Dalam esai yang dipublikasikan pada harian Radar Surabaya, 10 Oktober 2010, Ribut Wijoto menandai tahun 1920 sebagai periode awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Cukup masuk akal mengingat pada tahun 1920-an perasaan kebangsaan di kalangan pemuda Indonesia mulai menggelora. Pertemuan-pertemuan kepemudaan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, menggantikan bahasa daerah. Hal ini berarti bahwa primordialisme kedaerahan telah ditanggalkan.
Tahun 1920-an pula tonggak awal kesusastraan Indonesia modern dimulai. Ditandai dengan maraknya penerbitan roman oleh penerbit Balai Pustaka, para penulis-penulis awal kesusastraan Indonesia lahir. Sebutlah nama-nama semacam Marah Rusli, Soeman HS, Moh. Yamin,atau Aman Dt. Modjoindo. Sekalipun aroma Melayu masih terasa dalam bahasa karya-karya para sastrawan periode 20-an, perasaan nasionalisme ini mencapai kulminasinya pada tahun 1928 ketika sumpah pemuda diikrarkan. Salah satu butir pentingnya adalah kebulatan berbahasa Indonesia. Terlepaslah bahasa kita dari asalnya, bahasa Melayu.
Seiring berjalannya waktu, kesusastraan Indonesia terus melahirkan nama-nama sastrawan yang terus mengeksplorasi dan mengelaborasi bahasa Indonesia sebagai bentuk medium kekaryaan. Nama-nama seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Danarto, hingga Afrizal Malna tentu sudah dikenal dengan eksplorasi terhadap medium bahasa kita. Tentu sebuah eksplorasi yang sesuai dengan semangat zamannya.
Nah, yang menarik adalah Ribut mengkhawatirkan adanya “kiamat” sastra Indonesia. Seabad. Tepatnya pada tahun 2020. Yang dikemukakan Ribut cukup rasional. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang cakupan penggunaanya melingkupi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Namun apakah bahasa Indonesia juga dapat digunakan di luar wilayah NKRI? Tentu dapat, namun sangat jarang.
Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resmi Perserikatan Bangsa-bangsa lebih banyak digunakan oleh penduduk dunia. Tentu kita tak dapat memisahkan faktor historis, bahwa pada masa kolonial wilayah jajahan Inggris meliputi dua per tiga wilayah di dunia.
Secara logis, tentu sastrawan-sastrawan dunia lebih dominan menggunakan bahasa Inggris, walau tak menutup mata terhadap sastrawan-sastrawan kanon Amerika Latin yang menggunakan bahasa Spanyol. Penerjemahan karya sastra ke dalam bahasa Inggris pun marak. Hal ini tentu bertujuan untuk memperluas pangsa pembaca sekaligus memperkenalkan sastrawan dari wilayah sonder english language kepada dunia luas, yang terwakili oleh bahasa Inggris.
Atas dasar kemajuan pula, bahasa Inggris dianggap lebih prestise, tak terkecuali oleh masyarakat Indonesia. Belakangan ini, sekolah-sekolah mulai rajin berburu status Sekolah Berstandar Internasional (SBI), di mana salah satu menunya adalah kelas bilingual Inggris-Indonesia. Prestise ini pula yang dikhawatirkan oleh Ribut Wijoto sebagai faktor punahnya sastra Indonesia. Bahasa Inggris yang selama ini lebih banyak dipakai oleh kaum menengah atas di negeri ini lambat laun akan diikuti oleh kaum di bawahnya, mengingat sifat masyarakat kita yang selama ini suka meniru perilaku kaum elite yang notabene dianggap lebih baik.
Dengan demikian, masyarakat kita dalam hitungan sepuluh tahun ke depan akan berbahasa Inggris dan mulai meninggalkan bahasa Indonesia. Termasuk para calon sastrawan atau sastrawan kita yang memiliki posisi mapan. Namun benarkah demikian? Pada hemat saya apa yang dikemukakan oleh Ribut terlampau pesimis bahkan cenderung sangat berlebihan. Punahnya sastra berbahasa Indonesia memang mungkin terjadi bersamaan dengan punahnya bahasa Indonesia.
Harus juga diingat punahnya bahasa beriring juga dengan punahnya sebuah bangsa. Kita tentu membaca sejarah, pascamusnahnya wangsa Syailendra, belum ditemukan peninggalan berbau wangsa Syailendra. Serupa juga dengan sulitnya kita temukan karya sastra berbau Majapahit ketika Kesultanan Demak mulai berdiri.
Sastra Indonesia pada tahun 2020 masih (mungkin) tetap ada berbarengan dengan masih eksisnya negara Indonesia. Pun bahasa Inggris bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia bukanlah bahasa utama. Komunikasi masih lazim menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris hanyalah digunakan sebagai bahasa pergaulan jika masyarakat kita berhadapan dengan pengguna bahasa Inggris. Ditambah lagi dengan muatan kelokalan yang masih melekat kental dalam diri bangsa Indonesia. Bila pun bahasa Indonesia tak digunakan, bahasa yang digunakan adalah bahasa ibu, bahasa daerah masing-masing.
Bahasa Inggris juga tak dapat secara memuaskan mewakili konsep makna. Tengoklah esai penutup Nirwan Dewanto pada kumpulan puisi Arif B Prasetyo, Mahasukka. Dalam esai itu Nirwan memaparkan sebuah sajak Octavio Paz yang tak dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Apabila penerjemahan ke dalam bahasa internasional itu dipaksakan, sajak paz pun kehilangan ritmenya yang memang cukup liris. Ini juga kendala penerjemahan.
Konsep makna dalam bahasa Indonesia sendiri sebenarnya sangat kaya. Semisal kita merujuk pada kata rice. Dalam bahasa Indonesia konsep kata ini dapat diwakili oleh kata beras, nasi, padi, ataupun gabah. Jadi penerjemahan berpotensi menghilangkan sekian makna atau metafor dari seorang penyair sehingga karya terjemahan bisa jadi menjadi sesuatu yang berbeda dari karya aslinya.
Pada hemat saya, eksplorasi sastra dalam bahasa Indonesia masih akan mengasyikkan dan akan terus dilakukan. Eksplorasi mungkin dapat berlanjut dengan mengorek khazanah bahasa daerah untuk kemudian ditumpahruahkan dalam maujud karya sastra. Penerjemahan atau penulisan dalam bahasa Inggris juga akan terus berlanjut, namun apakah penulisan langsung dalam bahasa Inggris sudah cukup memuaskan bagi sastrawan kita? Mengingat konsep makna dalam bahasa Indonesia lebih kaya dan padat akan metafor.
Sebagai penutup, saya mencoba membaca kumpulan puisi Pablo Neruda yang diterbitkan oleh penerbit Heyna. Hasilnya, saya tak dapat menikmati puisi-puisi Neruda dengan sangat jenak. Bahasa Indonesia yang tampil dalam puisi tersebut sangat kaku, aneh, dan tak mencerminkan kekayaan sintaksis-semantis bahasa bangsa saya.
Sekian.
Komentar