Sabtu (26/02/2011) pukul 15.00 – 17.00, Komunitas Kembang Merak mengadakan diskusi bertajuk Eksterioritas Sastra Eksil Pasca-1965 di Ruang Pertemuan Perpustakaan Kota Yogyakarta. Diskusi ini dimoderatori oleh Laras, mahasiswi antropologi UGM, dengan pembicara Iryan Ali H. dari Komunitas Kembang Merak dan Katrin Bandel, kritikus sastra dan Dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma.
Komunitas Kembang Merak merupakan kelompok yang bergerak dalam kajian pasca-kolonial. Diskusi di Perpustakaan Kota Yogyakarta ini adalah diskusi putaran kedua yang terselenggara setelah Komunitas Kembang Merak kesusahan mencari tempat yang menurut mereka representatif.
Pembicara pertama, Iryan, membawakan sebuah makalah berjudul Rajawali Main Bareng Anjing: Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS. Dalam presentasinya, Iryan hanya menjelaskan beberapa poin dari lima belas lembar makalah yang dia buat. Poin pertama yang dijelaskannya adalah istilah ‘eksil’. ‘Eksil’ menurut Kamus bahasa Inggris adalah pengisolasian atau pengibirian akan hak-hak subjek sehingga subjek itu teralienasi.
Berangkat dari definisi itu, Iryan menjelaskan poin kedua, yakni Sastra Eksil. Iryan memulai penjelasan tentang Sastra Eksil dari kemunculannya. Iryan menyatakan, kapan tepatnya kemunculan Sastra Eksil sebenarnya tak jelas, namun Sastra Eksil selalu terkait dengan tahun 1965. Pada tahun itu, orang-orang yang hijrah ke luar negeri seringkali tidak bisa pulang ke Indonesia karena alasan politik. Sastra Eksil merupakan suatu wujud kebencian orang-orang tersebut terhadap Indonesia. Para sastrawan eksil menulis layaknya sebuah buku harian.
Dari penjelasan itu, Iryan beranjak ke penjelasan istilah ‘eksterioritas’. ‘Eksterioritasi’ menurut Iryan adalah semacam kajian Barat atas Timur, demi kepentingan Barat. Mirip dengan istilah Orientalisme-nya Edward Said, memang.
Setelah menjelaskan itu, Iryan menjelaskan tentang Utuy TS yang menjadi fokus dari makalahnya. Utuy TS adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang telah menelurkan sebanyak sembilan karya di luar negeri. Dari seluruh karyanya itu, hanya tiga saja yang dapat ditemukan di Indonesia. Penjelasan Iryan tentang Utuy TS itu adalah poin terakhirnya.
Setelah Iryan selesai dengan presentasinya, Katrin ganti mempresentasikan makalahnya. Dalam makalahnya, Sastra Eksil dan Wacana Pascakolonial, Katrin mempertanyakan apa itu Sastra Eksil dan apa hubungannya dengan Pascakolonialisme.
Menurut Katrin, sebelum membicarakan Sastra Eksil, harus ada kesepakatan bersama dulu atas definisi Sastra Eksil. Untuk itu, Katrin merujuk definisi Sastra Eksil dari tulisan Saut Situmorang yang berjudul Sastra Eksil, Sastra Rantau. Istilah ‘sastra eksil’ di Indonesia identik dengan para pengarang korban ‘65 dan berhubungan dengan sastrawan bekas Lekra. Seperti yang kita ketahui, pasca-1965 ada suatu keterpaksaan politik yang membuat sastrawan yang berada di luar tidak bisa pulang ke Indonesia. Namun, definisi eksil politik tersebut belum tentu sahih. Banyak alasan lain mengenai perpindahan orang-orang ke luar negeri. Menurut M. Hanne dalam Creativity in Exile, sebuah antologi sastrawan eksil, di zaman globalisasi makin rumit mendefinisikan eksil. Alasan ekonomis banyak berperan di zaman ini. Kondisi inilah, yakni alasan-alasan ekonomi dari perpindahan orang Indonesia ke luar negeri, yang membuat Katrin mempertanyakan kesahihan definisi politis, yang biasanya terbatas pada konflik 1965, dari eksil.
