Tengsoe Tjahjono
aku menyelam dalam semesta pikiran
Kukira hanya tumpukan kepala dan jantung
para pencari jalan
(Imam Maarif – Pencarianku)
Tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan sebuah antologi puisi “Tabir Hujan”. Ada 11 penyair hadir dengan karya-karya mereka yaitu: Akhmad Fatoni, Aguk Irawan MN, Denny Mizhar, Imamuddin SA, Isnaini KH, Muhammad Aris, Muhajir Arifin, Saiful Anam Assyaibani (Javed Paul Syatha), Ahmad Syauqi Sumbawi, Umar Fauzi Ballah, dan Imam Maarif. Maka seperti sajak yang ditulis Imam Maarif: aku (pun) menyelam dalam semesta pikiran.
Andai 11 penyair itu benda langit yang bertebaran di luas galaksi, mau tak mau aku harus mampu memahami karakter mereka masing-masing, agar mampu menjelajahi makna yang tersimpan pada rahasia semesta pikiran mereka. Andai puisi-puisi itu adalah tabir hujan, maka aku harus mampu menafsirkan setiap tetes air yang tercurah dari kerumunan awan pikiran mereka. Dan, jujur itu tidaklah mudah.
Mempertanyakan Bahasa
Dalam puisi sebenarnya bahasa bukanlah alat, bukanlah sarana komunikasi; puisi bukan sekadar seni bahasa. Konsekuensinya puisi bukan sekadar permainan bahasa, bukan sekadar wacana indah, bukan sekadar produk dari kelihaian bersilat kata atau kalimat. Dalam puisi, gagasan atau pemikiran amat penting kehadirannya. Gagasan berkolaborasi dengan rasa, melahirkan teks puisi dengan keliatan tertentu. Gagasan, rasa, dan bahasa di tangan seorang penyair bukanlah entitas yang saling berdiri sendiri. Tak mungkin kita bertanya mana yang lebih dahulu: gagasan, rasa, atau bahasa, karena ketiganya hadir dan lahir secara bersama-sama.
Ada beberapa penyair dalam antologi ini yang memandang gagasan, rasa, dan bahasa, sebagai satu kesatuan yang padu, yang masing-masing tak ada yang mendahulu atau mengemudian. Kita ambil contoh karya mereka berikut ini.
Icha menangis, Ma
melihat sajaknya dibawa sirip ikan
di pinggiran pulau tak terbentang
berlompatan di kolam garam
padahal dulunya itu ladang
tembakau, tempat bapaknya menjemur
kata-kata dan kehidupan
(Umar Fauzi Ballah – Dermaga 2)
dua cerca pagi
dua gelas kopi
dua catatan perihal getirnya pencarian
--kau bertanya kabarnya tuhan—
aku pernah melihatnya
rebahan di samping bayi
bertingkah lucu sekali …
si mungil itu,
terpingkal kegirangan
(Muhajir Arifin – Tuhan dan Si Mungil Bayi --)
lewat garis-garis ritmis dari sepotong tangan tua
berdaki dan kisut-mengkerut
tersembul kisah gadis belia
tangga merah dengan undak-undakan sorak
menentang lurus dan tembus ke udara
ke arah ribuan tombak
ke jalan-jalan berliku-onak
gandeng tubuhnya
papah kaki kecilnya
(Muhammad Aris – Kisah Gadis Belia -- )
Dari contoh tiga penggalan puisi di atas terbaca jelas kesatuan gagasan—rasa – bahasa. Dalam “Dermaga 2” Umar Fauzi Ballah melihat fakta perubahan ladang tembakau menjadi kolam garam yang berdampak lenyapnya ‘sajak’ Icha, seorang bocah, dibawa sirip ikan. Ada rasa ‘empati’ pada diri penyair mengamati kejadian itu yang diungkapkan dengan amat sederhana: Icha menangis, Ma. Mengapa kalimat begitu lugas lahir dalam puisi itu? Ya, dalam dimensi anak-anak, berbahasa itu mengungkapkan secara jujur apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan. Dalam konteks mengedepankan pesan moral Umar Fauzi pun diundang untuk memakai teks seperti itu. Naluri bahasanya pun bergerak lugas, jujur, dan terbuka.
