Langsung ke konten utama

Penjaga Kamar Mayat


Cerpen Dadang Ari Murtono

Bahwa cinta itu tidak bisa dipisahkan kematian, aku percaya. Kisah tentang seorang penjaga kamar mayat yang membuat aku mempercayai hal itu. Sebelumnya, seperti kebanyakan orang, aku menganggap kalimat itu hanya sekadar bualan sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Bualan yang akan segera menguap bila kadar cintanya menurun. Bukankah telah teramat sering kita mendengar seseorang yang buru-buru menikah lagi bila pasangannya meninggal. Padahal sebelumnya mereka kerap berkata, “aku mencintaimu. Aku berjanji akan sehidup semati denganmu.” Dan ketika pasangannya benar-benar meninggal kemudian, mereka melupa-lupakan apa-apa yang pernah diucapnya. “Kita sehidup saja, tak perlu semati.”

Namun penjaga kamar mayat di puskesmas kecamatanku memaksaku percaya bahwa cinta memang tak bisa dipisahkan kematian. Aku mengenalnya sebagai seorang lelaki yang murung. Wajahnya tirus dengan mata bulat besar. Di kedua pipinya, berdiam bekas-bekas jerawat yang dikopek paksa sehingga menimbulkan titik-titik noda yang tak bisa hilang. Ia tidak punya rumah. Seperti juga ia tidak mempunyai sanak famili di desa ini. Ia pertama kali datang ke kampung ini sewaktu aku masih kecil. Sekitar 20 tahun yang lalu. Ia datang entah darimana. Datang dengan dekil dan kusam. Datang dengan tidak membawa apa-apa selain pakaian kusam yang melekat di badannya.

Awalnya orang-orang kampung mengira ia gila. Mengira satpol PP menangkapnya dari jalanan kota dan membuangnya di pinggir desa. Bukankah hal seperti itu kerap terjadi. Gelandangan dan orang gila yang berkeliaran di jalanan kota ditangkapi karena dianggap merusak pemandangan kota. Para petugas itu selalu bilang akan membawa gelandangan dan orang-orang gila itu ke panti sosial atau rumah sakit jiwa. Namun kenyataannya beberapa orang gila dan gelandangan itu ditinggal begitu saja di tepi desa atau tengah hutan. Entah kenapa.

Namun lelaki itu tidak gila. Kepada warga kampung ia mengenalkan diri bernama Jon. Hanya Jon. Tidak ada lagi lanjutannya. Dan hanya namanya yang teramat pendek itu saja yang dikatakannya kepada penduduk kampung. Ia tidak bercerita tentang asalnya, bagaimana ia bisa sampai di kampung ini, dan siapa saja keluarganya. Ia selalu menggelengkan kepala dan berkata perihal-perihal semacam itu tidak penting dan tak perlu diketahui siapa pun.

Penduduk kampung lalu membiarkannya tidur di pos ronda. Semata karena kasihan. Lagi pula, Jon juga tidak terlihat seperti orang jahat. Ia malah terlihat teramat memelas. Dan ia juga suka menolong. Menolong warga kampung tanpa meminta upah. Ia menolong memperbaiki genteng yang bocor, talang yang tersumpal jatuhan daun, memapras pohon yang terlalu rimbun, atau mengayar padi. Dan meskipun tidak pernah meminta upah, warga kampung yang dibantunya kerap memberinya makan atau beberapa lembar ribuan.

Dan ketika pak camat meminta agar puskesmas kecamatan dilengkapi kamar mayat, orang-orang mengusulkan agar Jon yang menjadi penjaganya. Hanya agar Jon mempunyai ruang untuk tidur. Ruang yang dibatasi tembok. Ruang yang melindungi Jon dari hawa dingin atau angin dan panas. Di pos ronda, tidak ada tembok yang bisa melindungi Jon. Pos ronda itu sebenarnya hanya semacam balai dengan alas beberapa potong bambu yang dipaku membentuk papan dan atap genteng. Tidak ada dinding. Dan sebelumnya, puskesmas kecamatan itu memang tidak mempunyai kamar mayat. Hanya ada bangsal untuk pasien yang rawat inap, ruang periksa dan kamar jaga bagi perawat yang kebagian tugas jaga malam. Namun seiring kemajuan pembangunan kecamatan itu, pak camat merasa bahwa puskesmas itu harus dilengkapi segala fasilitasnya. Termasuk kamar mayat. Dan pak camat kemudian setuju untuk mengangkat Jon sebagai penjaga kamar mayat itu, untuk membersihkan kamar mayat itu, dan untuk menunggui mayat-mayat yang belum diambil keluarganya. Kebanyakan mayat-mayat yang diletakkan di kamar mayat itu adalah korban kecelakaan. Terutama ketika tanggal merah atau hari minggu, ketika banyak orang dari kecamatan lain, dari kota kabupaten yang ingin menikmati liburan di sana. Kecamatan ini memang kecamatan wisata. Banyak tempat wisata di kecamatan ini. Seperti pemandian air panas atau air terjun coban canggu. Dan pada waktu-waktu paling ramai itulah kerap terjadi kecelakaan.

