Sastra mazhab DKJT? Ucapan tersebut terlontar dari mulut seorang Fahrudin Nasrulloh pada acara Temu Sastra Jatim 2010. Ucapan tersebut sebenarnya lebih mengacu pada “puisi mazhab DKJT” atau lebih khusus lagi pada buku Pesta Penyair, antologi puisi penyair jawa Timur yang beberapa waktu lalu ramai diperdebatkan pada forum-forum nggacor di arena facebook. Tersebab, buku tersebut tak hanya menarik penyair-penyair Jawa Timur saja, tetapi juga penyair luar jawa Timur turut pula ikut gotok-gontokan. Sampai-sampai seorang Saut Situmorang ikut member label penyair TUK cabang Jatim. Walah, ada-ada saja.
Maka tersebutlah seorang Alek Subairi secara nggrundel menganggap sastra (puisi) mazhab DKJT sebagai ucapan yang sangat vulgar. Berarti, mazhab sebagai titik kulminasi atau benang merah pencarian estetik sebuah komunitas sudah menjadi sebuah instansi formal dan tidak boleh diganggu gugat. Dengan demikian, terlembagalah semua puisi penyair (ala dewan kesenian) Jawa Timur.
Sebenarnya persoalan ini kecil belaka. Mazhab Dewan Kesenian Jawa Timur dapat juga bukan bila kita menggantinya dengan mazhab Dewan Perencanaan Pembangunan nasional (hahaha). Dapat juga bukan kita munculkan mazhab Departemen Kebudayaan dan Pariwisata atau mazhab Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Persoalan pencarian estetik sebenarnya bukanlah persoalan yang harus dieksploitasi secara formal. Persoalan pencarian estetik adalah masalah kesunyian masing-masing (seperti kata Chairil Anwar). Bahkan, sebuah komunitas pun tak berhak memberikan klaim atas capaian estetika seorang penulis sebab tak lain dan tak lebih, komunitas hanyalah tempat pembentukan dan penggodokan seorang penulis untuk dapat tumbuh dan mencapai kemapanan estetiknya.
Kata-kata semacam mazhab Gapus, mazhab Kutub (seperti kata Fahrudin pada lain kesempatan), mazhab TUK, masih dapat diterima. Bagaimana dengan mazhab DKJT? Dapat diartikan jika dalam antologi puisi Pesta penyair terdapat berbagai puisi dari banyak penyair Jatim yang berasal dari beragam komunitas. Tentu ngelindur jika puisi Mazhab DKJT dikemukakan. Bukankah DKJT hanyalah lembaga formal di bawah Dinas pariwisata dan Budaya, yang setiap anggota komite di dalamnya mengantungi SK resmi dari gubernur Jatim? Pantaskah jika pencarian estetika dikungkung secara formal?
Mungkin lebih baik jika kita mendengar sastra mazhab jawa Timur. Tersebab, Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki keberagaman kultur serta kekayaan lanskap sosial dan budaya, menjadi tempat yang tepat untuk pembentukan dan pencarian pengalaman estetis seorang penulis. Maka, teks yang dihasilkan seyogyanya memiliki keberagaman dan saling beraneka antara satu daerah dengan daerah yang lain. Semacam karya-karya penyair Lamongan yang berbeda dengan Sumenep. Atau Surabaya yang pastinya tak sama dengan Malang.
Sastra Mazhab DKJT? Ah, masih terngiang di telinga kata-kata itu. Semoga Fahrudin malam ini lekas istighfar. Dan Mashuri selalu dengan kata yang sama, lanjutken…hahaha.
Komentar