Oleh: Riadi Ngasiran
Kami dipertemukan dalam gagasan-gagasan, meski pemahaman tak selalu bisa dipersepsikan seiring, apalagi sama. Kebudayaan menjadi pilihan eksistensi, yang setiap saat bisa dipergulatkan. Pierre Labrousse, seorang Indonesianis dari Perancis yang ahli di bidang bahasa dan kebudayaan, lebih memahami Indonesia dengan memosisikan dirinya ketika berada di Surabaya. Surabaya, di mata penyusun Kamus Prancis-Indonesia, ini memiliki keunikan khas sebuah kota negara berkembang.
Watak egaliter, kebersamaan, menghargai perbedaan dan kebebasan, yang dimiliki masyarakat Surabaya, menjadikan daya tarik untuk mengenal dari dekat kultur dan tradisi masyarakatnya. Dialah yang pernah mendorong saya untuk melakukan pelacakan identitas sebuah kota melalui telaah lukisan, L’identité de Surabaya dans la peinture moderne (Archipel, Paris), 2006). Sebuah ruang ekspresi yang bisa dirambah dalam memahami perjalanan, sekaligus karakter khas subkultur masyarakat.
Suatu hari, saya pun tergerak untuk membandingkan antara Indonesia dengan Perancis. Tentu, dalam kaitan antara Revolusi Perancis (1789) dengan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945) yang memuncakkan semangat kepahlawanan arek-arek Surabaya — dipicu fatwa Resolusi Jihad NU tanggal 22 Oktober 1945 atas prakarsa almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari dari Pesantren Tebuireng. Ya, adakah benang merah yang bisa direkatkan, dengan mencoba memelajari event kebudayaan yang pernah berlangsung di negeri tersebut.
Tentu saja, Surabaya menjadi titik sentral perhatian dalam memahami watak dan perkembangan kota. Surabaya yang setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak tahun 1996, merupakan tradisi yang telah dirintis para aktor yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka. Penjelahan dalam berkesenian, memperoleh penghargaan yang tinggi, sebagaimana kita memahami nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: sebuah apresiasi dan keanggunan menawarkan ide-ide imajinatif.
Di Surabaya, dengan Festival Seni Surabaya (FSS), sebagai tradisi digelar setiap tahun, memungkinkan kota ini berkembang dengan torehan kreativitas yang ajek, hingga kini, yang diadakan atas dana kepedulian masyarakat — bukan pemerintah semata. Memang, beberapa tahun kemudian, kita mengenal Pekan Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), namun kontinyuitasnya bermasalah, bahkan ada yang terhenti sama sekali.
Kota Surabaya berusia 700 tahun ketika awal keterlibatan seniman dan kalangan intelektual menggelar perhelatan yang menjadi cikal-bakal Festival Seni Surabaya (FSS). Perhelatan itu, Pekan Seni Surabaya (PSS) 700, yang pembukannya dilakukan olehWalikotamadya Surabaya, dr. H. Poernomo Kasidi (almarhum) pada 31 Mei 1993 di kompleks Balai Pemuda. Ketika itu, jejak kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit, tepat pula genap 700 tahun.
Seiring dengan pembukaan acara tersebut, koreografer Surabaya, Parmin Ras, tampil di depan publik. Sebuah tari karya Parmin Ras, ikut meramaikan acara pembukaan PSS 700. Secara singkat, tari ini ingin mengungkapkan tentang Surabaya. Parmin merupakan salah seorang penata tari yang dimiliki Surabaya, dengan karya-karyanya sangat inovatif. Tiga judul ditampilkan Parmin Ras. Yakni, Semi Final, Ozone 2040, dan Colon. Judul pertama, mengungkapkan kenyataan pola hidup metropolis, sadar atau tidak, telah jauh dari rasa setia kawan, jauh dari rasa welas asih. Kedua, mencoba mempertanyakan; terlambatkah kita dalam mengantisipasi bolongnya lapisan paling vital bagi seluruh kehidupan di bumi? Sedang ketiga, idenya berangkat dari pertanyaan : Bagaimana bentuk kepemimpinan masa depan?
Ada yang bisa dicatat di sini, dengan Pameran Seni Rupa, menampilkan karya lukis dan patung serta keramik, hasil karya generasi pelukis/pematung Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) dan Bengkel Muda Surabaya (BMS). Kedua organisasi kesenian inilah yang menjadi penggerak dalam PSS 700. Digelarnya acara tersebut, sekaligus merupakan kritik terhadap pengelolaan Balai Pemuda yang lebih didominasi dengan pasar kelontong. Maka digelarnya Pasar Seni, yang bukan tipe pasar kelontong. Barang-barang seni yang disajikan, sentuhan art-nya lebih diutamakan.
Ada pertanyaan sikap, dengan digelarnya Apel Seniman: sebuah pernyataan kebudayaan. Apel scniman berlangsung di tengah acara pembukaan Pekan Seni Surabaya 700. Para seniman melakukan Pernyataan Kebudayaan lewat dialog terbuka dengan H. Soelarso (Gubernur Jawa Timur, saat itu) dan dr.H. Poernomo Kasidi (Wali Kota Surabaya, saat itu). Ini merupakan sikap seniman Surabaya dalam usahanya untuk mendapatkan iklim yang kondusif dalam berkesenian.
Saat itu, dikotomi antara modern dan tradisi sebenarnya telah dicairkan. Maka, musik tradisi pun ditampilkan memang diperioritaskan untuk yang nyaris punah, baik yang bernapas Islami maupun yang di luar kerangka agama. Dan karena 1 Juni 1993 malam merupakan Malam Takbir untuk Idul Adha, maka ditampilkan musik Hadrah yang diikuti secara massal oleh kelompok Hadrah yang ada di Surabaya. Mereka tampil dengan ciri masing-masing, tetapi tampil secara bersamaan.
Agaknya, dari gagasan PSS 700, para penggerak tak bisa lagi menghentikan aktivitasnya dalam ikhtiar memberikan citra budaya bagi kota Surabaya. Maka pada tahun-tahun berikutnya berlanjut dengan penyelenggaraan pelbagai kegiatan kesenian. Seperti Malam Seni Chairil Anwar (1994), Pekan Seni Pemuda, Pekan Seni WR Soepratman (1995) hingga pada Festival Seni Surabaya yang pertama digelar pada 1996. FSS 1996 inilah, merupakan momen penting dalam sejarah perjalanan kesenian di Surabaya.
Surabaya, dengan FSS yang tahun 2010 ini menawarkan tajuk “Surabaya Experience”, digelar tanggal 6-14 November, menjadi bukti betapa kekuatan imajinasi dan kreativitas benar-benar memberikan citra yang menawarkan dimensi spiritual warganya. Belum lagi, munculnya pelbagai bentuk festival dari semangat yang telah dirintis atas digelarnya FSS. Sampai-sampai almarhum Kadaruslan (Cak Kadar) sempat tersinggung dengan penamaan “festival” namun substansinya justru menggiring masyarakat untuk bergaya konsumerisme. Misalnya, munculnya Surabaya Shopping Festival (SSF), yang mengaitkan dengan peringatan hari jadi kota Surabaya.
Cak Kadar adalah motivator lahirnya FSS — yang kemudian bersama Dahlan Iskan dan sejumlah intelektual, wartawan dan seniman, di antaranya, Peter A. Rohi, Wiek Herwiyatmo, membentuk Yayasan Seni Surabaya, yang menaungi penyelenggara event seni saban tahun tersebut. Yayasan ini, kini diperkuat Wisjnubroto Herputranto dan Sabrot D. Malioboro, mengamanahi tokoh muda yang pernah terlibat sejak pertama FSS digelar, Basuki Babussalam, untuk mengemban misi menegakkan eksistensi kemanusiaan ini.
Dari Surabaya, kita bisa melakukan telaah bandingan antara Revolusi Indonesia dan Revolusi Perancis. Dari Surabaya pula, dengan digelarnya festival seninya, tak berlebihan kita menengok sebuah kota di negeri para model itu. Avignon, kota festival seni di Perancis Selatan. Ia diibaratkan sebagai jantungnya Provence, sebuah kota yang kaya akan peninggalan harta budayanya. Terdapat sebuah benteng besar yang mengelilingi kota yang juga dikenal sebagai ibu kota Kristiani di abad ke-14. Kota tua Avignon memang berada di dalam benteng kokoh.
Avignon terkenal juga berkat festivalnya yang diadakan setiap tahunnya. Diadakan dari mulai tanggal 7 Juli hingga 31 Juli. Festival yang selalu menarik turis mancanegara ini, didirikan oleh seniman terkenal Jean Vilar. Tak heran bila rumah seniman ini pun menjadi tempat tujuan para wisatawan ketika menyaksikan penyelenggaraan festival. Festival di musim panas ini terbagi dua: festival terbuka dan tertutup. Festival terbuka diadakan di setiap sudut kota, bahkan terkadang berupa pawai. Dan tentunya gratis ditonton. Para seniman akan menghibur hati pendatang dengan teaternya, lagu, musik hingga tarian. Semarak dari festival ini selalu begitu menawan bagi pengunjung.
Bisakah kita bayangkan rasanya kita sedang berada dalam satu teater sebesar kota yang tak ada hentinya menyajikan penawaran akan karya-karya para kreator pendamba keindahan itu. Festival tertutup diadakan di dalam teater atau tempat khusus, yang mana penontong harus merogoh kantongnya. Karena selalu marak oleh acara seni, maka sepanjang jalan akan sering dijumpai teater atau tempat seni di kota ini.
Dan kita, dengan Festival Seni Surabaya sejak 1996 hingga sampai pada tahun ke-14, 2010 ini, dengan melibatkan ribuan seniman, dari Indonesia hingga mancanegara, senantiasa berikhtiar untuk menjadikan kota bercitrakan modern dengan persemaian ide-ide kreatif. Sebelum digelarnya festival, serangkaian acara menuju event (Pra-FSS) pun digelar, seperti Teater Ruang Publik, Lomba Penulisan Cerpen “Imajinasi tentang Kota”, aksi melukis dinding kota (mural), hingga Lomba Baca Puisi “Heroisme” bagi para pelajar.
FSS menjadi medium persemaian, imajinasi yang berkecambah pada diri setiap kreator untuk dipupuk dan mempersembahkannya bagi kota Surabaya. Sehingga, kota ini tereliminasi oleh citra kegersangan, hedonis dan barbar, menjadi kota yang terus berproses menatap kemajuan. Berkebudayaan!.
*Riadi Ngasiran, esais dan penelaah seni rupa.
Komentar