Artikel : Jodhi Yudono
JAKARTA, KOMPAS.com — Gonjang-ganjing mengenai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin terus menggelinding. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang menetapkan pusat dokumentasi sastra Indonesia terbesar di seluruh dunia hanya mendapat anggaran Rp 50 juta per tahun telah menuai kegeraman di kalangan sastrawan dan ilmuwan yang peduli dengan warisan literasi yang tak ternilai harganya itu.
Lantaran SK Gubernur DKI Jakarta itulah, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin) bisa terancam tutup. Mafhumlah, dengan anggaran cuma Rp 50 juta per tahun, itu artinya tak mencukupi untuk membayar pegawai dan perawatan secara memadai.
Dalam tulisannya di Kompasiana, penulis dan pemerhati sastra Linda Djalil menulis, "Uang memang bukan segalanya. Namun, bila upaya penyelamatan mahakarya Sastra Indonesia yang puluhan ribu jenis itu tidak memperoleh sokongan keuangan yang pantas, tentu ini membuat hati perih. Dan bangsa ini terasa diremehkan. SK (Surat Keputusan) Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo menyatakan jelas-jelas bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun."
Siapa yang tak terhenyak membaca surat itu? Apalagi, pendanaan untuk PDS HB Jassin yang biasanya masuk dalam kelompok dana untuk Dewan Kesenian Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, dan Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismai Marzuki ini kini masuk dalam "bangsa" Teater Tanah Air maupun Sanggar Roda. Bayangkan, tempat yang berisi puluhan ribu mahakarya Sastra Indonesia ini digolongkan dalam kategori sanggar, yang hanya layak memperoleh Rp 50 juta saja per tahun.
Tahun-tahun sebelumnya, PDS HB Jassin sempat memperoleh Rp 500 juta tiap tahun. Kemudian, dana turun menjadi Rp 300 juta. Tahun lalu, pengelola gudangnya ilmu para seniman, sastrawan, dan peneliti dalam dan luar negeri ini sudah ngos-ngosan menerima dana yang disunat menjadi Rp 164 juta. Kini, lebih terkapar lagi… Sekali lagi, Rp 50 juta yang diterima perpustakaan ini!
Jelas sudah betapa Pemerintah Indonesia, khususnya Pemda DKI, yang notabene memang adalah payung dan menjadi naungan bagi PDS HB Jassin sejak 1976 ini, kini bagai "mendadak lupa" terhadap kewajibannya untuk turut memelihara warisan dan kebudayaan nasional yang amat tak ternilai ini. Lagi-lagi, membaca angka Rp 50 juta untuk pembiayaan 12 bulan membuat orang sah-sah saja menganggap pelecehan terhadap karya bangsa sedang berlangsung dan bisa saja akan terus berulang-ulang berlangsung. Saya juga penasaran, dari mana perhitungan angka sebesar itu bagi perpustakaan raksasa ini?
Apakah pihak Pemda DKI selama ini pura-pura tidak tahu bahwa untuk biaya pengasapan buku saja sudah habis Rp 40 juta sendiri dan pemeliharaan dengan pengasapan idealnya dilakukan dua kali setahun agar buku tidak mudah hancur dan dimakan ngengat? Belum lagi penggajian 14 pegawai yang sudah sebegitu setia berada di tempat itu dengan gaji yang sangat minim. Mereka tetap memiliki kecintaan yang berlebih terhadap tempat itu.
Tak dapat saya bayangkan betapa banyaknya guliran air mata Doctor Honoris Causa HB Jassin, Paus Sastra Indonesia, yang begitu besar jasanya bagi kesusastraan Indonesia, apabila ia masih hidup. Sebagai seorang pengarang ternama, ia juga amat teliti dan tekun mengumpulkan ribuan dokumentasi sastra sejak tahun 1932.
Berbagai tulisan tangan para pengarang saat mulai menuliskan naskahnya, biografi, maupun coretan koreksian, dan surat-menyurat para penulis karya sastra juga melengkapi karya itu sendiri sebagai barang yang sudah menjadi sebuah buku. Klipingan koran masa lalu dari zaman sebelum Perang Dunia II sampai setelah Indonesia merdeka, plus dokumentasi penting setelah Orde Baru 1966, seluruhnya semula tersebar di Gang Siwalan Nomor 3 dan rumahnya di Gang Kecapi Nomor 8, rumah saudaranya.
Selebihnya ia titipkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jalan Diponegoro 82. Jerih payah HB Jassin tak sia-sia. Dengan akta notaris tertanggal 28 Juni 1976, resmilah Yayasan Dokumentasi HB Jassin yang terletak di kawasan Taman Ismail Marzuki tercipta. Ribuan koleksi naskah itu menjadi milik Pemda DKI Jakarta dan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin. Siapa lagi kalau bukan Gubernur Ali Sadikin, gubernur saat itu, yang memberikan dorongan penuh untuk tujuan mulia ini.
Selain ribuan buku, naskah drama, potongan surat kabar yang memuat banyak karya sastra para pengarang koleksi HB Jassin, akhirnya berbagai kaum intelektual Indonesia yang lain pun ikut tergugah. Ramai-ramailah mereka menyumbangkan buku untuk menambah koleksi perpustakaan Sastra Indonesia ini. Buku-buku koleksi profesor Dr Damais beberapa rak, koleksi Haji Agus Salim, koleksi Mochtar Lubis yang terdiri dari surat kabar Indonesia Raya yang sudah dijilid dari tahun 1968 sampai 1974, koleksi Wiratmo Soekito dalam bentuk naskah kliping koran dan majalah, koleksi Dr Boen Soemarjati, putri profesor Slamet Imam Santoso, sebanyak enam lemari besi.
