Sajak Kecil
I
Dengan mencintai
Puisi-puisi ini
Sukma dari sukmaku
Terbukalah medan laga
Sekaligus kubu
Hidup takkan pernah aman
Kapan dan di mana pun
Selamanya terancam bahaya
Dan kebenaran sunyi itu
Penawar duka bersahaja
Selalu risau menggembara
Mustahil seperti misteri
Bayang-bayang rahasia
Bayang-bayang bersilangan
Bayang lintas bayang
Pelintasanku
II
Dengan mempercayai
Kata kata kata
Yang kutulis ini
Jiwa dari jiwaku
Jadilah raja diraja
Sekaligus budak belian
Sebuah kerajaan
Purbani
Lebih dari napasku
Bernama senantiasa
Nasibmu
Umbu landu peranggi
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
Duka derita dan senyum yang abadi
Tertulis dan terbaca, jelas kata-kata puisi
Dari ujung ranbut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu sentiasa bernama:
Korban, terima kasih, restu dan ampunan
Dengan tulus setia telah melahirkan
Berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
Cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
Di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
Menjangkau bintang-bintang dangan hatinya dan janjinya.
1965
Melodia
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali
Bertahan
Karena kehidupan pun sanggup merangkum duka gelisah
Kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi
Suara-suara luar sana
Sewaktu-waktu berjaga dan pergi, membawa
Langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati
Penggembara
Dalam kamar berkisah, taruhan jernih memberi arti
Kehadirannya
Membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari
Tergesa berlalu
Meniup deras usia, mengitari jarak dalam gempuran
Waktu
Takkan jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi
Dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka-duka, hikmah pengertian
Melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas dibawah bantal,
Penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam
Manja bujukan
Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis,
Bahagia sederhana
Di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan
Dan jiwa
Kadang seperti terpencil, tapi bergairah bersahaja
Harapan dan impian
Yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi
Dan kedua tangan
Solitude
dalam tangan sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam
dalam detik-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh menggema
menggigilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian
seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung nalang nasibmu
di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
Di Sebuah Gereja Gunung
lonceng kecil yang bertalu, memanggil-manggil belainya
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan itu, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
—berpadu memanjat doa dan terima kasih bagi kehidupan
—bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketenteraman
—di antara sesama, pada malapetaka menimpa dunia ini
—pertikaian peperangan, damailah di surga di bumi ini: mazmur mereka
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang samamentari dan bulan yang bersinar di mana pun—
dan tuhan mendengar seru doa mereka
Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
Sepi yang selalu dingin gumam terbantun di buritan
Juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
Dimana-mana, dimana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
Rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
Pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
Dimana-mana, dimana-mana mengepung dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
Mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
Namun membujuk jua langkah, pantai, mega lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
Saat langit luputkan cuaca dan laut siap pasang
Kata, Kata, Kata
Kenangkanlah gumam pertama
Pertemuan tak terduga
Di suatu kota pantai
Di suatu hari kemarau
Di suatu keasingan rindu
Di suatu perjalanan biru
Kenangkanlah bisikan pertama
Risau pertarungan kembara
Duka percintaan sukma
Rahasia perjanjian sunyi
Kenangkanlah percakapan pertama
Gugusan waktu, napas dan peristiwa
Mungkin hanya angin, daun dan debu
Pesona terakhir nyanyian sajakku
Sekelumit Umbu Landu Paranggi
Syahdan pada waktu periode akhir 60an sampai pertengahan tahun 70 an, ada sosok yang sedemikian di hormati di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Jika generasi flower generation di Amerika memiliki Simon & Garfunkel atau Bob Dylan. Di Jogjakarta siapa yang tak mengenal Umbu Landu Paranggi – raja sesungguhnya kawasan Malioboro.
Syahdan pada waktu periode akhir 60an sampai pertengahan tahun 70 an, ada sosok yang sedemikian di hormati di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Jika generasi flower generation di Amerika memiliki Simon & Garfunkel atau Bob Dylan. Di Jogjakarta siapa yang tak mengenal Umbu Landu Paranggi – raja sesungguhnya kawasan Malioboro.
Saya tak mengalami jaman jaman tersebut selalu bertanya tanya kepada mereka yang mengenal sosok gondrong itu, yang garis wajahnya seperti kuda sumba yang keras. Membuat penasaran apa yang membuatnya begitu begitu heroik dan menjadi sumber oase dari sastrawan, penulis, tukang becak sampai pelacur di seputaran Malioboro.
