Nama “Surat Senin Pagi” saya pilih karena terdengar enak. Meski surat pertama ini baru muncul pada Senin sore, untuk kesempatan berikutnya, saya akan berusaha ia muncul tiap Senin pagi. Dan ini surat pertama.
Teman-teman,
Untuk melatih diri bermental baja, anda mungkin bisa mencontoh Dadang Ari Murtono. Pada 5 Desember 2010, cerpennya yang berjudul Perempuan Tua dalam Rashomon dimuat oleh Lampung Post. Sejumlah orang menyatakan bahwa cerpen tersebut melulu jiplakan dari cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke. Perdebatan sengit berlangsung di jejaring sosial facebook dan twitter. Sungging Raga berusaha membuktikan plagiarisme Dadang dengan menjajarkan paragraf-paragraf yang identik dalam dua cerpen Rashomon tersebut.
Mengaku mendapatkan desakan dari kawan-kawannya untuk menanggapi suara-suara sengit itu, Dadang menulis pembelaan terhadap Rashomon versinya–meski sebenarnya ia “ingin membiarkannya saja sebenarnya”. Dalam pembelaannya ia menulis antara lain sebagai berikut:
“Inti dari cerpen saya sendiri adalah upaya mengalihkan – bila istilah perlawanan terlalu berlebihan – cerpen Akutagawa ke konteks pemaknaan dunia sekarang ini yang saya yakini kebenarannya. Seperti inilah idenya: merubah sudut pandang yang dipakai Akutagawa tentang kehidupan itu sendiri, tanpa merubah dunia yang telah dibangunnya.”
(Kesalahan penulisan “merubah” yang seharusnya “mengubah” dalam kutipan di atas adalah dari Dadang sendiri. Namun, karena ia orang Jepang, saya agak maklum jika ia tidak tahu bahwa kata itu dibentuk dari kata dasar ubah dan bukan rubah atau cerpelai.)
Saya tidak ingin menjajarkan lagi paragraf-paragraf dalam kedua Rashomon itu, yang memang hampir sepenuhnya identik. Pekerjaan itu sudah dilakukan oleh Sungging Raga. Karena itu, saya pikir kita bisa membicarakan hal lain, dan saya akan berangkat dari pembelaan di atas.
Apa yang dimaksudkan oleh Dadang dengan “merubah sudut pandang” adalah mengganti siapa yang diceritakan masuk ke gerbang Rashomon pada awal cerita. Dalam cerpen Akutagawa, ia adalah seorang lelaki, pelayan samurai yang baru dipecat majikannya dan menjumpai di ruangan atas gerbang tersebut seorang perempuan tua sedang mencabuti rambut mayat seorang perempuan. Dalam versi Dadang, ia adalah seorang perempuan tua, juga pelayan samurai yang baru dipecat majikannya. Menjumpai tumpukan mayat di sana, perempuan itu memutuskan mencabuti rambut orang-orang mati itu untuk dijadikan cemara. Jadi, yang dilakukan Dadang adalah menggabungkan karakter Genin atau pelayan samurai dengan si perempuan tua, seperti seorang pawang mengawinkan tapir dengan musang.
Hasilnya, selain satu paragraf penutup, semuanya sama persis, baik plot, setting, maupun nada tuturan cerita tersebut dengan cerita Akutagawa. Saya kira ini sebuah ikhtiar yang agak imbisil untuk melahirkan sebuah cerita yang bersandar dari karya orang lain untuk kemudian dinyatakan sebagai karya sendiri.
Alasan pengubahan sudut pandang saya kira menjadi terlampau lemah dalam kasus ini. Kita bisa memaafkan bahwa Dadang tidak bisa membedakan ubah dengan rubah atau burung onta. Banyak orang lain mengidap gejala seperti itu. Dalam hal ini kekeliruan Dadang bukan kasus unik. Namun yang tidak termaafkan adalah kegagalannya memahami bahwa setiap individu adalah unik. Tiap-tiap orang akan melihat kenyataan dari pandangan dunianya masing-masing. Karena itu, di tangan seribu penulis kita akan mendapatkan seribu cerita, seribu cara pandang, seribu suara tuturan, pada saat mereka diminta menggarap satu tema. Dari sudut pandang satu karakter kita bisa mendapati satu cerita dan realitas yang hanya milik karakter tersebut. Sementara dari sudut pandang karakter lain, kita akan mendapati cerita dan realitas lain, kendati peristiwanya sama. Itu karena isi kepala masing-masing dari mereka berbeda, dan realitas adalah representasi pandangan dunia masing-masing orang.
Dadang memang memiliki kalimat yang patriotik untuk menjelaskan dirinya. Simaklah kalimat berikut:
“Dan kenapa ada beberapa kalimat yang sama persis dalam Perempuan Tua dalam Rashomon dengan kalimat-kalimat dalam Rashomon adalah karena saya ingin menjaga ingatan pembaca kepada Rashomon, agar dunia yang dibangun dalamPerempuan Tua dalam Rashomon tidak merusak apa-apa yang telah terbangun dalam Rashomon. Sebab ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Sebab ini perkara perlawanan dan keberpihakan.”
Ia benar bahwa ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Dan ia boleh sepatriotik mungkin menjelaskan dirinya. Namun, saya akan lebih sepele melihatnya, ini adalah perkara bagaimana seorang penulis memahami sudut pandang. Setiap orang memiliki kesaksiannya sendiri atas realitas, setiap orang memiliki versi yang berbeda meski mereka ditempatkan dalam setting dan situasi yang sama.
