Cerpen Noviana Kusumawardhani
Buat penggemar matahari, malam selalu menakutkan. Karena hanya pada malam, semua khayalan tentang iblis dan hantu memiliki tempatnya. Malam entah kenapa selalu memecahkan rongga-rongga dada dan membuat denyut jantung lebih cepat.
Terkadang gemerisik angin terlembut pun entah kenapa tetap membuat helaan napas menjadi lebih berat. Malam adalah waktu di mana hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang menahbiskan dirinya pada kekuatan hati. Benar hanya orang yang berhati kuat yang akan berani menghadapi malam. Seperti para pemberani di desaku. Suatu tempat amat elok di kaki gunung Jaganmantri. Gunung yang kontur tanahnya menyerupai payudara ranum ibu yang baru melahirkan itu benar-benar sangat cantik. Ibu semesta begitu setiap kali ada orang yang bertanya tentang arti Jaganmantri.
Desaku sangat indah luar biasa. Setiap pagi saat matahari pertama kali menyetubuhi bumi, genting-genting rumah berkilauan bersahut-sahutan dan dari kilau itu bermunculan warna-warni seperti pelangi yang menyilaukan memantul ke angkasa. Seperti selendang para bidadari bertebaran di langit yang begitu tampak selalu tertawa. Seluruh negeri ini tahu bahwa pantulan kilau dari genting itu adalah air mata yang membeku sehingga bisa dibentuk apa saja. Benar semua benda di desaku terbuat dari kristal-kristal airmata yang membeku. Mulai dari jalan desa, rumah-rumah, bahkan beberapa baju yang dipakai penduduk tebuat dari pintalan warna-warni kristal airmata.
Tidak ada satu orang pun tahu siapa yang pertama kali membuat adonan airmata sehingga bisa dibentuk menjadi apa saja itu. Desaku menjadi desa terindah di seluruh negeri dan airmata adalah hal yang sangat biasa ditemukan di sini. Penduduk desaku hidup dari airmata. Apapun yang kami lakukan selalu diiringi airmata. Bahkan ketika di saat-saat bahagia sekalipun, saat bersenang-senang, airmata selalu harus hadir di sana. Kami tidak mengenal airmata kesedihan ataupun kebahagiaan. Kami hanya mengenal airmata adalah napas. Seperti detak jantung yang berdentam setiap detik, airmata di desa ini pun adalah hidup mereka. Di sini diyakini orang yang semakin mengeluarkan airmata adalah orang yang benar-benar bahagia. Tak heran salah satu seniman nomor satu di desa ini mampu membuat satu komposisi dari lolongan tangis dan tawa sekaligus.
Konon komposisi ini pernah ditawar salah satu produsen besar dari ibukota, tapi seniman itu tak melepaskan karena si produser ternyata tidak bisa mengeluarkan airmata. Ke mana pun penduduk desa ini pergi mereka tampak selalu membawa tas berisi botol besar air mineral kosong dan spons. Karena ketika airmata merekan mengucur deras, segera disapunya dengan spons dan diperas hati-hati ke dalam botol air mineral tersebut. Sangat lazim telihat orang-orang membawa lebih dari satu botol. Airmata dari botol-botol tersebut terus dikumpulkan ke dalam sebuah koperasi unit desa untuk kemudian diolah menjadi potongan 2 baluk kristal airmata sebagai bahan dasar apa pun benda di desa itu. Potongan-potongan kristal itu terus diolah menjadi berbagai macam kebutuhan.
Begitulah desaku begitu damai dan nyaman penuh keberlimpahan dengan airmata. Airmata yang menjadi hidup dan juga bahagia. Orang-orang sederhana dengan airmata bercucuran ternyata membuat hati orang-orang di desaku menjadi orang-orang kuat luar biasa. Orang-orang yang pemberani. Bahkan malam dengan kepekatan akan duka sekalipun tak mampu membuat mereka menghindar dari gulita. Setiap menjelang senja, saat roh-roh tua mulai ingin mengembara, para lelaki di desaku segera keluar menghadap ke barat. Dengan penuh cinta dibungkukkan badan mereka dalam sikap berdoa. Mereka tidak menganggap matahari itu Tuhan, tetapi mereka percaya saat matahari mulai membakar kaki langit dengan ujung-ujung lidah apinya sehingga langit berubah kemerahan, saat itu pula seluruh alam raya ini menangis sejadi-jadinya. Nah, karena tangisan alam raya inilah maka mereka membungkuk menghormatinya karena mereka merasa bahkan alam raya turut merestui tangisan-tangisan yang mereka haturkan sebagai puja. Sungguh jika malaikat kesayangan Tuhan sekalipun pasti akan selalu merasa senang tinggal di desa itu. Desa yang penuh air mata, tetapi begitu bahagia luar biasa ini. Hingga suatu hari ada yang merubah segalanya.
Awalnya terjadi dari kedatangan salah satu warga yang sudah lama merantau. Entah karena sudah lama merantau hingga lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata atau memang dia tidak mau lagi mengeluarkan air matanya. Tentu saja pada awalnya para penduduk terheran-heran bagaimana bisa lelaki itu tidak lagi mengeluarkan air mata. Ketika ditanya mengapa dia tidak mengeluarkan air mata oleh kepala desa yang diyakini sangat sakti karena mampu mengeluarkan air mata seputih susu sungai-sungai sorga itu, jawabannya sungguh mengglegarkan “Airmata hanya untuk para perempuan. Lelaki tidak menangis. Karena hanya lelaki pengecut saja yang menangis.” Sungguh, kalimat itu seperti angin puting beliung yang merontokkan semua peradaban dalam satu helaan napas. Semua lelaki yang mendengarnya langsung tanpa sadar menghentikan air matanya. Sejak saat itu, terjadilah proses penghentian besar-besaran air mata oleh para lelaki di desa itu. Wajah-wajah lelaki di desa itu yang tadinya begitu ringan dan penuh dengan harapan, tiba-tiba menjadi tegang dan tampak sekali ada desakan-desakan air yang mati-matian ditahan di dalam sekat-sekat dadanya. Benar, lelaki tidak menangis. Begitu jargon baru yang terjadi didesa itu dan itu fatal.
Sejak saat itu pula para lelaki menempatkan dirinya lebih tinggi daripada para perempuan di desa itu. Lelaki-lelaki yang tadinya mau membantu para perempuannya memasak, menjahit dan mengurus anak tiba-tiba menjadikan diri mereka tuan. Air mata hanya milik kaum perempuan. Karena hal ini, maka sejak hari lelaki berhenti menangis, tidak ada lagi lelaki yang membawa botol mineral kemana-mana. Koperasi pengolah air mata mulai kesulitan pasokan karena hanya kaum perempuanlah yang menyetor air mata. Tentu saja pasokan itu tidak akan cukup mensuplai kebutuhan. Terlebih kompisisi mineral air mata lelaki dan perempuan berbeda. Balok-balok kristal air mata menjadi menurun kualitasnya. Orang akhirnya mencampurnya dengan air untuk memproduksi apa saja. Tentu saja ini sama sekali menghancurkan. Setiap pagi pelangi-pelangi yang berkilau karena terpaan matahari di atap-atap kristal air mata rumah-rumah penduduk mulai berkurang kadar warnanya. Meredup pelan-pelan seperti detak jarum yang berputar terbalik, makin lama warna itu makin samar dan begitu tipisnya.
