-- Beni Setia
Jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.
MEMAHAMI kasus Dadang Ari Murtono, cerpenis Jawa Timur, yang pada catur wulan akhir 2010 dan awal 2011 sangat produktif mempublikasikan karya di beberapa media massa cetak nasional dan lokal, bermakna belajar memahami "sihir psikologi" dari kepuasan melihat karya terpampang di halaman koran dan majalah. Sesuatu yang membuat seorang cerpenis kesohor pun terpukau dibandingkan dengan hanya melihat manuskrip tulis yang belum dipublikasikan, atau hanya terpampang di blog.
Jarak di antaranya itu yang disebut Budi Darma, di forum TSI 2010 di Tanjungpinang, sebagai laku kritik redaksional (redaktur) media massa yang tersembunyi tak pernah berterang mengumumkan kriterianya—generasi 1980, dengan mengutip Paulo Freire menyebutnya sebagai "kritik bisu", dan Saut Situmorang menyebutnya sebagai politik sastra. Ketika sebuah cerpen dari sekian cerpen yang ditulis dan ditawarkan ke media massa di-acc serta terpampang di halamannya, maka sihir kemenangan di satu sisi, dan sukses penaklukan kriteria redaksional membubung. Bahkan terkadang menjadi kebanggaan legitimatif karena dimuat di koran X atau majalah Z dan bukan yang lain.
Celakanya, kebanggaan itu terkadang ditempelak yang lain sebagai kebetulan—mengutip tetangga Jawa saya—salah mangsa, tak berkompetisi ketat karena pada saat bersamaan tidak ada naskah yang baik untuk pembanding komparatif. Sebab itu, satu pemuatan mendorong melakukan penulisan berikut, serta sekaligus syahwat pemuatan berikut, untuk membuktikan yang pertama bukan kebetulan dan yang berikutnya akan menunjukkan kekhasan si bersangkutan—
karena itu itu menjadi ikon khazanah sastra mutakhir. Itu yang barangkali mendorong Dadang Ari Murtono tak hanya kreatif dan produktif menulis, tetapi ingin lebih sering dan beruntun (karya) terpublikasikan.
Ilusi yang diikuti dengan membuta, terutama saat cerpen Lelaki Sepi Kompas, (14-10-2010) membuat beberapa kawan di Jawa Timur terperangah dan bangga punya cerpenis unggulan masa depan. Sementara cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang lebih dulu terbit di Lampung Post justru memberi indikasi lain: ada bagian yang mirip teks cerpen Akutagawa—yang berasal dari satu cerita lisan di Jepang, yang juga mengilhami film Kurusawa. Di titik ini kita dipaksa berhati-hati dengan menyebutkan: Dadang melakukan kutipan tapi lupa etika menuliskan "dari mana kutipan itu berasal" di catatan kaki. Selain: apa ada upaya sadar melakukan deformasi serta dekonstruksi (teks) yang menyebabkan bisa dianggap karya sendiri—seperti si pelukis menggambar (ulang) Monalisa atau kaleng Coca Cola dengan teknik penggambaran ulang berbeda.
Sayangnya "pembenaran" itu dimentahkan oleh fakta, cerpen itu dimuat (lagi) di Kompas, yang menimbulkan ledakan kemarahan akan ketidakdisiplinan menawarkan satu cerpen ke satu media massa. Meskipun mungkin cerpen itu tertahan lama, kemudian ditawarkan ke media massa lain—masalah teknis. Tapi yang menohok, menelanjangi pola kreasi Dadang di satu sisi dan syahwat karya dimuat di media berwibawa di sisi lain, justru kasus cerpen Para Penutur Akutagawa Horison, Januari 2011. Sebuah cerpen yang jelas merupakan pengetikan ulang dari bagian novelet Kappa, karena itu S. Joga mengatakan Dadang hanya tukang ketik, sambil menghadirkan cerpen Dadang dan penggalan novelet Kappa dalam blog-nya.
Fenomena yang menunjukkan kala produktivitas menulis (cerpen) itu tidak pernah berbanding lurus dengan kreativitas dan orsinilitas (karya) yang menghasilkan tulisan yang diakui bermutu media massa cetak—dipampangkan di halaman seni-budayanya. Kreativitas itu satu hal, kadang berada di luar produktivitas, sedang orisinilitas selalu sulit diperoleh meski tiap pengarang selalu berusaha untuk tidak menulis dengan tata kalimat dan gaya yang sama ketika menuliskan topik yang sama. Ketaksadaran akan kodrat alamiah itu menyebabkan pengarang terjebak syahwat dimuat dan ada mau lagi dimuat agar mendapatkan legitimasi yang kukuh. Padahal setiap ilham dan setiap ujud teks orsinil itu tidak melulu milik si pengarang tapi milik mutlak Allah swt., dan jadi sesuatu yang diwangsitkan sebagai berkah dan kemurahan.