Berkaitan dengan pascakolonial, gejala perpindahan orang-orang ke luar negeri ada kaitannya dengan relasi kekuasaan global yang merupakan lanjutan kolonialisme klasik. Misalnya, banyak buruh migran Indonesia yang pergi ke Arab sebagai pekerja kasar, sedangkan mungkin tidak ada warga Arab yang menjadi buruh migran di Indonesia. Banyak pelajar Indonesia ingin menuntut ilmu di luar negeri karena pendidikan di luar negeri dicitrakan lebih baik, sedangkan hal sebaliknya tidak terjadi. Orang-orang luar negeri datang ke Indonesia untuk mempelajari atau ingin mengetahui tentang Indonesia.
Selanjutnya, karena tak mungkin membicarakan sastra eksil di forum yang singkat seperti itu, Katrin memberikan contoh bagaimana membaca karya sastra dengan kacamata pascakolonial; yakni, melihat sejauh mana pengarang sadar akan dan kritis terhadap relasi kekuasaan global. Katrin mengambil Ayat-Ayat Cinta sebagai contoh karya yang mengambil tema Islam di dunia global. Menurut Katrin, dalam Ayat-Ayat Cinta ada suatu kritik terhadap Islamophobia di dunia Barat. Namun, Habiburrahman El Shirazy, pengarang Ayat-Ayat Cinta, menyederhanakan persoalan tersebut dengan memberikan plot yang tidak masuk akal. Misalnya: Fahri dan Alicia bertemu selama 15 menit. Di waktu yang singkat itu, Alicia mempertanyakan posisi perempuan dalam Islam. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Fahri kemudian menulis buku yang isinya bisa membuat Alicia sudah memakai jilbab dalam waktu hanya satu bulan. Di sini, relasi kekuasaan sudah hadir tapi belum digali lebih dalam.
Setelah Katrin menjelaskan makalahnya, sesi tanya jawab dimulai. Pertanyaan pertama datang dari Moh. Iqbal, mahasiswa sejarah 2006 UGM. Dia ingin tahu apakah karya Utuy bisa dijadikan syarat (atau dikategorikan sastra eksil?) menurut esetetika dan bahasa. Penanya, tepatnya pemberi komentar, kedua adalah Chairul Salim. Pertama, Chairul Salim mengomentari bahwa penjelasan Katrin mengenai “eksil” bisa campur aduk dengan “diaspora”, sehingga harus dibuat definisi pasti. Menurut Chairul Salim, ada suatu ciri khas sastra eksil Indonesia yang membedakannya dengan sastra eksil di luar: para sastrawan eksil Indonesia menulis dengan bahasa Indonesia. Pertanyaaan ketiga datang dari Topik, mahasiswa Ilmu Sejarah UGM. Dia ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Si Kabayan karya Utuy, yang pada tahun 1959 diterbitkan oleh Lekra dan pada tahun 1962 dipentaskan oleh Taufik Ismail yang notabene tidak menyukai Lekra. Yang ke empat datang dari Zulnar yang berkomentar bahwa Habiburrahman memang dengan sengaja membuat tokoh utamanya superior karena dia melihat adanya kompleks inferiotas yang dimiliki orang Indonesia.
Katrin mendapat giliran pertama untuk menjawab. Dia setuju dengan pernyataan Chairul Salim tentang perlunya definisi baku tentang apa itu sastra eksil. Katrin juga menambahkan tentang istilah “eksil” di Indonesia yang selalu merujuk kepada korban ‘65 di luar negeri. “Kenapa tidak disebut Pasca-Lekra ‘65? Kenapa Tidak cari istilah keren saja?” tambah Katrin. Mengenai persoalan bahasa, menurutnya hal itu sangat penting. Hampir semua sastrawan eksil Indonesia menulis dengan bahasa yang berbeda dari sastrawan eksil lain. Hal ini kekhasan Indonesia, yakni memiliki Bahasa Indonesia yang menjadi Bahasa Nasionalnya. Pertanyaan yang kemudian muncul perihal bahasa yang dipergunakan ini adalah: “Kepada siapa mereka bicara?” Mereka menulis dalam bahasa Indonesia, tapi pada kenyataannya tidak semua karya mereka dibaca di Indonesia.
