Langsung ke konten utama

Puisi-puisi penyair kontroversial Dadang Ari Murtono (2)

Ayam Potong

sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya
dengan debar dan getar yang tak terkira,
debar dan getar yang kita panggil cinta,
debar dan getar yang membuat adam
memutil buah larangan dan rela
dikucil ke dunia,

sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya di surga
semenjak awal,
semenjak cikalnya belum dicipta,
semenjak hawa belum pandai merayu,
semenjak ular itu belum lihai menjalar dan menyaru,

maka teramat ingin ia segera bertemu
lempeng berkilau itu,
lempeng yang juga telah begitu lama merindunya,
lempeng yang sedari ditempa telah dibisiki namanya,
lempeng yang sejak itu tak henti membayangkannya,
mereka-reka wajahnya,
menerka-nerka manis darah dan nikmat serat dagingnya,
lempeng yang akan menunjukkannya jalan
meninggalkan tubuh gemuk namun rapuh untuk
berjumpa dengan malaikat berparas teduh itu,

seperti ismail,
seperti ismail yang konon berkata,
"kenapa domba itu muncul,
kenapa domba itu menelikung jalanku?"

Pangkal Sawi

tiba-tiba kau tiba
di hadapanku
minta disajakkan

agar ada yang kelak mengingatmu
sebagai perangkai yang mempertemukan
batang dan daun,
mempertemukan sepasang kekasih,

setelah tangan penanam yang lama
menunggu musim panen
mematahkanmu,
membiarkanmu menjatuhkan getah
yang serupa airmata,

memisahkan sepasang kekasih itu,
sepasang kekasih yang dengan ikhlas
kaujaga.

dan aku gemetar, tiba-tiba saja,
tak tahu bagaimana menyajakkanmu,
tak tahu bagaimana mengawetkan
airmatamu yang terus-terusan
jatuh,

tak tahu merangkum seluruhmu,
atau bahkan secuilmu.

Kepada Apel yang Busuk

ketika banyak orang berbicara tentang cinta
lewat mawar, berumpama tentang rindu dalam
malam yang sepi atau kenangan yang kian
mekar, aku bicara tentang cinta lewat
sebutir buahmu yang lerai, berumpama tentang
rindu yang mesti ditebus dengan kesegalaan
diri, dengan kejatuhan diri,

aku bicara tentang tuhan lewat lapukan
tubuhmu, lapukan yang menyuburkan tanah,
yang bersama butir-butir hujan menumbuhkan
hutan,

dan di ketinggian, tuhan tersenyum,
melambai-lambai memanggil segala yang
kautunaskan merambat ke atas, terus
merambat ke atas

mengantarmu kembali ke taman yang pada
suatu ketika menyimpan moyangmu, moyang
yang dikutuk, moyang yang menjatuhkan
adam, serupa tubuhmu yang kini
dijatuhkan cuaca.


Dadang Ari Murtono
, lahir dan tinggal di Mojokerto.

Sebagian karyanya terbit Suara Merdeka,
Lampung Post, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos,
Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post,
Minggu Pagi, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat,
Tribun Jabar, Radar Surabaya, Kendari Post,
Bangka Post, Majalah Horison, dan lain-lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI