Djadjat Sudradjat
1
“MEMBACA” puisi, bagi saya, seringkali bukanlah pekerjaan “mudah”. Pengalaman saya menjadi Redaktur Budaya Media Indonesia pada 1990-an, sungguh sebuah beban yang amat berat. Tetapi, menyadari ini bagian dari “tugas budaya” selain tugas kantor, ini jadi kegembiraan juga selain kecemasan. Gembira karena kerap tamasya mengasyikan ketika bergumul dengan sekian banyak teks; cemas karena dihantui pertanyaan: adakah yang “terseleksi” dan dimuat di koran (edisi Minggu) tak dinegasi (pembaca)?
Sering, bahkan amat sering, saya membawa bertumpuk-tumpuk naskah ke rumah dan membacanya di tengah malam hingga dini hari, kadang di tengah tidur pulas sang istri saya berkelana memasuki lapangan kata-kata. Kenapa begitu? Sebab, sungguh berbeda membaca sastra –terlebih puisi-- di kantor dengan suasana yang serba “bergegas”, di tengah keriuhan berbagai urusan yang mendera. Dalam suasana seperti itu sering banyak kode bahasa dan kode budaya yang tak tertangkap indra. (Tentu pengalaman seperti ini sifatnya sangat pribadi. Pembaca yang lain tentu punya siasat yang brbeda-beda dalam menghadapi teks puisi atau sastra pada umumnya).
Begitulah. Membaca sastra, bagi saya, kadang, tak sekadar membuka sebuah “kode rahasia”. Sebuah tamasya batin dan pikiran seperti kata Tzvetan Todorov? Ada interaksi intim yang kerap pula melahirkan “anak-anak” teks baru. Sebab, setiap kali puisi dibaca seperti punya “jiwa” yang berbeda. Tafsir yang berbeda. Dunia tafsir ternyata sebuah lautan tak bertepi. Karya-karya Chairil Anwar (juga WS Rendra), misalnya, telah melahirkan teks-teks baru yang jumlahnya jauh lebih banyak dari teks utama yang ditulis Chairil sendiri.
Teks Chairil serupa kandungan emas yang tak habis-habisnya ditambang. Teks karya Chairil telah melahirkan skripsi, tesis, bahkan disetasi. Belum lagi tulisan-tulisan pendek semisal esai. Kritik-kritik atas karya penyair ini telah melahirkan pula kritik baru. Kritik atas kritik pun tak bisa dihindari. Itulah berkah tafsir.
Sebuah tafsir, betapapun dalam “ilmu” sang penafsir itu, tentu tak mungkin menangkap seluruh kekuatan yang ada dalam sastra itu sendiri. Bahkan, bisa jadi meleset sama sekali. Bukankah tafsir atas sajak “Aku” karya Chairil yang kita pahami selama ini sebagai sebuah semangat pemberontakan yang total? Sebuah perlawanan terhadap keadaan pada masa “perjuangan”. Sebuah semangat zaman yang berkobar. Wajar puisi ini sering dibacakan –sejak saya di Sekolah Dasar hingga kini—pada acara peringatan proklamasi 17 Agustus dengan suara mengguntur dan kepalan tangan.
Padahal, seperti kesaksian Asrul Sani, sahabat Chairil, sajak “Aku” lahir karena rasa gundahnya terhadap sang ayah di Medan yang melarang Chairil merantau ke Jakarta. Tetapi, tafsir punya “otonomi” kebenarannya sendiri. Ia tak harus tundak pada realitas di luar teks. Kesaksian Asrul sesungguhnya Chairil sosok yang jauh dari politik. Ia bukanlah seniman yang “terlibat”.
“Ia (Chairil, DS) jauh dari politik. Sajak “Aku” yang begitu terkenal sehingga sudah menjadi trademark bagi kepenyaian Chairil yang selalu dibawakan dengan berapi-api dan kepalan tinju, bukanlah sajak pemberontakan, tapi sebuah pamitan yg getir dari ayahnya yang mencoba membujuk dia kembali ke Medan tinggal bersama ayahnya. Ia menolak dan memilih kehidupan yang jauh dari berkecukupan,” tulis Asrul. (Michael Ronaldo, “Ambivalensi Chairil Anwar” dalam Kalam 21: 2004).