Berdimensi rahasia ilahiah, karena itu banyak cerpenis yang berbakat tetapi cuma menghasilkan beberapa karya. Seperti cerpenis Jawa Timur yang lain, Sony Karsono, yang dua dekade sebelumnya menunjukkan teknik dan cara bercerita yang orsinil, tapi setelah beberapa cerpen tidak terlihat memaksakan diri untuk menulis cerpen lagi. Ia merasa gagal, tak punya bakat menulis cerpen lagi, meski ia secara intelektual sangat gemilang dengan meneruskan potensi akademiknya di bidang psikologi—ia mendapat beasiswa, kuliah di Amerika Serikat, dan menulis disertertasi tentang sikap batin wong Jawa. Itu jalan lurus dari kesadaran akan keterbatasan, sekaligus mengembangkan apa yang lebih nyata dari anugerahkan Allah swt.
Hal yang sebenarnya dengan sangat halus disampaikan R. Giryadi pada Dadang, agar tak tergoda ilusi over produktif—sekaligus terjebak syahwat selalu terpampang di lembaran media massa cetak. Bersabar meniti tahap demi tahap kematangan. Karena tudingan bahwa karya plagiat atau menelad karya lain bahkan bisa jadi cambuk untuk maju, dengan lebih kreatif dan orsinil menulis. Di 1954, cerpen Ajip Rosidi, Malam Jika Tiba dan Perjanjian dengan Maut dianggap meniru cerpen Stepen Vinet Benet, sedang Perhitungan dengan Diri Sendiri dituduh meniru cerpen Maxim Gorki. Ajip Rosidi bereaksi secara khas: ia tidak mempercayai lagi fantasi dan menulis cerpen dan novel berdasar pengalaman autobiografik yang unik serta personal—kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, misalnya.
Atau sastrawan Sunda Godi Suwarna, yang di dekade 1980 cerpen pertamanya tembus Kompas, dan lalu dianggap curian dari penggalan novel S. Sinansari Ecip, Kursi Pemilu, karena itu di-blacklist. Ia lari ke sastra Sunda, dan jadi si salah satu sastrawan kontemporer Sunda terkuat, yang puisi, cerpen, sereta novelnya diakui paten. Dengan kata lain, jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal. n
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011
Jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.
MEMAHAMI kasus Dadang Ari Murtono, cerpenis Jawa Timur, yang pada catur wulan akhir 2010 dan awal 2011 sangat produktif mempublikasikan karya di beberapa media massa cetak nasional dan lokal, bermakna belajar memahami "sihir psikologi" dari kepuasan melihat karya terpampang di halaman koran dan majalah. Sesuatu yang membuat seorang cerpenis kesohor pun terpukau dibandingkan dengan hanya melihat manuskrip tulis yang belum dipublikasikan, atau hanya terpampang di blog.
Jarak di antaranya itu yang disebut Budi Darma, di forum TSI 2010 di Tanjungpinang, sebagai laku kritik redaksional (redaktur) media massa yang tersembunyi tak pernah berterang mengumumkan kriterianya—generasi 1980, dengan mengutip Paulo Freire menyebutnya sebagai "kritik bisu", dan Saut Situmorang menyebutnya sebagai politik sastra. Ketika sebuah cerpen dari sekian cerpen yang ditulis dan ditawarkan ke media massa di-acc serta terpampang di halamannya, maka sihir kemenangan di satu sisi, dan sukses penaklukan kriteria redaksional membubung. Bahkan terkadang menjadi kebanggaan legitimatif karena dimuat di koran X atau majalah Z dan bukan yang lain.
Celakanya, kebanggaan itu terkadang ditempelak yang lain sebagai kebetulan—mengutip tetangga Jawa saya—salah mangsa, tak berkompetisi ketat karena pada saat bersamaan tidak ada naskah yang baik untuk pembanding komparatif. Sebab itu, satu pemuatan mendorong melakukan penulisan berikut, serta sekaligus syahwat pemuatan berikut, untuk membuktikan yang pertama bukan kebetulan dan yang berikutnya akan menunjukkan kekhasan si bersangkutan—
karena itu itu menjadi ikon khazanah sastra mutakhir. Itu yang barangkali mendorong Dadang Ari Murtono tak hanya kreatif dan produktif menulis, tetapi ingin lebih sering dan beruntun (karya) terpublikasikan.