Hal senada juga dilakukan Muhajir Arifin dalam “Tuhan dan Si Mungil Bayi”. Baris “kau bertanya kabarnya tuhan” merupakan baris yang merupakan sentral teks ini. Pertanyaan sederhana namun sebenarnya memiliki kandunganmakna amat filosofis. Bisa jadi jika diperluas kalimat itu akan berbunyi: kau bertanya kabarnya tuhan karena dunia begini kacau kenapa tuhan tak kunjung turun tangan. Tentu tak mudah menjawab pertanyaan tersebut karena jawabannya akan berupa teks yang bisa jadi abstrak. Namun Muhajir menjawabnya dengan amat cerdas: aku pernah melihatnya/ rebahan di samping bayi/ bertingkah lucu sekali …/ si mungil itu,/ terpingkal kegirangan. Metafora yang amat pas untuk konkretisasi gagasan abstrak. Tuhan rebahan di samping bayi, Tuhan berada di sisi pribadi-pribadi yang polos, jujur, terbuka, dan apa adanya. Tuhan hadir di dalam diri orang-orang yang hidup tidak dalam kepura-puraan, keculasan, dan kejahatan. Artinya, menanyakan kabar Tuhan dalam situasi seperti saat ini, berarti menanyakan kabar kepada setiap kita: masihkah kita peduli.
Dalam “Kisah Gadis Belia” Muhammad Aris meletakkan “gadis belia” sebagai konkretisasi dari gagasan abstrak tentang suatu peristiwa atau entitas atau fenomena. Artinya, saat Aris melihat fakta sejarah dari “gadis belia” yang membayang justru cermin terbuka peristiwa-peristiwa lain yang memiliki kesamaan semantik atau semiotik. Maka, jangan terkejut, jika teks yang muncul terkesan amat simbolik, kontemplatif, dan reflektif. Pilihan bahasa seperti itu tidak terlepas dari usaha Aris untuk mengajak pembaca melakukan refleksi atas peristiwa atau pengalaman hidup yang memiliki kemiripan dengan teks hidup “gadis belia”.
Di samping karya ketiga penyair di atas, penyair Imam Maarif, Denny Mizhar, Immamuddin SA, Isnaini KH, dan Javed Paul Syatha beberapa puisinya telah secara apik dibangun dengan mempertimbangkan kesatuan gagasan – rasa – bahasa.
Mempertanyakan Gagasan
Gagasan dalam sastra amatlah penting. Namun, relasi gagasan – rasa – bahasa bukanlah relasi yang mendudukkan mereka masing-masing tersebut sebagai unsur yang saling berdiri sendiri. Gagasan bukanlah entitas yang berada di luar rasa atau bahasa, begitu pula sebaliknya. Mereka sungguh-sungguh tiga yang satu, satu yang tiga.
Gagasan dan rasa apa yang muncul saat penyair menafsirkan peristiwa lumpur lapindo misalnya. Mungkin ada perasaan geram, marah atau empati; mungkin ada gagasan siapa sesungguhnya yang harus peduli terhadap peristiwa memilukan itu, masih perlukah berdoa, dan sebagainya. Persoalannnya adalah bagaimana teks puisi itu harus ditulis. Bacalah penggalan puisi berikut ini.
Empat tahun sudah, hanya ada sayupsayup kudengar dengus katakata gantirugi, pelan dan
pelan, namun dengan menyusutnya waktu, katakata itu tak terdengar lagi.Bahkan katakata
itu berubah jadi api yang menghanguskan. Kau dengarkanlah kini pepohonan juga
menahan getar panas bumi itu sampai akarakarnya. Ladangladang memuntahkan perih
atas lukanya. Sementara para penjarah itu bebas tertawa, dimanamana dan kapansaja.
Leher mereka kembali terjerat dasi dengan harga triliuanan rupiah. O siapa yang mau peduli
dengan nasib bangsa ini?