Menanggapi pernyataan Zulnar, Katrin berkata bahwa kajian pascakolonial melihat keadaan dunia sebagai akibat dri kolonialisme zaman dulu. Kajian pascakolonial mempertanyakan apakah karya tersebut menyampaikan tentang relasi kekuasaan, mengajak bersikap kritis atau menghilangkan kekritisan itu. Alasan Katrin untuk bilang bahwa AAC tidak masuk akal adalah bahwa dalam novel itu, persoalan besar, yakni Islam dilecehkan Barat, bisa selesai hanya dengan Alicia yang mengenakan jilbab. Padahal di Barat sendiri sejak dulu sudah dibangun wacana tentang Islam sedemikian rupa sehingga sangatlah aneh dan tidak masuk akal apabila ada seorang wanita Barat yang memeluk Islam hanya dalan sebulan. Faktanya, memang banyak orang Barat yang beralih memeluk Islam tapi tidak secepat itu.
Selesai Katrin, Iryan menjawab pertanyaan dari Iqbal. “Masih sulit menilai karya sastra. Saya masih awam sebagai kritikus.” Demikianlah benteng yang dibangun Iryan di awal jawabannya. Iryan memohon maaf kepada Iqbal karena tidak bisa menjawab dan meminta Iqbal mencari jawabannya di Perpus FIB Gajah Mada karena di sana tersedia lengkap karya Utuy. Untuk Chairul Salim, Iryan menyatakan bahwa dia menunggu teoritikus Indonesia untuk mendefinisikan “Sastra Eksil”. Dan untuk Topik, Iryan berkata bahwa sebenarnya dia salah tulis; bukan Si Kabayan yang dipentaskan, tapi Sangkuriang.
Masih ada waktu sebelum jam 5, sesi pertanyaan dibuka kembali. Niam adalah penanya pertama sesi kedua itu. Dia menanyakan bagaimana seni atau sastra dapat memupuk niat kita untuk memunculkan Pram-Pram yang lain. Niam merunut Hersri Setiawan yang pernah mewawancarai semua sastrawan eksil dan mengatakan bahwa Pram itu eksil secara politik. Terakhir, dia juga menyatakan bahwa dia tertipu dengan poster yang Kembang Merak buat. Selanjutnya, pertanyaan terakhir datang dari seorang wanita yang duduk di depan. Dia meminta penjelasan tentang karya sastra eksil Ucuy TS: kesepian apa yang dia rasakan dan adakah hubungannya dengan PD II. Dia juga menyatakan tertarik dengan Anjing dan Rajawali.
Tentang poster, Iryan menanggapi bahwa itu adalah teknik pemasaran. Teknik pemasaran, menurut Iryan, bukan berarti tipu-menipu. Anjing adalah personisifikasi yang dilihat dari orang-orang Tiongkok saat itu. Dan anjing juga bisa berarti ungkapan kekesalan Utuy terhadap orang-orang Tiongkok saat itu. “Saya agak grogi. Cukup itu saja,” kata Iryan untuk menutup penjelasannya.
Mengenai Pram dan eksil, Katrin menyatakan bahwa, “Pram tidak eksil, tapi karyanya yang eksil.” Karya Pram menjadi eksil karena karya Pram lebih dikenal oleh orang luar daripada di negerinya sendiri. Penjelasan dari Katrin itu menjadi penutup diskusi “Ekterioritas Sastra Eksil Pasca-1965”.
“Bagus. Pertanyaan dan pernyataan tadi cukup menjawab pertanyaanku tentang apa itu eksil sebelum mengikuti diskusi ini,”komentar Naz, mahasiswi UGM, salah satu peserta diskusi. Peserta lain, Topik, orang yang saat diskusi sempat menjadi penanya, menyatakan tertarik dengan isi diskusi. Sayangnya, bagi Topik, konteks eksil tidak dibatasi. Topik juga mengomentari moderator diskusi. “Aku tertarik dengan Utuy, tapi sayangnya moderator kurang komunikatif,” ujarnya.
Sumber : http://mediasastra.com/berita/02/03/2011/eksterioritas_sastra_eksil_pasca_1965
Komentar