Cerpen Toni Lesmana
MALAM. Malam yang dingin. Angin seperti menghunus pisau dan mengiris setiap inci kulit waktu. Pisau berkilat di mataku. Pisau yang sesungguhnya terarah dengan tepat di antara dua kening.
Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku! Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Aku mengambil dompet dan kuserahkan dengan gemetar pula. Ini masalah nyawa, Bung. Satu-satunya. Bukan kematian yang kutakutkan, namun janjiku untuk menemui seseorang tengah malam ini, membuatku tak mungkin mengambil resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan liar kegelisahan di sepasang mata yang nampak mulai berair itu. Ia menangis. Sungguh. Tangisan apa pula yang mengalir deras dari seorang perampok.
Pergilah! Pergilah! Ambil semua yang kau inginkan. Aku membatin sendiri. Bagaimana bisa seorang bajingan menyerah kepada seorang perampok gelisah macam itu. Kau sakit! Cepatlah cari obat yang mujarab. Pergilah ke tempat pelacuran. Atau belilah minuman keras. Mabuklah sampai memar sepasang mata yang rapuh itu. Aku terus mencacinya dalam hati. Ia tak juga beranjak. Pisau itu terus terarah. Tajam, berkilat, dan penuh getaran. Sebelah tangannya menangkap dompet dan membukanya dengan tergesa. Hampir jatuh. Ia terkejut dengan kebodohannya sendiri. Dan akibatnya pisau itu menekan keras keningku. Ada yang mengalir. Ngalir di celah antara dua mataku.
Darah! Teriaknya tergagap. Kau! Kau berdarah! Pisau itu bukannya melemah, malah semakin kuat menusuk. Ngilu merasuk. Perih terbit. Ia mendadak marah dan gila. Barangkali darah itu telah menyulut sesuatu di tubuh orang itu. Barangkali rasa takut.
Perampok sialan. Gerutuku sambil menahan sakit. Tubuhku semakin rapat ke tembok yang lembab. Dan tubuhnya hendak merapat pula ke tubuhku. Tubuhku terlalu kecil untuk berontak terhadap manusia tinggi kekar ini. Jika saja. Tidak. Tak ada berandai-andai. Sekali kubuat kesalahan. Pisau itu akan membabi-buta. Pisau itu berada dalam kendali orang yang tak punya kendali. Getaran hebat di tangan dan tubuhnya bisa saja membuat pisau itu terjatuh, bisa juga membuatnya menjelma seribu sayatan indah di kulit, daging, dan tulangku. Aku punya janji. Tak bisa aku bermain-main. Ah, padahal kematian adalah sesuatu yang sering kupermainkan.
Cepat selesaikan permainan ini! Aku menahan geram. Tak sulit buatnya untuk melepasku, semudah ia membunuhku. Namun ia tak melakukan keduanya. Malah bersusah-payah menahan getaran hebat itu. Pisau semakin tak menentu. Seperti dalam perang. Antara menikam dan melompat pulang. Ini tentunya sangat menyiksaku. Harapanku nyaris tak bersisa.
Tuhan. Aku ingin menemui tidak setelah kematian. Tengah malam ini. Dalam kehidupan. Aku berbisik gigil pada getaran pisau itu, pada galau tusukannya. Enyahlah! Enyahkanlah perampok gila ini. Jangan biarkan ia jadi pembunuh dan merasa berdosa seumur hidup. Selamatkan ia untukku. Untukku! Percuma aku meracau. Tiba-tiba tusukan itu semakin menekan. Dan kurasakan, sedikit-sedikit, menembus tulang keningku. Menancap rapat. Segera ia mengerang sedemikian rupa. Mengaduh gaduh sekali. Seperti orang yang mengalami puncak orgasme. Tangannya lepas dari pisau. Tubuhnya menggeliat. Mengejang. Lantas terjengkang seketika. Suara berdebum. Tubuhnya kini kaku. Membujur di depan jari-jariku yang mengkerut surut seperti hendak sembunyi ke dalam telapak kaki yang telanjang. Aku seperti terbius dengan pemandangan menakjubkan itu. Tanganku perlahan meraba pisau yang menancap kuat di kening. Darah seperti sungai mungil yang mengalir menuruni celah antara dua mata, mengalir ke hidung. Pecah jadi beberapa sungai yang lebih mungil. Dan bermuara di bibirku. Mulutku mencicipinya tak henti-henti.