(Aguk Irawan MN – Empat Tahun Lapindo --)
lampu-lampu botol menyala
surut
angin mendesah
sumbu-sumbu repah
(Muhajir Arifin – Semalam di Tanggul Porong --)
Aguk Irawan dalam puisinya di atas terbaca jelas begitu kuat keinginannya untuk mengekspresikan gagasan. Bahasa pun dihadirkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada pembaca. Akibatnya sebagai sebuah totalitas karya, puisi tersebut tidak mengajak pembaca berdialog ke dalam sebuah ruang publik dalam pusinya. Pembaca tidak diundang untuk melakukan tafsir atas puisi yang ditulisnya, karena gagasan menjadi milik penuh penyair. Bisa jadi kekuatan puisi ini terletak pada keinginan penyair mengedepankan gagasan.
Muhajir Arifin yang mengangkat peristiwa yang sama yaitu peristiwa Lapindo melakukan tafsir terhadap teks alam atau peristiwa lebih dahulu sebelum diekspresikannya ke dalam puisi. Akhirnya ia mampu menangkap esensi atau hakikat, bukan yang harafiah disadari oleh indranya. Erich Kahler berpendapat bahwa “Art is human activity which explores, and hereby creates, new reality in a suprarational, visional manner and presents it symbolically or metaphorically, as a microcosmic whole signifying a macrocosmic whole.” Sebuah karya seni, termasuk karya sastra pada hakikatnya adalah kreasi seniman setelah bersentuhan dengan peristiwa-peristiwa, melahirkan sebuah realita baru yang bisa jadi suprarasional yang disajikan secara simbolik dan metaforik, sebuah jagad kecil yang mengejewantahkan jagad besar secara utuh.
Simak lagi kedua penggalan puisi berikut ini.
kau letakkan batu kesejajaran
membangun musium peradaban
antarkepercayaan
antargolongan
antartrah keturunan
kau bisikkan sebait kebebasan
dalam hati
dalam pikiran
dalam ucapan
dalam dalam
walau hanya sejenak kau bertahan
di puncak kekhalifahan
dan kini, hanya prasasti langkahmu tersisa di jantungku
menjadi cermin batin yang tak retak terbentur prahara laku
(Imamuddin SA – Seratus Hari dalam Kegaiban --)
kepada malam yang menyimpan gelap
aku akan pulang dari menyusur arus waktu
mendayung perahu pada muara akhirmu
pelayaran tak berujung
tak bertepi
(Javed Paul Syatha – Pada Muara Akhirmu --)
Kedua puisi di atas ini sama-sama diilhami oleh kehidupan Gus Dur, Sang Bapa Bangsa. Bedanya puisi Imamuddin SA tidak ada jarak estetika antara teks dan realita, sedangkan puisi Javed Paul Syatha mengandung jarak estetika antara teks puisi dengan realitas Gus Dur. Puisi Imamuddin lebih mengedepankan kekuatan gagasan, puisi Javed membangun sebuah simbolisasi dan metaforikal. Dalam puisinya Imamuddin seakan menjadi pengajar yang sedang berceramah kepada pembacanya, sedangkan Javed lebih mengajak pembaca untuk berdiskusi bersama memecahkan satu rahasia hidup yang serba samar.
Begitulah kesan subjektifku terhadap puisi-puisi yang terkumpul pada Tabir Hujan ini. Tak mungkin rasanya membahas seluruh penyair dan puisi-puisi di tempat serba terbatas. Hanya yang perlu aku tegaskan adalah bahwa kerja kepenyairan adalah proses yang tidak pernah selesai. Sesungguhnya penyair tidak memiliki halte untuk sungguh-sungguh beristirahat. Dia hanya berhenti sebentar lalu jalan kembali. Dalam proses bisa jadi seorang penyair menemukan materi-materi baru dengan cara berucap yang baru. Itu sah saja. Itulah dinamika itu. Aku pun yang sudah 52 tahun ini masih terus berproses, dan tidak pernah puas berhenti pada halte tertentu. Teruslah menulis, teruslah berproses.
Malang-Surabaya, 10-19 Oktober 2010
Komentar