Belum lagi beberapa dosen Universitas Indonesia, seperti profesor Panuti Sudjiman dan doktor Sri Wulan Rujiati Mulyadi, yang biasa memberikan mata kuliah filologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan berbagai tokoh lain pecinta buku. Tulisan tangan WS Rendra saat membuat konsep puisinya, tulisan tangan Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Sitor Situmorang, maupun naskah novel Ziarah milik Iwan Simatupang, bahkan surat-menyurat antarsesama sastrawan, semua teronggok di sana menunggu hancur kalau perawatan terabaikan karena masalah biaya. Bayangkan, apabila dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia bahkan di dunia ini akhirnya lenyap begitu saja. Sungguh sayang sekali!
Makin hari; buku, makalah, dokumen penting sastra Indonesia makin membengkak. Koleksi bertambah terus kian hari, beriringan dengan berbagai peneliti yang mampir dan memanfaatkan gudang ilmu ini untuk skripsi dan disertasi mereka. Peneliti asing dari berbagai universitas di Malaysia, Australia, Jerman, Belanda, Amerika, juga tak terhitung banyaknya. Wartawan-wartawan Indonesia, para seniman andal, dosen, dan mahasiswa paham betul akan "sumber" informasi kesusastraan mereka adanya di PDS HB Jassin.
Pak Jassin pernah bermimpi seperti ini saat ia masih hidup, "Andai di lantai satu gedung perpustakaan Sastra Indonesia ini khusus memang untuk sastra Indonesia dan berbagai daerah lain. Lantai dua untuk sastra Asia. Lantai empat sastra Eropa. Semua terdiri dari sastra modern ataupun sastra lama." Sungguh ideal, indah, dan mulia cita-cita sastrawan hebat Indonesia ini. Benarkah semua terwujud?
Beliau meninggal 11 tahun silam. Keinginannya belum terealisasi. Sampai kini, bahkan jangkauan untuk menggolongkan bagian-bagian dari sastra itu bertempat di lantai yang berbeda, betul-betul jauh dari impian. Alangkah menyedihkannya gedung PDS HB Jassin. Tangga besi yang curam dan membuat orang harus ekstra hati-hati menata napas dan melangkahkah kaki, ruang baca yang masih bersahaja, ditambah lagi ruang penyimpanan buku, dokumentasi yang muram dan dipenuhi map-map yang tak bersinar lagi. Tempat yang kian sempit dan perawatan yang kurang maksimal tinggal menunggu mahakarya yang ada di sana menjadi reyot pelan-pelan.
Saya tidak sanggup membayangkan betapa "ngilernya" para peneliti, mahasiswa yang haus karya sastra. Bayangkan, sampai saat ini terdapat sekitar 18.000-an buku fiksi, 12.000-an buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, 517 makalah, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, juga 740 foto pengarang. Data ini masih berubah dari hari ke hari dan semakin besar jumlah jenis koleksinya.
Tahun lalu saya sempat mengundang Rizal Ramli, mantan Menteri Ekonomi, beserta Afung, istrinya, saat buku puisi Radja Ketjil hasil karya saya dan berbagai teman lain diluncurkan di ruangan PDS HB Jassin. Saya tangkap keprihatinan dan keheranan Rizal Ramli saat menelusuri gang kecil menuju gedung PDS sebelum menaiki tangga curam. Banyak romel, ada gantungan jemuran pakaian, dan handuk di pinggiran bawah tangga. Setelah masuk pun ke ruangan yang bersahaja itu, ia tampak terkesima. Sedih memang! Namun saya tak lupa, Rizal Ramli mengagumi kekayaan PDS HB Jassin ini yang penuh berjubel karya Sastra Indonesia yang mencengangkan, bahkan karya Sastra Melayu China yang berasal dari tahun 1800-an masih tersimpan rapi di sana.
Negeri ini memang ironis. Di satu sisi menyulap gedung ratusan miliar dilengkapi kolam renang nun jauh di atap atas dan spa yang nyaman terasa mudah sekali. Sementara itu, menyisihkan kocek untuk sebuah penghalusan budi, memelihara mahakarya sastra Indonesia yang luar biasa lengkapnya dalam sebuah gedung yang bersahaja, bagai batu yang beratnya berton-ton rasanya untuk menjalankannya. Saya bayangkan ibu-ibu yang biasa muncul di majalah sosialita dengan tas Hermes warna-warni seharga satunya Rp 180 juta, sementara PDS HB Jassin akan tenggelam kehabisan nyawa karena hanya dilempar oleh Pemda sebesar Rp 50 juta! Saya teringat kembali kata-kata HB Jassin, yang kebetulan dulu adalah pembimbing skripsi sarjana saya, "Menyia-nyiakan hasil karya kita berarti menyia-nyiakan kehidupan kita, sejarah kita, masa silam, masa sekarang, dan masa depan kita... Dokumentasi sesungguhnya adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya…."
"Akankah Fauzi Bowo beserta jajaran dinas yang membidangi masalah ini akan meninjau kembali SK-nya? Atau sudah merasa "nyaman" karena sebentar lagi toh akan muncul berkilo-kilo uang logam sebagai hasil pengumpulan sumbangan dari masyarakat yang sangat prihatin atas merananya PDS HB Jassin ini? Mari kita lihat bersama perkembangan cerita selanjutnya…."
Kini, persoalan PDS HB Jassin telah menjadi sebuah gerakan "moral" menyelamatkan dunia sastra khususnya, dan dunia literasi umumnya. Beberapa sastrawan dan pencinta sastra bahkan telah menggulirkan "Koin Sastra".
Komentar