2
Begitulah saya membaca Dermaga tak Bernama, mencari ruang sunyi. Membaca, terlebih membaca sajak, sebagai produk kebudayaan, adalah membaca sebuah tanda. Menurut cara pandang semiotik, yang semula dirintis tokoh strukturalisme Ferdinand de Saussure, sebuah tanda terbuka untuk macam-macam tafsir. Ini sejalan dengan pandangan sosiologi sastra, bahwa sastra bukan datang dari langit. Ia lahir dari macam-macam faktor: latar belakang pengarangnya, masyarakat yang melahirkan pengarang, kebudayaan yang membentuknya, dan macam-macam faktor lain. Karena itu, sudah barang tentu kebudayaan tak semata bisa dipecahkan dengan pendekatan strukturalisme untuk membongkar “kedalaman” makna.
Menurut Saussure, tanda terdiri atas penanda (significant) dan petanda (signifie). Penanda adalah sebuah konsep (bentuk); sementara petanda adalah makna yang ditangkap dari konsep itu. Lihat juga tulisan saya, “Lampung Sebuah Tanda” (permintaan Dewan Kesenian Lampung, belum diterbitkan). Dalam strukturalisme, penanda mengandung relasi sintagmatik (hubungan antarkomponen dalam struktur), adapun petanda mengandung relasi paradigmatik (hubungan antara komponen dalam suatu struktur dengan entitas lain di luar struktur yang sifatnya asosiatif).
Cara pandang semiotik membantu juga untuk memahami realitas kebudayaan. Karena buku juga sebagai sebuah tanda, saya baca seluruh “unsur” yang ada buku kumpulan puisi ini. Mula-mula sampul muka, yang bergambar jembatan kayu (?) yang terhampar di atas laut (?) dengan dominasi gradasi warna hitam. Saya perhatikan judul dan nama pengarangnya. Kenapa point size huruf penulis ditulis lebih menonjol daripada judul? Pesan apakah yang hendak dicapai dari visual seperti itu? Adakah kemuraman? Adakah penerbit ingin menonjolkan sang penyair daripada karyanya?
Sementara, saya, kerap mengutamakan teks daripada produsennya, yakni sang penyair. Begitulah memang kebiasaan saya ketika menyeleksi puisi-puisi untuk edisi koran edisi Minggu, dahulu. Meskipun saya pernah terpesona pada tokoh (penyair), konsentrasi saya, mula-mula, pada karya. Saya bukan juga penganut kaum pascastukturalis yang meminggirkan pengarang (matilah pengarang!).
Saya “singgkirkan” godaan untuk membaca biodata penyairnya, sebelum membaca karyanya, supaya saya tidak “tercemar” karena tersandera oleh sang tokoh. Saya baca daftar isinya. Saya pilih yang pertama puisi yang diambil sebagai judul, “Dermaga tak Bernama”. Ini tentu tanda yang menggoda. Kenapa ini dipih sebagai representasi seluruh sajak? Kenapa tidak memilih sajak lain, yang lebih “bercerita” tentang Lampung? Tentu ini sepenuhnya hak penerbit. Betapa pun pertanyaan itu sia-sia, sebagai pembaca tak berdosa mempertanyakannya.
Seterusnya, saya memilih sajak sesuai harapan yang ada pada tanda itu. Bukankah dalam konteks semiotik, Lampung juga sebuah tanda? Sebuah geografi yang bercitra “tanah harapan” (pertanian: dengan lada dan kopi sebagai “identitasnya”, (yang sering dinarasikan para pujangga dan dinyanyikan para muli dan mekhanai); dengan komposisi masyarakatnya yang amat plural, dengan suku Jawa sebagai mayoritas, adalah sebagai sebuah penanda Lampung. Apa makna “asosiatif” dari itu semua?
Sebagai pendatang yang selalu ingin tahu tentang seluruh tanda di provinsi ini, wajarlah saya mencari sajak yang berjejak pada penanda Lampung itu. “Dermaga tak Bernama”, sebuah sajak yang muram : “ia menunggu kabar dari sombak/namun tak ada/selain bibir pantai yang membusuk” (Bait 1). Ombak tak mengabarkan apa-apa, di “dermaga tak bernama” itu, kecuali “menghempaskan bangkai camar/tepat di kakinya” (Bait 3). Harapan pun lesap. Sebab, “ombak pergi lagi/meninggalkan janji yang tak mungkin ditepati” (Bait 4). Ada amarah: ”di matanya membuih ombak” dan kebimbangan: “ada yang ingin ia tinggalkan/agar semuanya hilang/namun ada sesuatu yang masih ia simpan.” (Bait 8). Sebuah ruang tunggu yang sia-sia.
