Oleh Kris Budiman
Sesudah Afrizal Malna, Dorothea Rosa Herliany, dan Joko Pinurbo cenderung menjadi mekanis dengan strategi tekstualnya, nyaris tiada nama penyair tersisa di dalam memori saya yang berkapasitas sangat terbatas ini. Hanya nyaris, sebab setidaknya masih tersimpan samar nama Zeffry J. Alkatiri atau Raudal Tanjung Banua. Bukan berarti puisi tidak lagi ditulis dan dipublikasikan. Di dalam sebuah antologi puisi keroyokan bahkan bisa tercantum ratusan nama penyair! Memang paling malas saya untuk mampir ke ruang puisi yang terselip di suratkabar, namun sesekali saya mendengar juga teman-teman menyebut beberapa nama, meski bagi telinga saya belum terasa familiar. Pastinya, sekarang saya agak kurang gaul dengan para penyair dan perpuisian kontemporer lantaran konsentrasi yang terbelah-belah ke dalam banyak kapling.
Kalau tidak keliru, saya pernah membaca sebuah esai, entah ditulis oleh Jamal D. Rahman atau Nirwan Dewanto (?), yang melontarkan sebuah statement bahwa puisi-puisi kontemporer Indonesia, di satu sisi, masih terjebak di dalam stilistika GM dan Sapardi; sementara, di sisi lain, makin terjatuh ke dalam kategori puisi gelap. Jamal atau Nirwan barangkali tidak persis berkata demikian, tetapi dari pernyataan ini kita bisa menangkap setidaknya dua macam kecenderungan di dalam arus perpuisian saat ini. Kecenderungan pertama mungkin sudah tidak asing lagi, meskipun masih menarik jika dipertanyakan dengan mengapa. Kecenderungan kedua pun patut dipertanyakan dengan kata tanya yang sama: mengapa puisi-puisi itu menjadi gelap? (Apakah ada juga puisi terang-benderang dan remang-remang?) Istilah kocak ini, saya kira, masih bisa diterima sejauh tetap ditempatkan sebagai suatu upaya metaforis untuk mengkonkretkan gejala yang abstrak, untuk membedakan puisi yang berkategori (relatif) mudah, lumayan, dan terlalu sulit untuk dipahami, entah secara intuitif ataupun analitis. Saya akan mencoba memasuki persoalan terakhir ini melalui pintu yang tersedia di hadapan saya, yaitu puisi-puisi Iyut Fitra dan Mashuri.
Tidak sukar untuk menggambarkan dunia imajiner yang tersusun di dalam puisi-puisi Iyut Fitra, Musim Retak (Jakarta: Horison dan Citra Pendidikan Indonesia, 2006). Bayangkan saja sebuah dunia yang gelisah, negeri yang bergelombang (“Telah Kutulis Badai”) dan dewasa dalam bencana (“Senandung dari Sebuah Tanjung”). Sebuah dunia dalam kancah peperangan: serdadu berkeliaran, bedil-bedil, pecahan mortir, bau mesiu dan darah, bau amis, orang-orang saling bunuh, prosesi kematian…; lalu kota-kota terbakar dan meledak, korban-korban, pengungsian, lapar dan prahara. Tanpa perlu mengalami banyak frustrasi, kita bisa membayangkan unsur-unsur dunia imajiner yang mengerikan ini sebagai sebuah situasi, sebuah konteks situasional yang utuh di dalam hampir setiap puisi Iyut. Di dalam dunia fiksional semacam ini kita bakal bertemu pula dengan seorang aku yang bertutur kepada atau bercakap dengan seorang engkau. Kadang sang engkau seolah tidak terlibat di dalamnya, sehingga cenderung memunculkan wacana monologis sang aku; kadang tampak terlibat, entah dalam relasi pronominal aku-engkau ataupun secara inklusif sebagai kita, sehingga wacananya berpotensi (meski tidak niscaya berhasil) dialogis.
EPISODE TRIZIA 2
februari. langit-langit lentur warna. “kasih sayang!”
katamu. di kafe itu angin bertukar-tukar sayup musik
mungkin tentang orang-orang yang kecanduan mengasah bedil
mungkin tentang letusan yang ngiang di pengungsian
di antara cuaca berpasang kasih
aku memberimu bunga
engkau memberiku boneka
dan waktu yang lesat. seterusnya hanya biola menyayat kisah
“tak adakah nyanyian selain perang?” aku tak tahu
apakah engkau yang bertanya, atau gelisah malam kian ke ujung
kemudian kupegang tanganmu yang halus itu. “tak pernah kutunggu
kepedihan, apalagi menyauk darah dari kehancuran!
bukankah negeri ini telah lama sia-sia?”
dan di sebuah lembah penuh batu-batu
angin yang nakal serta hijau yang rimbun
ada villa terhampar sunyi. “maukah engkau tinggal di sini?”
tak tertangkap segeser pun suara. tapi entah berapa lama sesudahnya
aku telah mencium rambutmu
Situasi fiksional lain yang juga kerap dihadirkan, bahkan jalin-menjalin dengan yang pertama, adalah sebuah perjalanan, dengan mengambil latar keruangan yang khas seperti terminal, halte, stasiun, atau pelabuhan. Di lokasi-lokasi transisional inilah aku dan engkau bertemu atau berpisah: di halte. kita ucapkan selamat jalan / pada waktu yang melesat atau diri yang berangkat / kemudian sama-sama menghitung hari / “mari kita kuburkan / sampai dendam pun bermusuh dengan nisan!” (“Catatan dari Halte”). Jadi, meskipun perjalanan tersebut adalah perjalanan yang tak selesai (“Lagu Pagi yang Aneh (8)”), perjalanan yang tak mengajarkan apa-apa, hanya perih (“Stasiun Sudah Sepi”), kejadian-kejadian yang merupakan konsekuensinya tetap perlu dihadirkan: ada kepergian dan kedatangan; ada juga kenangan dan kerinduan. Dalam beberapa teks puisi, situasi terakhir ini betul-betul sudah berbaur dengan situasi sebelumnya: aku berpisah dengan engkau, sementara di sekeliling mereka tengah berlangsung prahara.
SUATU SENJA, ENTAH DI MANA
BERATUS-RATUS HARI SETELAHNYA
– buat, trizia yulanda
(…)
tapi siang kemarin, engkau berangkat juga. mungkin untuk cinta
yang lain. “percayalah, ini hanya deru waktu!”
maka langitlah yang menghantarkan panorama. kanak-kanak menarik
pelatuk. bocah-bocah belajar meletuskan senjata
hingga satu per satu
kembang itu pun
gugur
“jantungku, kembalikan jantungku! bukankah dulu
engkau yang meminjamnya?”
suatu senja, entah di mana, beratus-ratus hari setelahnya
aku masih menunggu. dalam prahara panjang tak terlerai
Kedua situasi di atas memang merupakan dunia yang tercerai(-berai), dalam musim yang retak, tetapi kita tetap bisa membayangkannya dengan relatif mudah sebagai konteks spasio-visual yang utuh. Bahkan aspek-aspek kebahasaan dan kemaknaan yang terbangun di dalam teks-teks puisi Iyut juga menampakkan pola-pola yang kompak, utuh dan padu. Di dalam puisi “Episode Trizia 2” tadi, misalnya, pada tataran leksikal saja sudah tampak kesatuan medan maknanya. Oleh sebab itu, pembaca tidak akan mengalami kendala besar sewaktu beralih dari satu representasi ke dalam representasi lainnya. Proses pembacaan “mimetis” bisa dengan enaknya bergerak ke pembacaan “semiotis”, kalau boleh meminjam konsep analitis dari Riffaterre, tanpa menimbulkan perasaan frustrasi.
Keadaan ini sungguh berbeda dengan teks-teks puisi Mashuri yang dikumpulkan dalam Ngaceng (Lamongan: PUstaka puJAngga, 2007). Meskipun pada dasarnya adalah tipikal penyair yang gemar menulis puisi-puisi cinta romantik (bahkan erotik), sebagaimana juga Iyut, Mashuri menuliskannya dengan teknik berbahasa yang canggih. Di satu sisi, boleh jadi puisi-puisinya sangat menantang bagi pendekatan psikoanalitis dalam kajian sastra lantaran sering munculnya simbol-simbol libidinal dan arketipal di dalamnya. Akan tetapi, di sisi lain, kebanyakan pembaca, yang sehari-hari lebih terbiasa berhadapan dengan kalimat-kalimat prosais, mungkin akan berkali-kali kesandung ketika berupaya memahami puisi-puisi Mashuri. Mengapa begitu? Hal ini bermula dari konteks situasional di dalam puisi-puisinya yang tidak utuh, bahkan komponen-komponennya bisa berloncatan begitu saja dari satu gugus ke gugus lain yang berbeda.
NGACENG
Buat Jane
Seorang perempuan telah menjadi perahu
telah menjadi lautan
dan aku berharap hujan
seperti kemarin
Mungkin hanya sebuah lukisan
lalu memasang nama: Eva
Tapi aku ingat payudara, liang peranakan
lalu gunung-gunung dan sebuah panorama
atau tembang alam
tentang persenggamaan kupu-kupu
Kemudian aku bertanya:
apakah birahi hanya sebuah takwil mimpi
ketika berjalan di ladang
dan tanah-tanah itu berdebu
lalu mengusapnya perlahan
Mungkin jejak itu seperti ibu
menyerahkan tubuh pada anak-anaknya
dan ketaksadaran menjadikan tangan
seperti garpu
Kisah kasih pun berakhir pada ransom itu,*)
tentang burung-burung yang lapar
lalu merapatkan paruhnya pada altar
Berbulu
Seperti juga kematian
semacam pertaruhan terakhir
dari bara yang membakar
tetapi bukan pada pertemuan
atau perjamuan kudus
Mungkin lewat salju itu,
aku dan seorang perempuan
dan sebuah kematian
akan menyisakan kegagalan
orgasme
Karena aku hanya melihat bayang-bayang
tanpa bisa melafalkan
sang maut dan sang yoni
dengan kata yang berarti
“Eva, lihatlah dia”
Selanjutnya, ketika kita mencoba menelusuri aspek kemaknaan, peralihan dari proses membaca yang “mimetis” ke “semiotis” tidak terlalu mudah dilewati lantaran kehadiran konotasi-konotasi dan metafora-metafora yang barangkali sangat bersifat personal atau sulit ditarik konektivitasnya satu sama lain. Coba simak juga tiga sempalan puisi ini: Aku membaca hujan / dengan tafsir anak-anak kita / dengan sebongkah batu bercabang (“Tanda Terakhir dari Hujan, Sebuah Jejak”); Aku menjadi nabi dalam mimpi. Dengan sayap-sayap / hitam / di kamar. Menghujat anak-anak malam / Ketika cahaya hanya sebuah ingatan (“Aku Hanya Sebuah Roman”); serta di sini bulan tak cair, kerna tuhan / tak hadir / hanya remang farji / di lekuk tanah; saat hujan menyiramnya / dan basah (“Lekuk Tanah”). Di samping itu, saya menduga, Mashuri pun adalah tipikal seorang penyair yang sering membiarkan dirinya “ngaceng” dalam pesona bunyi dan rima, sehingga cenderung melupakan aspek-aspek lain, terutama aspek kemaknaannya. Orgasme fonologis ini, antara lain, bisa kita baca pada beberapa puisi, terutama “Doa Teraniaya”, “Immortality, Nonsens, dan Kita”, “Istana Air”, “Burung Petir”, “Liverpool”, “Patung Tanah Terbakar”, serta “Bibir Vertikal”.
Dilihat dari aspek kebahasaan, pola-pola relasi yang tersusun pada beberapa puisi Mashuri, khususnya pada puisi-puisi yang secara tipografis berbentuk “paragraf-paragraf”, banyak bermain-main dengan konstruksi yang kompleks tetapi longgar kadar kohesivitasnya. Kita periksa salah satu contoh: hanya pada langitku yang koyak aku terus tiraskan gerak: doa-doa yang tak henti membuat peta dalam kebisuanmu nan purna dan menjemput kerinduan untuk sesuatu yang bakal tidak sia-sia dan bakal menemukanmu di ujung dunia sana sebagai pemimpi luka (“Kutunggu Suaramu”). Petikan ini sebetulnya hanya tersusun dari satu kalimat tunggal, namun konstruksi klausa yang menjadi buntutnya betapa panjang. Tidak gampang menarik kaitan formal di antara bagian sebelum dan setelah titik-dua. Pun tidak mudah menyusuri unsur-unsur klausa yang dihubungkan oleh dan sampai dua kali itu. Boleh diperiksa pula puisi-puisi yang berjudul “Karnaval Ajal”, “Kepompong Gosong”, atau “Imaji Bidadari”. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, terciptalah sudah serangkaian “puisi yang mendaki sunyi ke ruang tak terpahami” (dikutip dari “Imaji Bidadari”).