Akutagawa memahami hal tersebut. Karena itulah dalam cerpennya yang lain, “Di sebuah Hutan kecil”, ia membuat empat “realitas” berbeda atas satu peristiwa pembunuhan. Realitas pertama dari sudut pandang orang-orang yang mendapati mayat tersebut, mereka memberikan kesaksian di kantor polisi, termasuk kesaksian polisi yang menangkap pembunuhnya. Realitas kedua dari sudut pandang Tajomaru, si pembunuh, yang mengakui bahwa memang dialah yang membunuh korban. Realitas ketiga dari istri korban, yang mengakui bahwa dialah yang membunuh suaminya, bukan penyamun Tajomaru yang telah memerkosanya. Realitas keempat dari korban pembunuhan itu, melalui seorang cenayang.
Dadang tidak memiliki pemahaman sebaik Akutagawa dalam hal memaknai realitas. Maka, kendati ia mengakui membuat perubahan sudut pandang, kita masih mendapati segalanya sama saja. Ia mencoba menyodori kita sebuah versi lain, namun ada yang fatal dalam versinya: tak ada perbedaan realitas yang diwakili oleh perubahan sudut pandang. Maka, kita menjumpai bahwa isi kepala seorang lelaki pelayan samurai sama belaka dengan isi kepala perempuan tua pemulung rambut mayat, kecuali pada ending yang menurut saya justru terasa lebih klise dan mandek: perempuan tua itu memandangi tumpukan mayat dan berpikir alangkah enaknya menjadi mayat, tidak ada lagi persoalan. Selesai.
Dalam versi Akutagawa, ketika cerita berakhir, kita masih diajak melihat kegelapan. Dan kita masih diberi kesempatan “menulis” sendiri kelanjutan cerita tersebut, apakah perempuan tua itu akan terus mencabuti rambut si mayat untuk dijadikan cemara setelah si pelayan samurai merampok dirinya, atau kemungkinan apa pun. Sementara pada diri lelaki pelayan samurai, kita disodori kegelisahan apakah orang harus menjadi penjahat untuk bertahan hidup–dan kemudian sebuah ironi. Itu bagian sangat kuat pada cerita Rashomon yang justru hilang oleh ikhtiar Dadang.
Kehadiran perempuan tua yang mencabuti rambut mayat demi bertahan hidup membuat si pelayan samurai muak pada kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan nyawa. Ia, yang beberapa waktu sebelumnya berpikir untuk menjadi pencuri demi bertahan hidup, kemudian mendapatkan kesadaran berikut bahwa baginya lebih baik kehilangan nyawa ketimbang melakukan kebejatan sebagaimana yang dilakukan perempuan itu. Namun, sesaat kemudian, perempuan tua itu jugalah yang memberinya alasan, dalam percakapan singkat, bahwa dengan cara apa pun nyawa harus dipertahankan. Lagipula, menurut perempuan itu, “Mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu.”
Pada saat itulah, Akugawa menyodori kita ironi. Ketika perempuan tua itu menjelaskan “apa yang pantas didapat oleh mayat-mayat itu”, ia sesungguhnya sedang menjelaskan juga apa yang pantas didapat olehnya. Maka, pelayan samurai itu menjadikan si perempuan tua korban pertamanya. Atas persetujuan si tua itu sendiri.
Apa boleh buat, secara patriotik demi “perlawanan dan keberpihakan”, Dadang telah membantai bagian yang paling memikat dari cerpen Akutagawa.
Itu masalah pertama dengan cerpen Rashomon versi Dadang. Masalah berikutnya, cerpen yang sama dimuat lagi tujuh pekan kemudian di Kompasminggu kemarin (30/1/2011). Raudal Tanjung Banua mengirimkan sms kepada saya pada sore harinya. Bunyinya: “Mas, baca cerpen Kompas hari ini, karya Dadang Ari Murtono? Lha, itu kan jiplakan bulat-bulat dari cerpen Ryunosuke Akutagawa berjudul Rashomon yang pernah diterbitkan akubaca. Kok redakturKompas tidak ingat cerpen terkenal itu ya? Demikian sekadar info. Salam.”
Sebelumnya, siang hari, di Milis Bengkel Penulisan Novel DKJ 2009, Apendi, salah seorang anggota milis, menulis surat yang mempertanyakan cerpen itu juga. Seperti membuat kuis, ia mengajukan pertanyaan: Kompas sengaja atau kecolongan?
Cerpenis Bamby Cahyadi menulis surat untuk Kompas, yang dimuat di situshttp://indonesiabuku.com pada hari yang sama dengan pemuatan cerpen tersebut. Ia menulis antara lain:
“Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.”
Akhirnya, setelah cukup berpanjang lebar, saran saya untuk kasus ini tetap saja: Untuk melatih diri bermental baja, tirulah Dadang Ari Murtono. Saya mendapatkan komentar juga bahwa cerpennya yang berjudul Lelaki Sepi, yang juga dimuat di Kompas, mengingatkan kita pada cerita Perempuan Berwajah Penyok karya Ratih Komala.
Salam saya,
A.S. Laksana
N.B. Menurut saya akan lebih baik jika Dadang Ari Murtono membiarkan sajaRashomon seperti aslinya, jika upayanya untuk mengubah sudut pandang tidak bisa meyakinkan, dan caranya mengakhiri cerita justru menjadikan cerita itu berakhir klise. Dengan membiarkan Rashomon apa adanya, Dadang juga bisa mencantumkan namanya sebagai pengarang–kalau ia mau.
Komentar