Jon bersedia. Dan jadilah sejak saat itu Jon menjadi penjaga kamar mayat. Ia tidur bersama beberapa jenazah di kamar itu. Pada awal-awal ia tidur dengan mayat – mayat korban kecelakaan dengan kepala pecah dan bola mata mencuat keluar – ia ketakutan setengah mati dan bercerita kepada penduduk bahwa ia tidak bisa memejamkan mata barang semenit. Ia takut melihat kondisi mayat yang mengerikan itu. Namun ia lebih takut lagi bila jasad itu tiba-tiba bangun dari ranjangnya. Tapi mayat itu tidak bangun. Sampai pagi hari mayat itu tidak bangun. Dan sampai diambil oleh keluarganya, mayat itu tetap tidak bangun. Diambil setelah 2 hari mayat itu tidur di kamar mayat di ranjang di yang berdampingan dengan ranjang yang dipakainya tidur.

Dan setelah itu, ia tidak pernah lagi merasa takut. Ia tahu tak ada mayat yang akan bangun untuk menakutinya. Tapi sampai beberapa lama, orang-orang yang berpapasan dengannya bertanya dengan pertanyaan yang tak jauh berbeda, “apa kamu sering dihantui? Apa kamu tidak takut?” Dan ia juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban yang sama, “tidak, aku tidak takut. Aku tidak dihantui.”

****

Dan dari sini cerita baru dimulai. Ketika terjadi bencana besar seminggu setelah perayaan idul fitri di pemandian air panas dan coban canggu. Tanah longsor yang diikuti banjir lumpur. 43 mayat memenuhi kamar mayat yang dijaga Jon. Mayat-mayat dengan bentuk yang begitu menakutkan. Luapan air panas dari sumber yang belum sempat didinginkan membuat sebagian besar mayat itu melepuh. Jatuhan batu dari lereng hutan pinus di atas kolam pemandian itu membuat sebagian dari mayat itu gepeng, pecah kepala atau perutnya memamerkan isinya yang berbau busuk. Dan arus deras yang menghanyutkan mayat-mayat itu ke coban canggu, membuat tubuh-tubuh melepuh itu jatuh dari ketinggian 50 meter, membikin banyak bagian tubuh yang hilang. Ada yang hilang tangan, kaki, bahkan kepala. Ada juga yang tengkorak kepalanya terlepas namun kulitnya masih menyatu dengan leher. Lunglai dan kuyu.

Dan pada waktu itu, Jon seperti menjadi orang yang paling sibuk sedunia. Ia mondar-mandir. Kadang berjalan tergesa dari satu mayat ke mayat lain. Kadang berlari ke kamar mayat lalu ke ruang pemeriksaan. Entah apa yang dilakukannya. Dan puskesmas juga menjadi tempat yang paling ramai didatangi orang-orang. Ada yang sekadar ingin melihat wujud korban bencana itu. Ada juga yang hendak mengambil mayat keluarganya. Dan setelah hari ketujuh, 42 mayat telah diambil.

Kepada petugas kepolisian, perawat, dokter dan orang-orang, Jon bilang bahwa semua mayat telah diambil keluarganya. Bahwa sudah tidak ada jenasah yang tertinggal di kamar mayat itu. Dan orang-orang percaya. Begitu juga dokter, perawat dan petugas kepolisian. Lagipula, tidak ada laporan tentang keluarga yang masih mencari anggota keluarganya. Dan perawat atau dokter di puskesmas itu juga tidak pernah masuk ke kamar mayat selain dengan Jon. Dan bila Jon bilang tak perlu masuk ke kamar mayat, maka mereka juga tidak akan masuk ke kamar mayat itu.