Kecanggihan ini masih belum selesai lantaran kesukaan Mashuri akan diksi yang arkais (takwil, diwana, sawab, muntab, burdah, merumrum, carang, rumpang, diserih, semenjana, beruh, dan masih banyak lagi) serta nomina-nomina abstrak (ketaksadaran, kesadaran, kemurnian, kesucian, kepalsuan, kekosongan, kehampaan, ketiadaan, kekekalan, kesementaraan, keterasingan, kesendirian, keseluruhan, pencerahan, rasionalitas, bahkan sorga kaum puritan). Pilihan kata ini bisa kita bandingkan dengan Iyut yang juga sekali-sekali menyisipkan nomina abstrak di dalam puisi-puisinya, namun tidak terlalu bikin pusing. Beberapa di antaranya yang sempat tercatat pada Iyut adalah ketiadaan, kejujuran, keabadian, pengkhianatan, kedengkian, kekuasaan, kedamaian, ketidakjujuran, kesetiaan. Berkaitan dengan diksi puitik semacam ini, saya tiba-tiba kembali teringat akan pernyataan Viktor Shklovsky, “art exists to help us recover the sensation of life; it exists to make us feel things, to make the stone stony.” Pernyataan ini, kiranya, berlaku terutama bagi puisi. Lalu, bagaimana pembaca bisa merasakan batu dalam ke-batu-annya apabila teks puitik menjadi seabstrak teks diskursif?
Walau demikian, kita tidak perlu tegang terus. Tipe pembaca yang malas seperti saya pun bahkan masih bisa mengendurkan kerut-merut di dahi karena ternyata tidak semua puisi Mashuri bersetia dengan kecanggihan tekstual. Beberapa di antaranya bahkan ringkas-padat aspek kebahasaannya, jernih aspek kemaknaannya, bahkan amat terjaga konstruk situasionalnya. Saya sarankan untuk tidak melewatkan begitu saja puisi-puisi yang bertajuk “Alamat”, “Bunga di Langit-Langit Kamar”, “Sepia”, “Soliloqui Laut”, “Menatap Hujan”, atau “Biografi yang Hilang”. Teks-teks yang disebut terakhir ini tentu saja tidak bisa kita kategorikan sebagai puisi-puisi gelap. Karena keutuhan formal dan kesatuan maknanya tetap terpelihara, puisi-puisi ini tampaknya telah mencapai suatu kondisi yang dinamakan oleh Riffaterre sebagai monumentalitas.
Akhirnya, puisi Mashuri berikut mungkin dapat menjadi penutup yang manis.
TINTA HABIS KETIKA MENULIS
kau datang dan berkabar:
“tintaku habis ketika aku sedang menulis”
aku pandangi matamu, jauh
ke retina, bahkan sampai seberang sana
tapi aku tak menemukan apa-apa
tak ada gemuruh, tak ada riuh
tak ada tangis yang harus digerimiskan
lewat magis-kata, lewat ukiran-ukiran pikiran
aku pun bertanya:
“apa yang kau tulis dari hidupmu tak luka”
kau diam
tapi matamu mengawan
seperti elang yang sedang mencari-cari
sisa bulu kutilang terbang
*) Apakah ransom dalam teks ini dipinjam dari bahasa Inggris atau hanya varian dari ransum atau rangsum dalam bahasa Indonesia (bdk. rangsum pada “Liverpool” dan “Ciuman Musim Panas”)?
NB : tiba-tiba saya menemukan esai Kris Budiman yang ini di laman facebook. daripada esai ini mubazir, lebih baik saya simpan di laman blog kelam nan seram ini. siapa tahu suatu ketika akan berguna bagi saya, anda, dan sekalian penikmat sastra di Indonesia! amien...
