuk –di sini Muttaqin menggunakan diksi ‘keharuman’ sehingga tampak ironis, namun inilah ledakan diksinya– lalu membengkak, hingga tak berbentuk karena arwahnya telah merebak ke tempat semestinya.
Bandingkanlah frasa dari metafor yang disusun dalam petikan puisi-puisi berikut, “Ingatan bunga-bunga tercekik di dalam/ kemaluanmu,” (Rumah Duan-Daun, Indra Tjahjadi) dengan “ hanya karna menanam bunga-bunga di kepala” (Laut Lalat, A. Muttaqin); atau “saat mayat-mayat menari –gemulai/ menorehkan darah pada tanah peradaban” (Tarian Sebuah Musim, Denny Tri Aryanti) dengan “Seperti mayat yang tenang, seperti langit yang/ lenggang, jika umur adalah semut yang merambat ke/ senja berat.” (Lukisan Kamboja, A. Muttaqin); atau “aku segera beriman pada kekosongan” (Kembali Ke Neraka, Indra Tjahjadi) dengan “Raut yang/ mengajar aku bersujud dan mengimani Yang Tak/ Terjemput” (Ladang Siput, A. Muttaqin).
Bait-bait puisi di atas, telah menggambarkan bagaimana A. Muttaqin merespon geliat diksi yang penuh dengan aroma nanah dan darah yang sering menghiasi puisi Surabaya dekade awal 2000-an. “Lukisan Kamboja” yang bertema kematian digambarkan dengan demikian tenang oleh Muttaqin dan terasa logika “alur” dan narasinya. Ini tentu berbeda dengan tema kematian yang mendominasi puisi-puisi Indra Tjahjadi, dkk, yang berjumpalitan selayaknya penghuni neraka.
Dari sini dapat terbaca bagaimana sesungguhnya rumusan puisi gelap, yakni bukan persoalan kesukaran dipahaminya puisi-puisi Surabaya, lebih dari itu adalah bangunan suasana itulah yang gelap. Secara gamblang Indra mengakui bahwa sajakku terasing dan menemukan rumahnya dikegelapan. Puisi-puisi semacam itu mungkin lebih tepat, disebut puisi gotik, yang tak hanya melemparkan pembaca pada kesunyian mencekam melaikan pada kengerian.
Dari sini pula, surealisme yang menjadi mula segala persoalan estetik yang diangkat perlu ditegaskan. Surealisme merupakan tafsir terhadap psikoanalisis Sigmund Freud –terutama konsep mimpi– yang diformulasikan dalam teknik penulisan puisi oleh Andre Brenton, disebut dengan otomatisme. Secara sederhana teknik ini adalah usaha melukiskan objek dengan naluri bawah sadar dan menafikan prinsip-prinsip logika (seperti teori strukturalis) dalam proses penciptaan karya seni.
Mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa mimpi adalah jalan tol menuju alam bawah sadar, maka dalam konteks ini representasi “mimpi” yang coba dihadirkan penyair Surabaya, lebih kepada mimpi buruk yang membuat pagi jadi buta dan gelap, dari pada mimpi indah yang membuat pagi jadi benderang. Jadi sebenarnya inilah letak persoalannya. Senada juga dengan apa yang dikemukakan S. Yoga di depan.
Perbandingan menarik juga dapat kita baca pada studi puisi-puisinya Mardi Luhung yang juga “dituduh” gelap. Jika puisi-puisi Surabaya secara sadar menasbihkan diri sebagai surealisme –yang pada akhirnya memang berkecendrungan gelap– maka puisi Mardi Luhung adalah karnaval –istilah Mikhail Bakhtin– imajisme dengan benih-benih diksi yang secara sadar adalah kondisi sosio-psikologis pesisiran Jawa Timur, Gresik. Pencapaian estetik inilah yang harus dibaca, jika ingin memasuki centang-perenang dan hingar-bingar puisi-puisi Mardi Luhung yang ramai di tengah “nyanyi sunyi” dominasi perpuisian Indonesia. “Siapkan cintamu bagi dagingku, lelaki perahuku/ lekatkan seluruhnya pada pantai dan bakau-bakauan/ yang terulur dari bahasaku” (Lelaki Perahuku) demikian kata si penyair Mardi Luhung.
Sebenarnya hampir secara bersamaan ketika Surabaya dibaca sebagai penghasil puisi gelap, ada seorang penyair yang berada “di luar pagar” kecendrungan tersebut. Dia adalah S. Yoga. Ekspresi puisi-puisi S. Yoga adalah sebuah objek yang ia narasikan dengan segala bentuk filosofis yang mengganduli sajaknya. Ia serupa pemotret ulung, yang dengan itu ia hendak menampilkan sisi humanis, seperti petikan sajak ini: “di atas penderitaanmu/ memang kebahagiaan yang selalu kucari/ dengan api yang menerangi kegelapan/ sebelum tubuh habis dilalapnya” (Lilin).
Sajak S Yoga ini menemui turunannya pada pola pengungkapan F. Aziz Manna. Salah seorang penyair angakatan baru penyair Surabaya. Di saat sahabat-sahabatnya masih “mengimani” kitab Manifesto Surealis –seperti Dheny Jatmiko dan Ahmad Faishal– F Aziz Manna, tegak berdiri dengan puisinya yang sederhana bahkan cenderung realis, seperti sajak berikut: “ternyata, waktu hanya hitungan/ hanya cara mengeraskan kenangan/ seperti mesin pembeku dalam lemari es” (November). Karakter puisinya memang belum selepas dan sebebas sajak-sajak Muttaqin. Aziz masih menerima kecenderungan “umum” perpuisian Indonesia, terutama terasa sekali pola S. Yoga.
Terlepas dari apa yang telah saya uraikan di atas, Surabaya kini tengah memasuki era baru dalam kancah perpuisian Indonesia. Sebuah dinamika yang akan terus bergerak mengisi kekosongan atau mendobrak konvensi yang sudah mengalami kejenuhan dan kepunahan. Muttaqin dan Aziz Manna adalah generasi yang secara lembut mungkin akan mengatakan selamat tinggal kegelapan…
*) Umar Fauzi, pengamat sastra alumnus sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, tinggal di Sampang Madura
Tulisan ini dimuat SURABAYA POST edisi 23 Agustus dan 30 Agustus 2009:
Komentar