Ayam Potong
sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya
dengan debar dan getar yang tak terkira,
debar dan getar yang kita panggil cinta,
debar dan getar yang membuat adam
memutil buah larangan dan rela
dikucil ke dunia,
sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya di surga
semenjak awal,
semenjak cikalnya belum dicipta,
semenjak hawa belum pandai merayu,
semenjak ular itu belum lihai menjalar dan menyaru,
maka teramat ingin ia segera bertemu
lempeng berkilau itu,
lempeng yang juga telah begitu lama merindunya,
lempeng yang sedari ditempa telah dibisiki namanya,
lempeng yang sejak itu tak henti membayangkannya,
mereka-reka wajahnya,
menerka-nerka manis darah dan nikmat serat dagingnya,
lempeng yang akan menunjukkannya jalan
meninggalkan tubuh gemuk namun rapuh untuk
berjumpa dengan malaikat berparas teduh itu,
seperti ismail,
seperti ismail yang konon berkata,
"kenapa domba itu muncul,
kenapa domba itu menelikung jalanku?"
Pangkal Sawi
tiba-tiba kau tiba
di hadapanku
minta disajakkan
agar ada yang kelak mengingatmu
sebagai perangkai yang mempertemukan
batang dan daun,
mempertemukan sepasang kekasih,
setelah tangan penanam yang lama
menunggu musim panen
mematahkanmu,
membiarkanmu menjatuhkan getah
yang serupa airmata,
memisahkan sepasang kekasih itu,
sepasang kekasih yang dengan ikhlas
kaujaga.
dan aku gemetar, tiba-tiba saja,
tak tahu bagaimana menyajakkanmu,
tak tahu bagaimana mengawetkan
airmatamu yang terus-terusan
jatuh,
tak tahu merangkum seluruhmu,
atau bahkan secuilmu.
Kepada Apel yang Busuk
ketika banyak orang berbicara tentang cinta
lewat mawar, berumpama tentang rindu dalam
malam yang sepi atau kenangan yang kian
mekar, aku bicara tentang cinta lewat
sebutir buahmu yang lerai, berumpama tentang
rindu yang mesti ditebus dengan kesegalaan
diri, dengan kejatuhan diri,
aku bicara tentang tuhan lewat lapukan
tubuhmu, lapukan yang menyuburkan tanah,
yang bersama butir-butir hujan menumbuhkan
hutan,
dan di ketinggian, tuhan tersenyum,
melambai-lambai memanggil segala yang
kautunaskan merambat ke atas, terus
merambat ke atas
mengantarmu kembali ke taman yang pada
suatu ketika menyimpan moyangmu, moyang
yang dikutuk, moyang yang menjatuhkan
adam, serupa tubuhmu yang kini
dijatuhkan cuaca.
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto.
Sebagian karyanya terbit Suara Merdeka,
Lampung Post, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos,
Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post,
Minggu Pagi, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat,
Tribun Jabar, Radar Surabaya, Kendari Post,
Bangka Post, Majalah Horison, dan lain-lain.
sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya
dengan debar dan getar yang tak terkira,
debar dan getar yang kita panggil cinta,
debar dan getar yang membuat adam
memutil buah larangan dan rela
dikucil ke dunia,
sebab tahu
telah lama malaikat menunggunya di surga
semenjak awal,
semenjak cikalnya belum dicipta,
semenjak hawa belum pandai merayu,
semenjak ular itu belum lihai menjalar dan menyaru,
maka teramat ingin ia segera bertemu
lempeng berkilau itu,
lempeng yang juga telah begitu lama merindunya,
lempeng yang sedari ditempa telah dibisiki namanya,
lempeng yang sejak itu tak henti membayangkannya,
mereka-reka wajahnya,
menerka-nerka manis darah dan nikmat serat dagingnya,
lempeng yang akan menunjukkannya jalan
meninggalkan tubuh gemuk namun rapuh untuk
berjumpa dengan malaikat berparas teduh itu,
seperti ismail,
seperti ismail yang konon berkata,
"kenapa domba itu muncul,
kenapa domba itu menelikung jalanku?"
Pangkal Sawi
tiba-tiba kau tiba
di hadapanku
minta disajakkan
agar ada yang kelak mengingatmu
sebagai perangkai yang mempertemukan
batang dan daun,
mempertemukan sepasang kekasih,
setelah tangan penanam yang lama
menunggu musim panen
mematahkanmu,
membiarkanmu menjatuhkan getah
yang serupa airmata,
memisahkan sepasang kekasih itu,
sepasang kekasih yang dengan ikhlas
kaujaga.
dan aku gemetar, tiba-tiba saja,
tak tahu bagaimana menyajakkanmu,
tak tahu bagaimana mengawetkan
airmatamu yang terus-terusan
jatuh,
tak tahu merangkum seluruhmu,
atau bahkan secuilmu.
Kepada Apel yang Busuk
ketika banyak orang berbicara tentang cinta
lewat mawar, berumpama tentang rindu dalam
malam yang sepi atau kenangan yang kian
mekar, aku bicara tentang cinta lewat
sebutir buahmu yang lerai, berumpama tentang
rindu yang mesti ditebus dengan kesegalaan
diri, dengan kejatuhan diri,
aku bicara tentang tuhan lewat lapukan
tubuhmu, lapukan yang menyuburkan tanah,
yang bersama butir-butir hujan menumbuhkan
hutan,
dan di ketinggian, tuhan tersenyum,
melambai-lambai memanggil segala yang
kautunaskan merambat ke atas, terus
merambat ke atas
mengantarmu kembali ke taman yang pada
suatu ketika menyimpan moyangmu, moyang
yang dikutuk, moyang yang menjatuhkan
adam, serupa tubuhmu yang kini
dijatuhkan cuaca.
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto.
Sebagian karyanya terbit Suara Merdeka,
Lampung Post, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos,
Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post,
Minggu Pagi, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat,
Tribun Jabar, Radar Surabaya, Kendari Post,
Bangka Post, Majalah Horison, dan lain-lain.
Komentar