Sesudah Afrizal Malna, Dorothea Rosa Herliany, dan Joko Pinurbo cenderung menjadi mekanis dengan strategi tekstualnya, nyaris tiada nama penyair tersisa di dalam memori saya yang berkapasitas sangat terbatas ini. Hanya nyaris, sebab setidaknya masih tersimpan samar nama Zeffry J. Alkatiri atau Raudal Tanjung Banua. Bukan berarti puisi tidak lagi ditulis dan dipublikasikan. Di dalam sebuah antologi puisi keroyokan bahkan bisa tercantum ratusan nama penyair! Memang paling malas saya untuk mampir ke ruang puisi yang terselip di suratkabar, namun sesekali saya mendengar juga teman-teman menyebut beberapa nama, meski bagi telinga saya belum terasa familiar. Pastinya, sekarang saya agak kurang gaul dengan para penyair dan perpuisian kontemporer lantaran konsentrasi yang terbelah-belah ke dalam banyak kapling.
Kalau tidak keliru, saya pernah membaca sebuah esai, entah ditulis oleh Jamal D. Rahman atau Nirwan Dewanto (?), yang melontarkan sebuah statement bahwa puisi-puisi kontemporer Indonesia, di satu sisi, masih terjebak di dalam stilistika GM dan Sapardi; sementara, di sisi lain, makin terjatuh ke dalam kategori puisi gelap. Jamal atau Nirwan barangkali tidak persis berkata demikian, tetapi dari pernyataan ini kita bisa menangkap setidaknya dua macam kecenderungan di dalam arus perpuisian saat ini. Kecenderungan pertama mungkin sudah tidak asing lagi, meskipun masih menarik jika dipertanyakan dengan mengapa. Kecenderungan kedua pun patut dipertanyakan dengan kata tanya yang sama: mengapa puisi-puisi itu menjadi gelap? (Apakah ada juga puisi terang-benderang dan remang-remang?) Istilah kocak ini, saya kira, masih bisa diterima sejauh tetap ditempatkan sebagai suatu upaya metaforis untuk mengkonkretkan gejala yang abstrak, untuk membedakan puisi yang berkategori (relatif) mudah, lumayan, dan terlalu sulit untuk dipahami, entah secara intuitif ataupun analitis. Saya akan mencoba memasuki persoalan terakhir ini melalui pintu yang tersedia di hadapan saya, yaitu puisi-puisi Iyut Fitra dan Mashuri.
Tidak sukar untuk menggambarkan dunia imajiner yang tersusun di dalam puisi-puisi Iyut Fitra, Musim Retak (Jakarta: Horison dan Citra Pendidikan Indonesia, 2006). Bayangkan saja sebuah dunia yang gelisah, negeri yang bergelombang (“Telah Kutulis Badai”) dan dewasa dalam bencana (“Senandung dari Sebuah Tanjung”). Sebuah dunia dalam kancah peperangan: serdadu berkeliaran, bedil-bedil, pecahan mortir, bau mesiu dan darah, bau amis, orang-orang saling bunuh, prosesi kematian…; lalu kota-kota terbakar dan meledak, korban-korban, pengungsian, lapar dan prahara. Tanpa perlu mengalami banyak frustrasi, kita bisa membayangkan unsur-unsur dunia imajiner yang mengerikan ini sebagai sebuah situasi, sebuah konteks situasional yang utuh di dalam hampir setiap puisi Iyut. Di dalam dunia fiksional semacam ini kita bakal bertemu pula dengan seorang aku yang bertutur kepada atau bercakap dengan seorang engkau. Kadang sang engkau seolah tidak terlibat di dalamnya, sehingga cenderung memunculkan wacana monologis sang aku; kadang tampak terlibat, entah dalam relasi pronominal aku-engkau ataupun secara inklusif sebagai kita, sehingga wacananya berpotensi (meski tidak niscaya berhasil) dialogis.
EPISODE TRIZIA 2
februari. langit-langit lentur warna. “kasih sayang!”
katamu. di kafe itu angin bertukar-tukar sayup musik
mungkin tentang orang-orang yang kecanduan mengasah bedil
mungkin tentang letusan yang ngiang di pengungsian
di antara cuaca berpasang kasih
aku memberimu bunga
engkau memberiku boneka
dan waktu yang lesat. seterusnya hanya biola menyayat kisah
“tak adakah nyanyian selain perang?” aku tak tahu
apakah engkau yang bertanya, atau gelisah malam kian ke ujung
kemudian kupegang tanganmu yang halus itu. “tak pernah kutunggu
kepedihan, apalagi menyauk darah dari kehancuran!
bukankah negeri ini telah lama sia-sia?”
dan di sebuah lembah penuh batu-batu
angin yang nakal serta hijau yang rimbun
ada villa terhampar sunyi. “maukah engkau tinggal di sini?”
tak tertangkap segeser pun suara. tapi entah berapa lama sesudahnya
aku telah mencium rambutmu
Situasi fiksional lain yang juga kerap dihadirkan, bahkan jalin-menjalin dengan yang pertama, adalah sebuah perjalanan, dengan mengambil latar keruangan yang khas seperti terminal, halte, stasiun, atau pelabuhan. Di lokasi-lokasi transisional inilah aku dan engkau bertemu atau berpisah: di halte. kita ucapkan selamat jalan / pada waktu yang melesat atau diri yang berangkat / kemudian sama-sama menghitung hari / “mari kita kuburkan / sampai dendam pun bermusuh dengan nisan!” (“Catatan dari Halte”). Jadi, meskipun perjalanan tersebut adalah perjalanan yang tak selesai (“Lagu Pagi yang Aneh (8)”), perjalanan yang tak mengajarkan apa-apa, hanya perih (“Stasiun Sudah Sepi”), kejadian-kejadian yang merupakan konsekuensinya tetap perlu dihadirkan: ada kepergian dan kedatangan; ada juga kenangan dan kerinduan. Dalam beberapa teks puisi, situasi terakhir ini betul-betul sudah berbaur dengan situasi sebelumnya: aku berpisah dengan engkau, sementara di sekeliling mereka tengah berlangsung prahara.
SUATU SENJA, ENTAH DI MANA
BERATUS-RATUS HARI SETELAHNYA
– buat, trizia yulanda
(…)
tapi siang kemarin, engkau berangkat juga. mungkin untuk cinta
yang lain. “percayalah, ini hanya deru waktu!”
maka langitlah yang menghantarkan panorama. kanak-kanak menarik
pelatuk. bocah-bocah belajar meletuskan senjata
hingga satu per satu
kembang itu pun
gugur
“jantungku, kembalikan jantungku! bukankah dulu
engkau yang meminjamnya?”
suatu senja, entah di mana, beratus-ratus hari setelahnya
aku masih menunggu. dalam prahara panjang tak terlerai
Kedua situasi di atas memang merupakan dunia yang tercerai(-berai), dalam musim yang retak, tetapi kita tetap bisa membayangkannya dengan relatif mudah sebagai konteks spasio-visual yang utuh. Bahkan aspek-aspek kebahasaan dan kemaknaan yang terbangun di dalam teks-teks puisi Iyut juga menampakkan pola-pola yang kompak, utuh dan padu. Di dalam puisi “Episode Trizia 2” tadi, misalnya, pada tataran leksikal saja sudah tampak kesatuan medan maknanya. Oleh sebab itu, pembaca tidak akan mengalami kendala besar sewaktu beralih dari satu representasi ke dalam representasi lainnya. Proses pembacaan “mimetis” bisa dengan enaknya bergerak ke pembacaan “semiotis”, kalau boleh meminjam konsep analitis dari Riffaterre, tanpa menimbulkan perasaan frustrasi.
Keadaan ini sungguh berbeda dengan teks-teks puisi Mashuri yang dikumpulkan dalam Ngaceng (Lamongan: PUstaka puJAngga, 2007). Meskipun pada dasarnya adalah tipikal penyair yang gemar menulis puisi-puisi cinta romantik (bahkan erotik), sebagaimana juga Iyut, Mashuri menuliskannya dengan teknik berbahasa yang canggih. Di satu sisi, boleh jadi puisi-puisinya sangat menantang bagi pendekatan psikoanalitis dalam kajian sastra lantaran sering munculnya simbol-simbol libidinal dan arketipal di dalamnya. Akan tetapi, di sisi lain, kebanyakan pembaca, yang sehari-hari lebih terbiasa berhadapan dengan kalimat-kalimat prosais, mungkin akan berkali-kali kesandung ketika berupaya memahami puisi-puisi Mashuri. Mengapa begitu? Hal ini bermula dari konteks situasional di dalam puisi-puisinya yang tidak utuh, bahkan komponen-komponennya bisa berloncatan begitu saja dari satu gugus ke gugus lain yang berbeda.