Aku tak terlalu mempersoalkan perampok sialan yang mampus dengan khusyuk, toh ia mati ataupun tidak kuanggap sebagai jawaban atas doaku. Pisau di keningku menjelma persoalan baru. Selepas gang ini adalah jalan yang sangat ramai sekalipun malam semakin larut. Malah, semakin larut semakin hidup. Orang-orang di sini hanya hidup dan bergembira pada malam hari. Seperti perkampungan vampir. Kau dapat mencari apa saja yang kau inginkan sepanjang malam. Pasar. Toko-toko. Tempat-tempat hiburan. Bahkan sekolah pun buka malam hari. Orang-orang tak terlalu pedulian terhadap yang lainnya, namun mereka sangat senang mengolok-olok. Mengolok-olok segala sesuatu yang tak lazim. Segala sesuatu yang lain dari kebiasaan. Bagaimana aku pulang dengan pisau menancap di kening. Tak kuasa aku mencabutnya. Tenagaku tak sanggup melepasnya dari impitan tulang yang retak itu. Lepas aku dari satu rintangan. Namun rintangan itu mewariskan sesuatu yang tak bisa kulenyapkan. Bukan rasa nyeri atau perih yang kini menjalar. Bukan sungai mungil darah yang terus kureguk. Aku berjalan sepanjang gang yang temaram. Sedikit sempoyongan. Dengan kedua tangan memegang hulu pisau, seperti memegang botol minuman keras, yang menancap di kening.
Malam semakin dingin di tubuhku. Gigil. Angin kini seperti silet. Tipis. Semakin dekat ke mulut gang, udara mendadak mulai menghangat.
Keluar dari mulut gang, nampak lampion-lampion merah bertebaran di mana-mana. Lampu-lampu berwarna berkibaran. Kain-kain berwarna merah berjatuhan dari tempat yang tinggi. Orang-orang ramai sekali. Dari mulai anak kecil sampai orang tua tumpah ruah di jalanan. Aku mencari-cari sesuatu yang dapat menutupi kening dan kepalaku, dan wajahku tentunya. Tapi tak ada apa-apa. Kota ini sangat bersih. Maka aku berjalan dengan meminggirkan diri dari keramaian. Mencari jalur paling sunyi, yang tentu saja sangat sulit dicari di kota ini. Anak-anak berlarian di depan sebuah sekolah. Seperti sungai mungil darah yang terus mengalir di wajahku, terus bermuara di bibirku. Anak-anak muda nampak bergerombol di depan sebuah panggung musik, di meja-meja kafe yang dipasang di trotoar. Sedang orangtua hilir-mudik di pasar, toko-toko, dan taman kota.
Lampu-lampu yang merah, adalah napas yang menghidupkan kota ini. Segala macam merah, dari yang paling muda sampai yang paling pekat. Ada juga yang sewarna sungai darah. Aku menyisir yang paling pinggir. Mencari jalur sepi yang paling mustahil. Seluruh perih dan kemungkinan untuk diolok-olok bukanlah alasan yang membuatku sembunyi-sembunyi. Kebiasaan penghuni kotalah yang membuatku harus sangat berhati-hati. Pisau itu akan menjadi masalah yang harus dipertanggungjawabkan. Di kota ini benda-benda tajam adalah benda yang diharamkan. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menggunakannya. Apalagi jika mereka menganggap aku mau bunuh diri. Akan lebih gawat lagi. Aku akan disekap dalam penjara paling gelap, paling dalam, dan paling lembab.