Jalannya hidupnya konon misterius – ada yang bilang nomaden - dan biasa berjalan dari tempat nongkrongnya di Malioboro utara sambil menyapa orang orang dan menulis puisi. Ia selalu mengajar orang menulis sastra ,membimbingnya dalam Persada Studi Klub di Koran Pelopor Jogja. Ia memperhatikan pertumbuhan puisi, menjaga dan menumbuhkan sastrawan sastrawan baru yang kini mungkin anda banyak mengenalnya, seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi sampai musisi Ebiet G Ade.
Ya, keahlian sebagai penulis puisi membuat ia peka dengan manusia dan kehidupan sekitarnya. Sehingga ustad Umbu, - demikian Emha menjulukinya – karena integritasnya kepada lingkungan dan sastra, juga sangat peduli dengan orang orang kecil.
Pernah suatu ketika ia menghampiri seorang pemungut sampah dan mengajaknya bicara. Kemudian ia mengajari baca tulis, serta mengangkat derajatnya menjadi tukang becak. Setahun berselang kepada teman temannya ia menunjuk tukang becak itu yang sedang istirahat membaca Koran.
“ lihat tahun depan ia akan bisa menulis puisi “. Umbu memang selalu percaya bahwa manusia pada hakekatnya memiliki potensi yang sama.
Ya, keahlian sebagai penulis puisi membuat ia peka dengan manusia dan kehidupan sekitarnya. Sehingga ustad Umbu, - demikian Emha menjulukinya – karena integritasnya kepada lingkungan dan sastra, juga sangat peduli dengan orang orang kecil.
Pernah suatu ketika ia menghampiri seorang pemungut sampah dan mengajaknya bicara. Kemudian ia mengajari baca tulis, serta mengangkat derajatnya menjadi tukang becak. Setahun berselang kepada teman temannya ia menunjuk tukang becak itu yang sedang istirahat membaca Koran.
“ lihat tahun depan ia akan bisa menulis puisi “. Umbu memang selalu percaya bahwa manusia pada hakekatnya memiliki potensi yang sama.
Umbu adalah orang yang rendah hati. Pakde Umar Kayam begitu pulang dari Amerika terkaget kaget melihat betapa halusnya perikata sosok manusia ini. Padahal Umbu bukan orang Jawa. Ia berasal dari tanah Sumba , Nusa Tenggara Barat. Ia juga tak pernah mau tulisannya diterbitkan. Ia hanya mendorong murid muridnya maju dan menjadi sastrawan kelas atas. Ia cukup bangga sebagai begawan yang memperhatikan dari jauh.
Barangkali ini yang dinamakan sebagai penggerak swadaya masyarakat tanpa pamrih. Ia mungkin bisa sejajar dengan Romo Mangun yang juga menjadi pahlawan bagi masyarakat kali code. Bahwa kadang kadang dalam masyarakat dibutuhkan orang orang waras yang tak peduli untuk mengajarkan atau memberikan sesuatu. Apapun bentuknya. Hanya satu tujuannya, membawa ke wujud kehidupan yang lebih baik.
Umbu tak pernah puas. Suatu saat ia menghilang. Alasannya ia hendak menengok padang rumput savanna di kampungnya , Sumba. Seketika Jogja kehilangan denyut nadi kehidupan sastra yang tadi bergairah. Mungkin ia merasa sudah cukup meninggalkan 1000 penulis puisi dengan diantaranya 300 yang berbakat.
Ia memilih menetap di Bali. Ia menjadi brahmana Umbu disana, mendorong pertumbuhan sastra di pulau dewata. Ia tetap menggelandang, tidur beratap langit dan menyimpan uangnya di dalam tanah.
Ia memilih menetap di Bali. Ia menjadi brahmana Umbu disana, mendorong pertumbuhan sastra di pulau dewata. Ia tetap menggelandang, tidur beratap langit dan menyimpan uangnya di dalam tanah.
Kita bisa mencontoh Umbu. Menjadi mata air dimana saja, tidak harus dibatasi sekat budaya, agama dan manusia.
Nama :
Umbu Landu Parangi
Lahir :
Sumba, Nusa Tenggara Timur,
10 Agustus 1943
Pendidikan :
SD dan SMP di Sumba, NTT,
SMA Bopkri 1 Yogyakarta,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (tidak tamat),
Universitas Janabadra jurusan Sosiologi
Profesi :
Pendiri Persada Studi Klub (PSK),
Redaktur kebudayaan Pelopor Yogyakarta (1966-1975),
Redaktur harian Bali Post, Bali
Karya :
Tonggak,
Bonsai’s Morning,
Teh Ginseng
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Umbu_Landu_Paranggi
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/umbu.html
http://katakamidotcom.wordpress.com/2010/02/03/umbu/
http://blog.imanbrotoseno.com/?p=277
Komentar
tapi sy cuma mau mengkritik sedikit.
Umbu berasal dari pulau Sumba,Nusa Tenggara Timur.terima kasih..;-)