NGACENG
Buat Jane
Seorang perempuan telah menjadi perahu
telah menjadi lautan
dan aku berharap hujan
seperti kemarin
Mungkin hanya sebuah lukisan
lalu memasang nama: Eva
Tapi aku ingat payudara, liang peranakan
lalu gunung-gunung dan sebuah panorama
atau tembang alam
tentang persenggamaan kupu-kupu
Kemudian aku bertanya:
apakah birahi hanya sebuah takwil mimpi
ketika berjalan di ladang
dan tanah-tanah itu berdebu
lalu mengusapnya perlahan
Mungkin jejak itu seperti ibu
menyerahkan tubuh pada anak-anaknya
dan ketaksadaran menjadikan tangan
seperti garpu
Kisah kasih pun berakhir pada ransom itu,*)
tentang burung-burung yang lapar
lalu merapatkan paruhnya pada altar
Berbulu
Seperti juga kematian
semacam pertaruhan terakhir
dari bara yang membakar
tetapi bukan pada pertemuan
atau perjamuan kudus
Mungkin lewat salju itu,
aku dan seorang perempuan
dan sebuah kematian
akan menyisakan kegagalan
orgasme
Karena aku hanya melihat bayang-bayang
tanpa bisa melafalkan
sang maut dan sang yoni
dengan kata yang berarti
“Eva, lihatlah dia”
Selanjutnya, ketika kita mencoba menelusuri aspek kemaknaan, peralihan dari proses membaca yang “mimetis” ke “semiotis” tidak terlalu mudah dilewati lantaran kehadiran konotasi-konotasi dan metafora-metafora yang barangkali sangat bersifat personal atau sulit ditarik konektivitasnya satu sama lain. Coba simak juga tiga sempalan puisi ini: Aku membaca hujan / dengan tafsir anak-anak kita / dengan sebongkah batu bercabang (“Tanda Terakhir dari Hujan, Sebuah Jejak”); Aku menjadi nabi dalam mimpi. Dengan sayap-sayap / hitam / di kamar. Menghujat anak-anak malam / Ketika cahaya hanya sebuah ingatan (“Aku Hanya Sebuah Roman”); serta di sini bulan tak cair, kerna tuhan / tak hadir / hanya remang farji / di lekuk tanah; saat hujan menyiramnya / dan basah (“Lekuk Tanah”). Di samping itu, saya menduga, Mashuri pun adalah tipikal seorang penyair yang sering membiarkan dirinya “ngaceng” dalam pesona bunyi dan rima, sehingga cenderung melupakan aspek-aspek lain, terutama aspek kemaknaannya. Orgasme fonologis ini, antara lain, bisa kita baca pada beberapa puisi, terutama “Doa Teraniaya”, “Immortality, Nonsens, dan Kita”, “Istana Air”, “Burung Petir”, “Liverpool”, “Patung Tanah Terbakar”, serta “Bibir Vertikal”.
Dilihat dari aspek kebahasaan, pola-pola relasi yang tersusun pada beberapa puisi Mashuri, khususnya pada puisi-puisi yang secara tipografis berbentuk “paragraf-paragraf”, banyak bermain-main dengan konstruksi yang kompleks tetapi longgar kadar kohesivitasnya. Kita periksa salah satu contoh: hanya pada langitku yang koyak aku terus tiraskan gerak: doa-doa yang tak henti membuat peta dalam kebisuanmu nan purna dan menjemput kerinduan untuk sesuatu yang bakal tidak sia-sia dan bakal menemukanmu di ujung dunia sana sebagai pemimpi luka (“Kutunggu Suaramu”). Petikan ini sebetulnya hanya tersusun dari satu kalimat tunggal, namun konstruksi klausa yang menjadi buntutnya betapa panjang. Tidak gampang menarik kaitan formal di antara bagian sebelum dan setelah titik-dua. Pun tidak mudah menyusuri unsur-unsur klausa yang dihubungkan oleh dan sampai dua kali itu. Boleh diperiksa pula puisi-puisi yang berjudul “Karnaval Ajal”, “Kepompong Gosong”, atau “Imaji Bidadari”. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, terciptalah sudah serangkaian “puisi yang mendaki sunyi ke ruang tak terpahami” (dikutip dari “Imaji Bidadari”).
Kecanggihan ini masih belum selesai lantaran kesukaan Mashuri akan diksi yang arkais (takwil, diwana, sawab, muntab, burdah, merumrum, carang, rumpang, diserih, semenjana, beruh, dan masih banyak lagi) serta nomina-nomina abstrak (ketaksadaran, kesadaran, kemurnian, kesucian, kepalsuan, kekosongan, kehampaan, ketiadaan, kekekalan, kesementaraan, keterasingan, kesendirian, keseluruhan, pencerahan, rasionalitas, bahkan sorga kaum puritan). Pilihan kata ini bisa kita bandingkan dengan Iyut yang juga sekali-sekali menyisipkan nomina abstrak di dalam puisi-puisinya, namun tidak terlalu bikin pusing. Beberapa di antaranya yang sempat tercatat pada Iyut adalah ketiadaan, kejujuran, keabadian, pengkhianatan, kedengkian, kekuasaan, kedamaian, ketidakjujuran, kesetiaan. Berkaitan dengan diksi puitik semacam ini, saya tiba-tiba kembali teringat akan pernyataan Viktor Shklovsky, “art exists to help us recover the sensation of life; it exists to make us feel things, to make the stone stony.” Pernyataan ini, kiranya, berlaku terutama bagi puisi. Lalu, bagaimana pembaca bisa merasakan batu dalam ke-batu-annya apabila teks puitik menjadi seabstrak teks diskursif?
Walau demikian, kita tidak perlu tegang terus. Tipe pembaca yang malas seperti saya pun bahkan masih bisa mengendurkan kerut-merut di dahi karena ternyata tidak semua puisi Mashuri bersetia dengan kecanggihan tekstual. Beberapa di antaranya bahkan ringkas-padat aspek kebahasaannya, jernih aspek kemaknaannya, bahkan amat terjaga konstruk situasionalnya. Saya sarankan untuk tidak melewatkan begitu saja puisi-puisi yang bertajuk “Alamat”, “Bunga di Langit-Langit Kamar”, “Sepia”, “Soliloqui Laut”, “Menatap Hujan”, atau “Biografi yang Hilang”. Teks-teks yang disebut terakhir ini tentu saja tidak bisa kita kategorikan sebagai puisi-puisi gelap. Karena keutuhan formal dan kesatuan maknanya tetap terpelihara, puisi-puisi ini tampaknya telah mencapai suatu kondisi yang dinamakan oleh Riffaterre sebagai monumentalitas.
Akhirnya, puisi Mashuri berikut mungkin dapat menjadi penutup yang manis.
TINTA HABIS KETIKA MENULIS
kau datang dan berkabar:
“tintaku habis ketika aku sedang menulis”
aku pandangi matamu, jauh
ke retina, bahkan sampai seberang sana
tapi aku tak menemukan apa-apa
tak ada gemuruh, tak ada riuh
tak ada tangis yang harus digerimiskan
lewat magis-kata, lewat ukiran-ukiran pikiran
aku pun bertanya:
“apa yang kau tulis dari hidupmu tak luka”
kau diam
tapi matamu mengawan
seperti elang yang sedang mencari-cari
sisa bulu kutilang terbang
*) Apakah ransom dalam teks ini dipinjam dari bahasa Inggris atau hanya varian dari ransum atau rangsum dalam bahasa Indonesia (bdk. rangsum pada “Liverpool” dan “Ciuman Musim Panas”)?
NB : tiba-tiba saya menemukan esai Kris Budiman yang ini di laman facebook. daripada esai ini mubazir, lebih baik saya simpan di laman blog kelam nan seram ini. siapa tahu suatu ketika akan berguna bagi saya, anda, dan sekalian penikmat sastra di Indonesia! amien...
Komentar