Setelah “Dermaga ....” saya bertamasya berturut-turut ke dalam sajak “Muli”, “Penggembala Kerbau”, dan “Kafetaria Tanjungkarang”. Keempat sajak ini saya gauli terlebih dahulu sebelum sajak-sajak yang lain. (Dermaga tak Bernama memuat 64 sajak; dibagi dalam tiga bagian: “Ikhwal Perjumpaan”, “Menunggu”, dan “Suara-suara sebelum Terjaga”).
Saya menikmati secara sintagmatik empat sajak yang secara paradigmatik juga mengandung tanda tentang Lampung itu. Yakni struktur bahasa dengan diksi yang kuat; dengan sintaksis yang terjaga. Kakofoni juga muncul menguatkan tema kemuraman yang menggugat itu. Tetapi, teks yang kuat itu juga bukan gadis cantik yang tak bernyawa. Ia teks dengan konteks yang setidaknya menggoda saya harapkan itu, yakni berbicara tentang Lampung. Inilah yang dalam semiotik disebut konteks, yakni struktur teks yang mengandung konsep/makna di luar teks. Untuk mencari konteks tentu kita mesti mempunyai banyak bekal dan modal, seperangkat pengetahuan tentang yang terkandung dalam teks. Ini memang tidak mudah.
“Muli” (hlm. 18-21) sebuah semangat menggugat masa silam. Sajak panjang berisi 21 bait itu, bait pertamanya langsung masuk ke pokok persoalan. Ia menyeru dengan merujuk sejarah (setidaknya masa silam masyarakat Lampung Barat). “dengarlah/wahai keturunan yang berjalan di atas air2/muliakanlah ia dengan bahasa/dan pandangan yang bersahaja.” Dalam catatan kaki dijelaskan “berjalan di atas air” (buway bejalan di way) adalah salah satu kepaksian Skala Brak di Lampung Barat. (Saya sungguh bergembira karena telah pula lahir novel yang mengambil latar masa silam Lampung, Kerjaan Skala Brak yang ditulis M Harya Ramdhoni, Perempuan Penunggang Harimau yang diluncurkan 15 Januari di Lampung Post).
Segera setelah membaca sajak ini, saya menafsir maknanya (melacak hubungan paradigmatiknya). “mengapa terikat sejarah masa silam/padahal matahari berulangkali tenggelam” (Bait 8). Dengan bait ini saya seperti diberi jalan (meski tidak mudah) untuk mencari konteks di luar teksnya. Betapa masa silam telah membangun tradisi “kesetiaan” bagi seorang wanita Lampung yang “hanya memuja satu lelaki.” (Maaf, ini berkah atau musibah?)
“di dalam hidup,/ia hanya memuja satu lelaki./dan di negerinya/siapa pun muli yang telah pergi/maka pantanglah bagi mereka/untuk kembali/karena di rumah yang baru/mereka disambut oleh air suci/sebelum anak-anak tangga dinaiki.” (Bait 15).
Tapi, kita tahu dalam masyarakat patriarkat, perempuan bukan penentu garis keturunan. Perkawinan artinya kehilangan sang muli. “di rumah yang jauh/telah berkumpul anak saudara/yang telah percaya/bahwa setiap perempuan/memang akan hilang dari keluarga.” (Bait 21). Bait pamungkas yang menjadi kesimpulan tentang kenyataan seorang muli yang memuliakan tradisi, tapi tak dapat tempat lagi dalam keluarga asalnya. Adakah penyair mengangkat ini sebagai sebuah representasi kegalauan? Mengungkap realitas tradisi belaka menyindirnya?
Tak jauh dari dua sajak terdahulu, sajak “Penggembala Kerbau” dan “Kafetaria Tanjungkarang” juga bicara tentang pergualatan batin akan sebuah masa silam yang menjauh, tapi tak bisa ditinggalkan. Masa silam (katakanlah kampung halaman) adalah latar biografi pada umumnya kita yang kini hidup di kota. (Masa lalu tak mungkin kita penggal meskipun Takdir Alisyahbana dalam Polemik Kebudayaan menolak masa silam berlanjut ke masa kini). Ia tetap menggoda. Adakah ia sebuah permata yang hilang atau sebuah dosa? Simak kutipan sajak “Penggala Kerbau” ini:
“setiap masa lalu memang telah dikuburnya, namun tanpa ia sadari, masa lalu itu tumbuh menjadi sebatang pohon yang akar-akarnya begitu kokoh, seperti cita-citanya. pohon itu adalah satu-satunya pohon yang berbuah manis, tempatnya bersandar saat matahari sedang tinggi, meniup seruling sambil memandang dua kerbaunya yang perlahan-lahan seolah menyatu dalam hamparan rumput dan ilalang.” (Bait 10).