Desa itu benar-benar menjadi desa yang sedih sesedih-sedihnya. Air mata menjadi barang langka, tetapi kesedihan menjadi begitu berakar. Hingga satu hari koperasi pengelola balok kristal air mata itu menyatakan bangkrut. Mereka tak sanggup lagi berproduksi karena suplai air mata hampir tidak ada lagi. Air mata yang tersedia begitu buruk kualitasnya karena hanya air mata perempuan sehingga tidak mampu lagi membuat kristal yang solid tanpa air mata lelaki. Ketika menyadari bahwa balok kristal air mata tidak ada lagi, mulailah mereka panik. Kepala desa membunyikan kentongan tanda para lelaki harus berkumpul, “Ini sebuah kesalahan, lelaki boleh menangis karena kita butuh air mata untuk kelangsungan hidup kita, mari kita menangis lagi.” Dia pun mulai mengejap-kejapkan matanya untuk memanggil roh air mata agar kembali hadir, tanpa sadar semua lelaki yang hadir mengikutinya. Tetapi roh air mata mereka memang sudah tidak ada lagi. Mereka pun mulai panik. Semakin keras mereka berusaha, semakin air mata tidak lagi keluar. Bahkan karena terlalu keras hanya darah yang keluar dari mata mereka. Tentu saja itu bukan air mata karena berwarna merah. Air mata seperti suara Tuhan, begitu bening dan sejuk.
“Roh air mata itu harus kita cari, kalau perlu ke ujung dunia pun harus kita buru,” begitu akhirnya keputusan kepala desa itu dalam keputuasaannya. Begitulah, sejak hari itu banyak lelaki keluar dari desaku. Mereka memburu air mata ke seluruh pelosok negeri. Ada yang berhasil ada pula yang tidak. Ada yang pulang dengan membawa bergalon-galon air mata, ada yang mengirimkan lewat kilat khusus, tetapi ada juga yang pulang hampa sia-sia. Lelaki perantau pencetus gagasan penghapusan air mata bagi lelaki itu menghilang entah kemana. Konon, ada yang pernah melihat dia secara diam-diam menghilang ke atas gunung dalam penyesalannya karena telah membuat desanya menjadi berantakan. Tetapi ada juga rumor yang menyebutkan bahwa saat dia menyebarkan propaganda anti air mata itu sebenarnya dia telah disuruh oleh setan yang tidak pernah ingin melihat manusia bahagia. Entah benar atau tidak, yang jelas sekarang ini sangat jarang ditemui lelaki di desaku. Kebanyakan mereka telah menjadi pemburu air mata. Mereka akan sangat mudah ditemui di kota-kota besar maupun kecil. Dengan berbagai cara mereka akan membuat orang-orang menangis, yang paling sering dilakukan adalah menjadi pendongeng cerita-cerita sedih dimana ketika para penonton beramai-ramai menangis maka si pendongeng akan buru-buru mengambilnya dengan sponsnya dan dimasukkan kedalam botol air mineralnya.
Demikianlah, desaku yang tadinya begitu damai dan indah kini menjadi sunyi. Kesunyian yang begitu menyayat. Kesunyian yang melahirkan pekat. Seloka-seloka yang disenandungkan perempuan yang tinggal hanyalah senandung kesepian yang dibungkus rapat dengan kerinduan, karena para lelaki mereka menjadi pemburu air mata dan tidak tahu kapan mereka pulang. Benar-benar desa yang tidak bahagia. Mereka sering sekali merindukan waktu lalu, dimana air mata begitu mudah didapat, sangat bening seperti hati. Mereka begitu mendendam kepada lelaki pencetus ide penghapusan air mata. Dendam yang melahirkan bara di dada. Bara yang melahirkan air mata api.
Air mata menjadi makin langka. Air mata pada akhirnya melahirkan hanya lolongan. Air mata pada akhirnya menjadi absurd maknanya dan para pemburu air mata tak pernah lelah memburunya karena mereka benar-benar tahu bahwa hidup mereka akan kembali penuh dengan air mata. Ya, karena dari air mata akan melahirkan tawa.
Ubud, 20 Januari 2010
Untuk air mata-air mata yang menjadi guruku.
Komentar