Namun sebetulnya ada 43 mayat yang datang pada hari naas itu. Mayat ke 43 adalah mayat seorang perempuan muda. Sekitar 25 tahun usianya. Datang dengan hanya mengenakan celana dalam biru bergambar bunga-bunga di depannya dan kutang yang juga berwarna biru. Barangkali ia sedang mandi di kolam ketika batu-batu itu bergemuruh dan memenuhi kolam itu. Namun ajaib, tidak ada bekas luka apa-apa di sekujur mayat itu. Mulus. Dan mayat itu juga tersenyum. Begitu damai kelihatannya. Dan Jon merasakan ada yang aneh dalam dirinya ketika melihat jenasah itu untuk pertama kali. Keanehan yang belum pernah dirasakannya. Keanehan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Keanehan yang membuatnya ingin terus-terusan menatap paras mayat itu. Keanehan yang kemudian menggerakkannya untuk menyembunyikan mayat itu dalam lemari pakaiannya. Keanehan yang membuatnya berbohong ketika seseorang yang mengaku suami dari mayat itu datang untuk mencarinya. Suami mayat itu bilang, “saya mencari jenasah istri saya. Dia belum pulang juga sampai sekarang. Ia ikut rombongan kantornya berlibur di air panas pada waktu kejadian itu. Saya berharap ia tak jadi korban. Tapi ia tidak mengirim kabar. Ia juga tidak pulang-pulang. Jadi saya yakin kalau istri saya itu juga meninggal. Saya ingin mengambil mayatnya.” Dan Jon bilang, “tidak ada mayat seperti yang sampeyan ceritakan. Tidak ada mayat yang sesuai dengan ciri-ciri yang sampeyan sebutkan tadi. Mungkin mayat istri saudara terbawa arus sungai dan belum diketemukan. Lebih baik sampean pulang saja dulu. Nanti kalau ada kabar, sampean saya kabari.” Dan lelaki itu pulang. Ia percaya saja ucapan Jon. Ia bahkan tidak hendak menanyakan keadaan istrinya pada dokter atau petugas kepolisian. Barangkali sebetulnya lelaki itu tidak terlalu mencintai istrinya. Bahkan, Jon berprasangka bahwa lelaki itu merasa lega karena istrinya tidak diketemukan. “Barangkali pernikahan mereka bukan karena kehendak mereka sendiri. Barangkali mereka terpaksa menikah. Barangkali dijodohkan. Ada sesuatu di raut muka lelaki itu ketika mengetahui mayat istrinya tidak diketemukan. Semacam perasaan lega. Barangkali setelah ini, lelaki itu bisa menikah lagi dengan wanita yang benar-benar dicintainya,” dengus Jon.

Dan lelaki itu memang tak pernah datang lagi. Juga tidak menelepon mencari kabar perkembangan istrinya. Dan Jon bersyukur karena itu semua.

****

Namun seperti kata pepatah, ‘sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga’ akhirnya orang-orang juga tahu kalau Jon menyembunyikan mayat di kamar mayat itu. Namun bukan karena mayat itu berbau yang menyebabkan orang-orang tahu kalau Jon menyimpan mayat. Mayat itu tidak berbau. Bahkan mayat itu masih utuh seperti kedatangannya pertama kali. Entah apa yang dilakukan Jon kepada mayat itu sehingga mayat itu tidak membusuk atau meninggalkan bau yang tidak sedap. Barangkali ia membalsemnya. Atau menyuntikkan formalin.

Seorang perawat yang kebagian piket malam yang pertama kali mengetahui kalau Jon menyimpan mayat. Perawat itu ingin mengajak Jon membeli kopi. Namun sesampai di depan pintu kamar mayat, ia mendengar Jon seperti bercakap dengan seseorang. Meskipun yang terdengar hanya suara Jon sendiri. Perawat itu merinding sebetulnya. Namun ia memberanikan diri mengintip melalui lubang kunci. Beberapa hari ini tidak ada mayat yang masuk ke kamar mayat itu. Jadi mestinya kamar itu kosong. Hanya ada Jon di dalamnya. Dan alangkah terkejut perawat itu melihat Jon tengah melepas baju yang ia kenakan, juga celananya sebelum kemudian menindih seonggok jenazah perempuan.

Perawat itu segera lari terbirit-birit menuju kampung yang paling dekat dengan puskesmas. Ia memanggili orang-orang dan menceritakan apa yang ia lihat. Dan dengan gaduh, orang-orang itu bergegas menuju puskesmas. Jon tidak bisa berkutik lagi ketika orang-orang itu kemudian menggeledah kamar mayat dan menemukan mayat itu disandarkan dalam lemari pakaian. Masih ada bekas sperma di selangkangan mayat itu. Sperma Jon.

“Maafkan saya. Saya mencintai mayat itu. Mencintai semenjak pertama kali melihatnya. Saya ingin menikahi mayat itu. Namun tentu saja tidak akan ada yang mau menikahkan saya dengan mayat itu. Jadi saya terpaksa melakukan ini. Saya mengawetkan mayat itu. Saya menidurinya. Saya bercakap-cakap dengannya. Saya menganggapnya istri saya sendiri.”

Orang-orang hanya bisa saling berpandangan. Tak tahu apa yang mesti dilakukan atau bahkan sekadar dikatakan. Namun keesokan harinya, beberapa petugas kepolisian datang dan menangkap Jon. Sedang mayat perempuan itu dikirim ke alamat lelaki yang dulu mengaku sebagai suaminya.

Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah dan jurnal seperti Suara Merdeka, Lampung Post, Kompas,Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post, Minggu Pagi, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat,Tribun Jabar, Radar Surabaya, Kendari Post, Bangka Post, Majalah Horison, Majalah Gong, Majalah Kidung, Majalah Nova, Jurnal The Sandour, Jurnal Lembah Biru, Buletin Rabo Sore, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), Manifesto Illusionisme.



NB : syukur jika Dadang masih bisa berkarya. akan tetapi, ini cerpen lama atau baru entahlah, saya tidak tahu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI