Langsung ke konten utama

Para Pembongkar Kuburan Massal


Cerpen Veven Sp Wardhana

Malam demikian pekat, hujan begitu lebat ketika kami mendengar suara ayunan benda tajam yang menancap pada entah apa. Banyak yang menyangka itu berasal dari ladang Pak Runci, satu-satunya juru kunci kuburan massal di wilayah kami.

Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa, sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu.

Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang demikian lebat.

Beberapa hari ini beberapa sudut kuburan itu tak berpenerangan lampu minyak. Tak begitu ada yang memedulikan, memang, karena memang tak ada jalanan—termasuk jalanan setapak—yang melewati dekat-dekat lokasi pemakaman itu. Bukan karena kuburan itu dianggap angker, tapi bagi sebagian orang, mereka tak ingin mengenang dan membangkitkan masa lampau yang kelam yang menjadikan jatuh banyak korban dan kemudian secara massal dimakamkan.

Lampu minyak di ujung-ujung pemakaman yang dinyalakan saat menjelang senja menjadi penanda bahwa Pak Runci masih menjaga makam itu. Bisa dikatakan, Pak Runci adalah satu-satunya penduduk asli tertua yang masih tersisa, yang tak ikut menjadi korban, sementara penduduk lainnya—yang lolos sebagai korban—mulai meninggalkan wilayah untuk menata hidup baru di lain tempat atau bahkan memburu peruntungan ke negeri seberang.

Sama sekali Pak Runci tak pernah alpa menyalakan lampu minyak itu, kecuali jika dia jatuh sakit, yang tak memungkinkan dia berjalan menenteng lampu minyak untuk dipasang hingga ujung pemakaman. Maka, jika dalam hujan lebat dalam malam pekat itu Pak Runci mampu memangkas batang jagung atau menggali umbi, kami bersyukur karena artinya Pak Runci sudah sehat—dan esok senja ujung pemakaman itu tak lagi disungkup gelap yang pekat. Namun, senja esoknya—hingga malam dan kemudian pagi hari—kuburan itu tetap saja gelap dari ujung ke ujung. Juga malam kedua berikutnya. Apakah Pak Runci kehabisan minyak untuk menyalakan lampunya? Rasanya Pak Runci bukanlah sosok pemalu yang enggan meminta minyak pada kami—sebagaimana biasa dia lakukan jika kami alpa memasok minyak untuknya secara sukarela.

Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya keluarga kami, ternyata juga tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci.

Pada malam yang pekat dalam hujan yang lebat beberapa hari lalu itu memang tak ada yang menebang jagung atau menggali umbi dan ubi. Kami tak melihat ada tanda-tanda batang jagung yang ditebang atau tanaman singkong dan umbi jalar yang dibongkar. Yang dibongkar justru sebuah kuburan. Itu ada di pojok pemakaman yang bersampingan dengan belukar. Seseorang dari kami yang berkeliling pemakaman melihatnya.

Lahat itu menganga terbuka. Tak lagi ada sosok mayat di dalamnya. Juga sama sekali tak ada kerangka.

”Diambil keluarganya,” ucap seseorang, Pak Runci, yang sudah berada di belakang kami. Pak Runci tampak bugar.

Kami saling pandang—tak paham.

”Dua-tiga malam yang lalu,” Pak Runci menambahkan. Tiga malam yang lalu: hujan luar biasa lebat, malam sangat pekat.

”Pak Runci tahu?” kami bertanya nyaris bersamaan.

”Tahu ada pembongkaran? Iya. Yang bersangkutan minta izin saya.”

”Pak Runci tahu kalau….”

”Tahu kalau itu keluarganya? Entahlah. Saya tak menghapal ratusan jenazah yang dimakamkan di sini. Kan semua sudah bergeletakan di banyak tempat. Kan waktu dimakamkan tak ada yang diminta mengenali satu per satu jenazah, karena wajahnya memang sudah bubrah—tak lagi dikenali.”

Jika Pak Runci tak termasuk yang merasa sangat kehilangan saat terjadi musibah, itu dikarenakan sejak dulu dia tak berkerabat dengan sesiapapun.

”Pak Runci tahu….”

”Tahu untuk apa kuburnya dibongkar? Tidak.”

”Maksud kami….”

”Mungkin keluarganya punya makam atau tanah di tempat lain yang dianggap lebih layak untuk mengubur,” Pak Runci memotong.

”Maksud kami, Pak Runci kenal keluarga yang membongkar makam itu?”

Pak Runci hanya bergumam.

Kami tak yakin apakah Pak Runci mengenal seorang demi seorang penduduk yang pernah tinggal—juga yang kemudian meninggalkan—perkampungan ini.

***

Malam tak begitu pekat. Beberapa lampu minyak membenderangi setiap sudut kuburan massal itu. Namun, tetap saja, hujan yang begitu lebat menutup jarak pandang kami. Mata kami memang sedang menatap mengamati arah pekuburan massal itu. Menurut Pak Runci, malam ini—beberapa hari setelah pembongkaran kuburan pada malam pekat hujan lebat itu—bakal datang entah siapa ke pemakaman. Tak diketahui pasti jamnya. Tak diketahui pasti untuk apa. Tak diketahui pasti, siapa seseorang itu.

”Bagaimana Pak Runci tahu?” saya bertanya.

”Nalurinya mengatakan. Begitu katanya. Entahlah,” suami saya menjawab.

Kami penasaran. Untuk apa kuburan—massal pula—kembali didedah, padahal yang dikubur tak pernah dikenali rincian wajah-wajahnya. Bukan saja tak dikenali karena telah dimakan waktu, tapi waktu dimakamkan pun wajah-wajah itu telah dicacah-cacah oleh musibah. Karenanya, alasan memindahkan kerangka ke tempat yang lebih layak, bagi kami—setidaknya bagi saya—sungguh tak masuk benak.

Tak hanya di ujung-ujung pemakaman dipasangi lampu minyak. Di setiap ujung gang dan perempatan jalan, juga di antaranya, kami pasang pula lentera. Dengan penerangan lentera dan lampu minyak, setiap jengkal jalanan di hadapan dan sekitaran rumah-rumah kami, juga jalanan menuju pekuburan, akan menampak siapa saja yang bahkan lewat selintasan ke pekuburan. Namun, begitu hujan menderas, dan kami masuk ke dalam rumah, pindah dari teras karena menghindari percik air hujan yang menempias, kami jadi gagal mengamati kalau-kalau ada yang mendatangi pekuburan itu.

Hingga menjelang fajar, hujan masih membilas-bilas. Pelupuk mata kami mulai terkatup digelayuti kantuk. Kami rasa, tak ada yang mendatangi pekuburan massal itu yang kemudian membongkar salah satu sudutnya. Kami salah, ternyata. Begitu hujan mulai mereda dan matahari membiaskan cahayanya, kami dengar suara teriakan entah siapa dari arah pekuburan. Ada tiga lubang penggalian yang letaknya berjauhan dari pembongkaran pertama. Jenazah—mungkin kerangka, mungkin sekadar serbuk yang sudah berbaur tanah—tak lagi ada di dalamnya.

Tampaknya, penggalian itu dilakukan saat kami disungkup rasa kantuk ketika menjelang fajar itu. Rasa kantuk itu telah membuat telinga kami tak lagi peka untuk mendengar suara-suara ayunan cangkul yang beradu dengan tanah yang dibongkar.

Naluri Pak Runci terbukti.

Atau bukan naluri, melainkan benar-benar ada seseorang yang memberitahunya, meminta izin, sebagaimana kejadian pertama pada malam tanpa lentera dan hujan yang mendera-dera itu.

”Jika benar ada yang mendatangi Pak Runci, berarti Pak Runci membohongi kita,” ujar suami saya, yang juga menjadi ujaran penduduk lainnya.

”Tapi, apa untungnya Pak Runci berbohong?” suami saya bergumam, terkesan membantah kesimpulannya sendiri.

”Lagian, tak ada yang mengharuskan Pak Runci untuk melapor ke kita,” timpal saya pada suami saya saat kami makan malam.

”Lebih tepatnya, tak ada yang dirugikan di kampung kita ini karena dibongkarnya kuburan itu,” saya menambahkan.

”Juga hilangnya kerangka-kerangka itu,” suami saya menegaskan.

Gemuruh guntur di langit menghentikan percakapan kami. Kami buru-buru merapatkan daun pintu dan jendela karena hujan mendadak tumpah. Saya—juga suami saya—tak sempat menengok memastikan apakah lampu minyak sudah dipasang Pak Runci di segenap sudut pemakaman. Kalaupun lentera sempat kami pasang di depan rumah dan di setiap perempatan, pastilah akan segera susut, meredup, diguyur air hujan yang makin menderas, untuk kemudian padam.

Saya dan suami mencoba mencungkil-cungkil ingatan, apakah Pak Runci sempat memberitahu bahwa malam ini akan datang seseorang atau beberapa orang entah siapa hendak membongkar pemakaman massal. Namun, pemberitahuan Pak Runci—jika ada—tak lagi begitu penting, karena esoknya, setelah hujan yang terguyur sepanjang malam itu mereda, kami menemukan jawabannya, yakni: belasan kuburan dibongkar dan kerangka yang ada di dalamnya tak lagi ada di tempatnya.

”Saya setengah lupa setengah ingat mereka yang datang menggali kubur itu. Mereka adalah penduduk sini juga yang pindah rumah setelah musibah,” ungkap Pak Runci setelah kami mendesaknya agar memberikan keterangan. Kami, termasuk yang seharusnya sudah sampai di tempat kerja, pagi itu mendatangi pondok Pak Runci.

”Kata mereka, mereka hendak membuktikan bahwa kerabat mereka benar-benar meninggal. Suaminya tewas, istrinya wafat, orangtuanya—ayahnya atau ibunya atau dua-duanya—tak lagi bernyawa,” sangat panjang Pak Runci menjelaskan.

”Membuktikan pada siapa?” seseorang bertanya.

”Pada aturan di wilayah mereka berburu mata pencaharian. Mereka tak bisa menunjukkan bukti tertulis bahwa istri atau suaminya benar-benar meninggal.”

”Akta atau pencatatan kematian maksudnya?” Seseorang mencoba mempertegas.

”Dengan kepastian status mereka, janda atau duda, atau sebatangkara, mereka berhak mendapatkan santunan di wilayah tetangga,” Pak Runci tak menggubris pertanyaan.

”Lha, kan, semua surat-surat itu, termasuk akta tanah segala, ikut lebur dihancurkan musibah?” Seseorang tadi kembali mempertegas arah pembicaraan.

***

Senja jatuh di perbatasan. Banyak orang berbaris mengantre hendak melewati perbatasan yang ditandai oleh selarik garis itu. Wajah-wajah mereka lusuh karena lelah berjalan seharian dan semalaman. Mereka meninggalkan pemakaman massal pada dinihari usai menggali lahat yang diperkirakan sebagai tempat kerabatnya dikuburkan. Mereka bopong jenazah yang sesungguhnya sudah menjadi kerangka itu ke suatu tempat yang menyediakan peti jenazah. Setelah kerangka itu dimasukkan ke dalam peti, mereka menyeret peti itu menuju perbatasan. Seretan peti itu meninggalkan jejak berupa garis-garis bercak di sepanjang jalan yang mereka lewati, termasuk ketika kemudian menyeberangi sungai dan melintasi ngarai.

Sebelum benar-benar memasuki pintu-pintu gerbang yang dideret-deretkan di tembok yang memanjang dari pangkal ke tepian, ada berderet palang pintu yang dibuat dari bambu, yang dijaga para petugas. Mereka ini mencatat sosok-sosok yang menyeret peti mati itu, juga mencatati isi peti mati setelah terlebih dulu mereka membuka peti-peti itu. Setelah itu, para penjaga itu memberi selembar kertas kepada para penyeret peti mati itu. Lembaran kertas itulah yang dijadikan penanda bahwa pemegangnya diperbolehkan melewati gerbang yang dideretkan di tembok yang memanjang.

Begitu menerima lembaran kertas, rata-rata penerimanya langsung melonjak lega sebelum kemudian buru-buru menuju deretan gerbang. Di balik tembok yang memanjang itu, sekalipun dari kejauhan sudah tampak kilauan cahaya bauksit, mangan, perak, juga emas. Peti mati yang mereka seret sepanjang siang sepanjang malam itu begitu saja mereka tinggalkan di hadapan para penjaga. Memang, para penjaga itu akan melemparkan peti-peti dan isinya itu ke tubir jurang yang menganga di hadapan mereka ketika malam merayap perlahan.

****

Saya tiba di perbatasan juga pada saat matahari makin temaram. Saya rasa, bahkan sinar matahari tak pernah mampir di perbatasan ini. Udara cenderung menggigilkan.

”Nama?” tanya penjaga palang perbatasan begitu saya mendekati garis batas.

Saya sebutkan nama saya.

”Bukti apa hendak kamu sampaikan?” kata penjaga sambil membuka buku catatan.

”Saya seorang janda,” ujar saya.

”Buktinya apa?”

Saya mengerling ke peti yang saya seret semalaman hingga seharian. Penjaga itu memeriksa isi peti. Saya lihat wajahnya terperangah.

”Ini mayat baru?” katanya.

Saya mengiyakan. ”Beberapa hari lalu.”

”Ini bukan jenazah dari pemakaman!” penjaga itu membentak saya. Dia segera memberi isyarat kepada penjaga lain, yang segera meringkus saya dan melemparkan saya sejauh-jauhnya.

”Tapi saya janda. Saya punya hak mendapatkan santunan,” saya tersengal. Napas saya sesak.

”Santunan hanya untuk janda yang suaminya menjadi korban musibah. Atau anak-anak piatu, juga yatim, yang orangtuanya menjadi korban musibah. Kamu, bahkan kamu tak punya kerabat yang menjadi korban musibah. Juga suamimu.”

Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu, diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan tulang rusuknya.

Sangat ingin saya menjadi janda.***

Kupang, 06 Mei 2010;
Jakarta, 05 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...