Langsung ke konten utama

Puisi-puisi penyair kontroversial Dadang Ari Murtono


kalau kau berpikir seperti ini

kalau kau berpikir seperti ini:

alangkah lama dan meletihkan
membesarkan pentil-pentilku
yang kelak ketika sempurna dalam
serat dan lezat
dikerat codot atau kanak yang
tak sekalipun ikut merawat

maka kau boleh berpura lupa ingat
bahwa kau pernah mencintaiku
dan aku akan buru melepas
gapai pada tangkai
lerai menuju sulurmu yang pernah permai
dan kukembalikan segala getar
yang pernah kauhantar.

lalu kita akan sama lega
sebab tak ada lagi hutang yang mesti dihitung.

namun bila seperti ini yang kaupikir:

alangkah indah dan membahagiakan
setiap detik merambatkan munajat
demi matang sempurna buah kecilku
yang kelak tak bakal bisa kauputil

maka dengan segala kemesraan
kujulurkan cinta ke sulur-sulurmu,
cinta melalui tai codot yang mencucupku
tapi kauikhlaskan,
cinta melalui taburan pupuk pekebun yang
bersama anak-anaknya banyak mencicipku
tapi kaurelakan,
sebab dalam diriku tak akan padam
api cinta yang kaunyalakan
dan api itu
menyala pula dalam dada siapa-siapa
yang aku kenyangkan.

dan sepanjang kautumbuh
cinta itu akan terus bertambah.

hujan turun

hujan turun. bunyi benturannya dengan
atap rumah mengingatkanmu pada
rasa sedih yang dalam, rasa sedih
sebab lambaian seseorang yang
berjanji kembali dan kini telah
membuatmu menjadi perawan
tua bahan gunjing di kampung.

hujan turun. udara dingin yang
dibawanya menelusup juga di
bawah selimut di mana kau berkerut
menekuk badan menahan umpat
sebab teringat di waktu dulu kau
sering berkeringat di saat hujan
begini, merasa hangat di dekap lapang
dada seorang yang kini tak ketahuan
rimbanya.

hujan turun. tetes-tetesnya yang berjingkat
di halaman seperti mengajakmu
bermain bersama, mengundangmu
berlari telanjang seperti anak-anak
yang hanya merasa susah saat tak
mendapat kembang gula atau boneka
kain teman bermain.

hujan turun. kau tak juga mengerti bila
butir-butirnya semata ingin menemu
lubang di genteng, menjelma bocoran
yang kautampung dalam gentong air
dan suatu ketika dapat membantumu
menanak beras atau memenuhi gelas
kopi untuk menghangatkan malam sepimu,
juga ia ingin membasuh sekujur
tubuhmu sesaat sebelum kau berakhir
dalam liang yang telah sekian lama
memandangmu.

setangkai puisi (1)

percayalah, aku sedang berusaha
sampai kepadamu walau tak
tahu sebagai apa.

kadangkala aku suka membayangkan
bakal datang sebagai lampu
yang mampu menerangi tiap sudut
rumahmu,
sebab ingat aku senantiasa
alangkah takut kau dengan
gelap malam yang rajin
menyalakan kenangan buruk
untuk mengganggu tidurmu.

atau sebagai atlas, pemanggul
bumi yang senantiasa gagal
melipur lelah, sebab demikianlah
aku kini, selalu berjalan
bersama hujan memanggul
rindu yang meyuburkan airmata.

namun, sungguh aku mengerti
seperti apa kau sekarang: pembaca
dengan rumah penuh lampu dan
tak menyukai cerita-cerita
dari masa lampau.

maka kukirim saja bahasa
yang tak pandai bersolek ini
dan maknailah seperti
yang kaumau

sebab jalan sunyi menuju kau
yang dilaluinya, bisa saja
merubah apa-apa yang ingin
kubunyikan.

setangkai puisi (4)

aku ingin menyemat tanda
pada daun-daun yang memenuhi
ranting-ranting,

tanda yang semoga mampu membekas
pula pada sayap setiap kupu
yang pernah berulat dan berkepompong
padaku,

agar suatu saat, ketika
kupu-kupu itu telah sanggup
terbang jauh dan berhasrat
menengok rumah masa kanaknya,
tak sesat ia pada dahan
lain yang bisa saja menyimpan
iguana atau ular pemangsa.

namun aku memang
orangtua yang mesti dilepas
dari kenang setiap anak-anak
menempuh tualang,

dan segala tanda hanyalah
isyarat pulang, isyarat kembali
pada pengulangan

sementara tahu benar kita
hanya petualang kalah
yang pulang, hanya yang takut
berpeluh yang terus mengulang
tempuhan jalan pergi.

NB : di luar kontroversi yang dibikin oleh Dadang Ari Murtono, terutama penjiplakan cerpen-cerpen Akutagawa, sesungguhnya Dadang adalah seorang penyair yang sangat baik. ia juga pribadi yang tekun belajar dalam membaca karya-karya sastra.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI