Musa 1
di penghujung desember, kita tak hanya mencatat jejak luka
kelahiran di sebuah jazirah: ---di mana gembala memungut tanda
dari rasi ajaib di angkasa, bukan fatamorgana di gelap cakrawala,
dan doma-domba berlomba memasu oase cahya; ---ketika jabang
terlontar dari rahim, yatim, tapi membangkitkan sejuta harapan
perihal penyucian dan penebusan dosa darah…
dengan doa: elli, elli lama sabakhtani…
kita juga mencatat luka abadi, luka kekal yang
disemai oleh mimpi purba, luka yang kembali nganga
dan terus lurus menembus pusar januari, perihal tanah terjanji
yang tergurat di papirus tua, sepetak tanah suci
yang terus berapi dan diairi dengan darah
ia seperti bara yang telah mengeringkan doa sepanjang masa
dan membuat kita bertanya: “berapa juta lagi nyawa yang harus
jadi tumbal dan berdarah, agar dendam itu tanggal dari sejarah
sejak pijar Sinar membakar punggung tursina”
Surabaya, 2009
Musa 2
ketika bebayi laki dibinasa, di tepi nil, terdengar suara resah dan gigil; tak ada yang bisa mengukur seberapa dalam cemas itu menikam
batas batin, kecuali ibu yang tak ingin darah-dagingnya tenggelam
dalam arus liar yang memusar: arus yang berkumpar dari mimpi
raja ingkar, juga arus sungai yang melingkar-lingkar seperti ular
tapi sedetik itu, terdengar bisik dari gelap kalbu: ‘andai pelarunganku selamat,
andai ia hanyut dan tamat, andai ia sekarat sungguhkah riwayat
hanya saat…’
Surabaya, 2009
Musa 3
hikayat yang terkabar padaku begitu cacat; tak ada piramida, tak ada huruf paku, juga tak ada perempuan dengan kemolekan abadi; ia datang kepadaku bagai deru dengan debu beterbangan dari padang tandus hatiku; tapi di sebuah bukit, aku telah mencatat sebuah jejak langit; ada nama di situ yang tergurat di antara reruntuh batu, ada keraguan yang terselip di antara kaktus dan rumput, juga ada tilas wahyu yang terpancang di pokok kayu; sungguh, waktu sepertinya telah menghapus ingatan lewat pelapukan, tapi masih menyisakan catatan-catatan yang terekam dalam kegaiban alam…
Surabaya, 2009
Musa 4
di delta, ketika semua suara sayup, kau pun kuyup
oleh ritus menunggu
ususmu tak kau urus, matamu pupus oleh arus
renjana
lalu ia datang dengan sampan, sajikan nampan
: ‘apa yang kau inginkan, telur atau ikan?’
setelah melewati tiga portal
pertanyaan
dan kau gagal
kau jatuhkan pilihan pada ikan
ia pun hanyutkan diri
mengalir ke pinggir segala hilir
: ‘kau harus tetap di tepi
memberi tanda pada kelasi
yang datang dan pergi, biarlah aku
yang mengukir sumir di batu-batu’
meski masih gemas, kau pun berkemas ke pantai
‘jika aku pilih telur?’ serumu
kau hanya mendengar debur ombak
yang mengubur jejak-jejak penantian
menutup rahasia yang entah kapan
bisa kembali dibuka, lewat suara sayup
lewat tubuh kuyup oleh ritus hidup tanpa degup
Surabaya, 2009
Musa 5
tongkat ini bukan buluh; tidakkah kau lihat tangkainya; tidakkah kau lihat ada gurat wahyu pada memadat di serat kayu, keras bagai batu; tak ada ruas untuk menghitung jejak nafas; tak ada lubang untuk menyimpan sejumlah rahasia; karena itu tak ada nafas di tubuhku, nafasku langit; tak ada rahasia yang terlipat di tubuhku kecuali satu: sebuah ledakan yang pernah mejungkalkanku ke remah tanah, asal diriku tercipta!
jika kau pernah mendengar kabar: tongkat ini bisa membelah laut, memasu air di batu-batu dan menjelma ular liar nan mekar, itu pun bukan rahasia terakbar; semuanya hanya sebuah gelar sementara dari getar ikrar yang melebihi seluruh geletar; tidak tahukah kau aku pun pernah terlempar dan ia menjadi saksinya; sungguh ia bukan buluh, bukan pula tubuh, meski ia menyatu tubuhku, ia seringkali keluar dari diriku, membelah jiwaku yang kadang terpaku pada ragu, sebagaimana anak-adam dan tenggelam pada malam dan menantikan rekah fajar sebagai amsal kepastian lingkar
perlu kau tahu, bahkan di tongkat ini tak membekas jejak jemariku, hanya abu, abu, abu…
Surabaya, 2009
Musa 6
sungguhkah tanah itu telah dikutuk bersanding api, sehingga besi selalu menjelma pedang, air menjelma bandang dan udara menjelma menjadi uap racun mematikan; tak ada yang tahu pasti, seperti juga tak ada yang mengerti di mana magma pusar bumi, meski dulu, ketika purba masih berdiwana, sebuah sabda pernah terlontar: ‘tanah itu tanah terjanji, tilas sorga yang dipindah ke bumi’
tapi siapa yang tahu pasti, bahwa sorga tak menyimpan api
Surabaya, 2009
Musa 7
penujum telah menghitung: di akhir abad, tergelar perang agung
tapi tak ada angka yang tertera, seperti halnya peta kota
yang tamat, yang sempat terekam di sebuah nubuat:
‘kota dengan dua menara, benda langit yang murka,
juga bumi rekah yang muntabkan inti magma neraka’
tak ada rambu yang bisa dihela ke mata pembaca
ketika nujum menjadi arca; ketika pintu dan jendela
terbuka melebihi batas-batas kata, melebihi jumlah angka
menukik ke bilik yang paling pelik dari rangka kota
yang disucikan waktu, dan dihancurkan hantu-hantu
Surabaya, 2009
Mashuri, lahir di Lamongan, 27 April 1976. Belajar ngaji di beberapa handai taulan, di PP Salafiyah Wanar dan PP Ta'sisut Taqwa Galang. Cantrik di komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Alumnus Sastra Indonesia Unair. Jebolan Pascasarjana Filsafat Islam IAIN Sunan Ampel. Puisi, cerpen dan esei saya tersiar di beberapa media. Buku sastra saya: Jawadwipa 3003 (puisi, 2003), Pengantin Lumpur (puisi, 2005), Ngaceng (puisi, 2007), dan Hubbu (novel, 2007). Sekarang bekerja di Memorandum dan Balai Bahasa Surabaya (sebagai tenaga peneliti bahasa dan sastra). Didapuk sebagai ketua komite sastra DK-Jatim (Dewan Kesenian Jawa Timur).
NB : saya sariken sajak seorang penyair Surabaya yang punya nama tak lain dan tak bukan yakni Mashuri. penyair yang juga ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur ini juga menulis novel. novel pertamanya Hubbu menjadi pemenang pada lomba penulisan novel yang diadaken oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2006. sajak-sajak Mashuri sendiri saya copas secara membabi buta dari blog Gus Huri. kapan-kapan juga pengen main ke rumah ini penyair, tapi orangnya jarang di Sidoarjo. monggo dinikmati!
Komentar