Ilusi yang diikuti dengan membuta, terutama saat cerpen Lelaki Sepi Kompas, (14-10-2010) membuat beberapa kawan di Jawa Timur terperangah dan bangga punya cerpenis unggulan masa depan. Sementara cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang lebih dulu terbit di Lampung Post justru memberi indikasi lain: ada bagian yang mirip teks cerpen Akutagawa—yang berasal dari satu cerita lisan di Jepang, yang juga mengilhami film Kurusawa. Di titik ini kita dipaksa berhati-hati dengan menyebutkan: Dadang melakukan kutipan tapi lupa etika menuliskan "dari mana kutipan itu berasal" di catatan kaki. Selain: apa ada upaya sadar melakukan deformasi serta dekonstruksi (teks) yang menyebabkan bisa dianggap karya sendiri—seperti si pelukis menggambar (ulang) Monalisa atau kaleng Coca Cola dengan teknik penggambaran ulang berbeda.
Sayangnya "pembenaran" itu dimentahkan oleh fakta, cerpen itu dimuat (lagi) di Kompas, yang menimbulkan ledakan kemarahan akan ketidakdisiplinan menawarkan satu cerpen ke satu media massa. Meskipun mungkin cerpen itu tertahan lama, kemudian ditawarkan ke media massa lain—masalah teknis. Tapi yang menohok, menelanjangi pola kreasi Dadang di satu sisi dan syahwat karya dimuat di media berwibawa di sisi lain, justru kasus cerpen Para Penutur Akutagawa Horison, Januari 2011. Sebuah cerpen yang jelas merupakan pengetikan ulang dari bagian novelet Kappa, karena itu S. Joga mengatakan Dadang hanya tukang ketik, sambil menghadirkan cerpen Dadang dan penggalan novelet Kappa dalam blog-nya.
Fenomena yang menunjukkan kala produktivitas menulis (cerpen) itu tidak pernah berbanding lurus dengan kreativitas dan orsinilitas (karya) yang menghasilkan tulisan yang diakui bermutu media massa cetak—dipampangkan di halaman seni-budayanya. Kreativitas itu satu hal, kadang berada di luar produktivitas, sedang orisinilitas selalu sulit diperoleh meski tiap pengarang selalu berusaha untuk tidak menulis dengan tata kalimat dan gaya yang sama ketika menuliskan topik yang sama. Ketaksadaran akan kodrat alamiah itu menyebabkan pengarang terjebak syahwat dimuat dan ada mau lagi dimuat agar mendapatkan legitimasi yang kukuh. Padahal setiap ilham dan setiap ujud teks orsinil itu tidak melulu milik si pengarang tapi milik mutlak Allah swt., dan jadi sesuatu yang diwangsitkan sebagai berkah dan kemurahan.
Berdimensi rahasia ilahiah, karena itu banyak cerpenis yang berbakat tetapi cuma menghasilkan beberapa karya. Seperti cerpenis Jawa Timur yang lain, Sony Karsono, yang dua dekade sebelumnya menunjukkan teknik dan cara bercerita yang orsinil, tapi setelah beberapa cerpen tidak terlihat memaksakan diri untuk menulis cerpen lagi. Ia merasa gagal, tak punya bakat menulis cerpen lagi, meski ia secara intelektual sangat gemilang dengan meneruskan potensi akademiknya di bidang psikologi—ia mendapat beasiswa, kuliah di Amerika Serikat, dan menulis disertertasi tentang sikap batin wong Jawa. Itu jalan lurus dari kesadaran akan keterbatasan, sekaligus mengembangkan apa yang lebih nyata dari anugerahkan Allah swt.
Hal yang sebenarnya dengan sangat halus disampaikan R. Giryadi pada Dadang, agar tak tergoda ilusi over produktif—sekaligus terjebak syahwat selalu terpampang di lembaran media massa cetak. Bersabar meniti tahap demi tahap kematangan. Karena tudingan bahwa karya plagiat atau menelad karya lain bahkan bisa jadi cambuk untuk maju, dengan lebih kreatif dan orsinil menulis. Di 1954, cerpen Ajip Rosidi, Malam Jika Tiba dan Perjanjian dengan Maut dianggap meniru cerpen Stepen Vinet Benet, sedang Perhitungan dengan Diri Sendiri dituduh meniru cerpen Maxim Gorki. Ajip Rosidi bereaksi secara khas: ia tidak mempercayai lagi fantasi dan menulis cerpen dan novel berdasar pengalaman autobiografik yang unik serta personal—kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, misalnya.
Atau sastrawan Sunda Godi Suwarna, yang di dekade 1980 cerpen pertamanya tembus Kompas, dan lalu dianggap curian dari penggalan novel S. Sinansari Ecip, Kursi Pemilu, karena itu di-blacklist. Ia lari ke sastra Sunda, dan jadi si salah satu sastrawan kontemporer Sunda terkuat, yang puisi, cerpen, sereta novelnya diakui paten. Dengan kata lain, jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal. n
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011
Komentar