Kota semakin memerah. Hampir tengah malam. Jam raksasa di atas taman sebentar lagi bernyanyi. Dan orang-orang akan segera menari bersama. Kesempatan yang paling baik. Pisau terkutuk ini tidak akan terlalu memancing perhatian. Aku berhenti sebentar di tempat yang paling temaram. Menatap perempatan yang mewah dengan warna merah. Rumahnya terdapat di sana. Kecil. Terselip di antara bangunan-bangunan tinggi. Sebenarnya rumahnya bertebaran di mana-mana. Sangat banyak. Hampir di setiap wilayah. Aku sering membayangkan bahwa dalam setiap inci nadiku pun terdapat rumahnya. Rumahnya yang kecil di perempatan itu adalah yang terdekat, rumah-rumahnya dalam nadiku belum dapat kumasuki. Ah, bagaimana aku memasuki diriku sendiri. Belum kulangkahkan lagi kakiku, seseorang menubruk punggungku. Aku terjatuh dengan cepat dan kuat. Akibatnya pisau itu makin dalam menancap di keningku. Ngilu tumbuh seperti bangunan-bangunan yang terus meninggikan lantai-lantainya. Seorang perempuan muda berulang kali meminta maaf dan hendak membantuku berdiri. Aku terus saja menelungkup, dan ia begitu keras kepala untuk meminta maaf.
Oh! Anda berdarah! Darah! Aku sungguh berdosa! Toloooong! Tolooooong! Perempuan muda dan cantik, ketika kulirik sekali saja kecantikan itu tertanam langsung di mataku, kini berteriak dan semanggil semua orang. Mampuslah aku. Ancaman kematian kembali datang. Pisau ini, pisau yang sekarang setengahnya tertanam di keningku, seperti malapetaka yang tak pernah habis. Orang-orang cepat sekali berkerumun. Tak ada tempat berlari selain pura-pura mati.
Tolonglah cepat. Ada darah di wajahnya. Cepatlah, lelaki ini mempunyai pisau di kepalanya! Lagi-lagi suara perempuan itu meletup-letup penuh ketakutan. Ia akan segera dicap pembunuh. Seseorang membalikkan tubuhku. Dan kudengar suara orang-orang bergemuruh.
Pisau itu tak dapat dilepas. Darah itu tak dapat dihentikan. Ia masih hidup. Seseorang berteriak, setelah kurasakan ada yang mencoba menggerakkan pisau keparat itu.
Seseorang telah menusuknya! Teriak yang lain.
Bukan! Bukan! Pisau itu tumbuh sendiri di keningnya! Aku pernah mendengar ramalan tentang akan datang seseorang dengan pisau di kening. Suara yang lain lagi menyeruak, membuat semuanya terdiam dan senyap. Suara-bisik-bisik.
Itu hanya dongeng! Bantahan datang dari belakang kepalaku.
Tidak. Itu ramalan. Seseorang dengan pisau di kening akan menemui kekasihnya di Kota Merah. Dan pisau itu akan lenyap ke dalam kepalanya jika ia benar-benar menemui kekasihnya. Tak ada yang dapat mencabutnya selain ciuman seorang kekasih.
Cerita yang ajaib sekali, seperti hipnotis. Semua orang mundur perlahan. Semuanya mundur meninggalkanku seorang diri. Sepertinya cerita itu membangkitkan ketakutan terdalam yang mereka miliki. Semuanya sekejap saja sudah berlarian. Dan lampu-lampu merah semakin banyak dan semarak. Perempuan muda yang menubrukku ternyata masih memandangku dari sebuah jendela toko makanan.
Tak baik kau menatap seorang bajingan dengan tatapan yang paling lembut. Kau tak membunuhku, malah menolongku terjerumus dalam cerita yang tak masuk akal. Rintihku tersiksa oleh sorot matanya, oleh kerinduan untuk menemuinya kembali kelak. Kelak dalam kehidupan bukan setelah kematian.
Janji ini akan segera kutepati. Kakiku kini tak lagi menyusuri jalur sunyi yang mustahil. Aku berlari menembus keramaian. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Pisau yang menancap indah. Indah di keningku. Sungai mungil darah yang bermuara di bibirku. Tak ada yang kusembunyikan toh aku adalah seseorang yang ada dalam ramalan. Aku adalah legenda bagi kota ini. Aku teringat perampok sialan yang mewariskan pisau ini, o, ia bisa saja seseorang yang dikirim Tuhan untuk menuntunku pada sebuah janji. Segalanya seperti berada di luar rotasi kebiasaan. Kejadian-kejadian seperti melompat dari topi seorang penyihir. Tapi lebih penting bagiku adalah menepati janji.
Rumahnya telah terlihat. Aku berlari dengan diiringi penghuni kota. Langkahku menjadi langkah mereka. Sampai di rumahnya. Dadaku begitu berdebar. Sepi sekali. Lampu temaram bahkan hampir padam. Pintunya terkunci. Jendela-jendelanya rapat. Rumah yang tak lagi dipakai. Hanya sebuah bangunan telantar. Aku sedikit nanar. Bagaimana bisa rumahnya seperti begini. Aku berlari lagi mengitari kota. Mencari rumahnya yang lain. Hampir sama. Tak ada rumahnya yang terbuka dan benderang. Semuanya seperti rumah hantu bahkan sebagian menjelma puing dan reruntuhan. Aku hampir putus asa. Hampir tengah malam. Sebentar lagi jam bernyanyi dan orang-orang menari.
Tuhan, Aku ingin menepati janji, menemuimu dalam kehidupan bukan setelah kematian. Aku menjerit-jerit seperti anak kecil. Penghuni kota ikut menjerit-jerit. Lampion merah bergoyang, kain-kain berkibaran. Aku seperti melihat darah berpesta di kota ini. Putus asa aku melangkah ke tengah taman. Menceburkan diri ke dalam kolam air mancur. Tak kutemukan rumahnya. Padahal aku hendak mandi dirumahnya. Membasuh seluruh tubuh. Sebelum menemuinya untuk pertama kali, barangkali juga untuk terakhir kali.
Tuhan, aku kehilangan jejakmu di kota ini. Aku menceburkan diriku pada kolam air mancur dengan rasa kehilangan teramat sangat. Detik-detik di mana aku akan menjelma seorang pengingkar janji. Aku tak akan dapat menemuinya sekarang ataupun nanti setelah kematian. Ingin kuhancurkan diriku dalam air kolam. Kutenggelamkan diriku. Aku bersujud di dasar kolam. Tuhan. Keningku dapat menyentuh dasar kolam. Keningku. Keningku. Pisau itu tertanam dengan sempurna dan tak berbekas di keningku. Dan sungai darah itu tak lagi ngalir di wajahku, bibirku usai mereguk amis luka. Aku terus menenggelamkan diri. Aku bisa bernapas dalam air.
Malam memerah. Jam bernyanyi. Orang-orang menari. Aku berdiri di pucuk air mancur. Menepati janji. Janji pada seseorang. Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah. Menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian. Aku melihat mereka semua, tapi mereka tak lagi dapat melihatku. Aku lenyap bagi mereka. Seperti dalam ramalan. Aku tersenyum sendiri. Asing sendiri. Sepasang mata yang lembut menatapku dari sebuah jendela. Perempuan itu. Sepasang mata yang lain. Liar dan galau, mengintipku dari mulut sebuah gang. Perampok sialan itu. Kini aku ingin berpikir tentang malaikat dan iblis. Tapi aku tak lagi dapat berpikir. Pisau itu mungkin telah menggasak seluruh isi kepala. Aku hanya dapat merasa. Merasa. Bahwa dua pasang mata itu masih dapat melihatku. Merasa. Bahwa aku diliputi kerinduan. (*)
Kedungpanjang, 2011
Komentar