Saya menangkap sebuah galau yang tak pernah selesai. Masa silam (apa pun bentuknya) punya dosa dan pahalanya sendiri-sendiri. Karena itu, keduanya (masa silam dan masa depan) tak bisa ditaruh dalam posisi polar, yang harus selalu dipertentangkan. Inilah jalan tengah atau semacam “perdamaian” dua kategori waktu yang menggelisahkan sang penyairnya. “ketaksetiaan memang pernah kau sembunyikan/namun kini segalanya tersingkap, tanpa ada yang/ memintanya, bersama waktu, masa lalu dan masa/depan tak sengaja bertemu.” (Bait 11).
Sajak “Kafetaria Tanjungkarang” memang, setidaknya dari judul, mempunyai mengisyaratkan masa kini. Tetapi, ia juga sebuah narasi kerisauan masa silam yang lekat. Kerisauan melihat realitas terpinggirkannya cultural capital, yang menurut Francis Fukuyama, bisa jadi modal ke arah kemakmuran. Bagi siapa pun yang memahami dan mendapat nikmat akan arkaisme, ia akan bergolak batinnya menyaksikan realitas hari ini, era yang tak mengukir jejak apa pun kecuali destruksi karena industri yang kian tak sayang pada bumi. “akan menjadi silamlah seluruh sajak leluhur/yang sempat kaubaca di bandar kota ini?” (Bait 5).
“di meja yang disinggahi ratusan remaja
akan kubacakan kilasan peristiwa yang biasa
“hingga setiap yang datang akan memesan menu masa silam
dengan sedikit rayuan cengegng dan cerita adat yang pucat.
“kepada pelayan kafe aku akan bercerita tentang kamu
tenunan tapis, aroma bunga kopi, dan lantunan sagata
mungkin pelayan itu akan menuangkan air mata di gelasku
lalu berujar, maafkan, anak saya, dia memang seorang penyair.
Barangkali pelayan itu adalah luluhurmu, Tanjungkarang.”
Bait 10-13 di atas sungguh jelas bahwa identifikasi Lampung dengan “tenunan tapis, aroma bunga kopi, dan lantunan sagata” hanya masa lalu yang kian tak perlu, sebab kini tak ada lagi yang peduli (?). Lampung yang tak lagi berjejak pada citranya yang semula. Setidaknya, di meja kafetaria yang “yang telah disinggahi ratusan remaja”. Sagata telah melindap digantikan musik elektronik dengan kemeriahan joget asyik di bawah alunan lagu semisal “Goyang Dombret”? Puisi tradisi tak lagi punya tempat dalam masyarakat yang bekerja di kantor dan bukan di kebun (?)
.
3
Tafsir saya atas Dermaga Tak Bernama, adalah kerisauan dan kegelisahan yang menebar. Di bagian ke-3 kumpulan puisi ini (“Suara-Suara Sebelum Terjaga”), kian terasa betapa ada konsistensi yang kuat bagaimana realitas dikemukakan, sejumlah hal ditanyakan, tapi ia tahu pertanyaan itu tak akan menemu jawab kecuali dijawabnya sendiri. Ia menjadi semacam soliloqui yang terus menerus. Konstruksi sajak-sajak Fitri terasa pula ada jejak tradisi sastra lama: yang selalu mengandung prolog (persoalan), lalu sang penyair mempertanyakannya (isi), dan mengakhirinya dengan jawaban: kesimpulan, penegasan, atau sekadar gumam.
Hampir semua sajak dalam Dermaga tak Bernama (kecuali “Taman Argasoka” dan “Abu dan Asap Rokok” (hlm. 47, 72-73), umumnya di akhir sajak dalam kumpulan ini (khususnya pada Bagian Suara-Suara sebelum Terjaga) muncul semacam jawaban, penegasan, afirmasi, kadang muncul semacam gumam, tentang tema utama yang ada dalam masing-masing sajak. Simak antara lain sajak “Langit” (hlm.53), “Obituari Pemilik Tubuh yang Sakit”, (hlm.55-56), “Suara-Suara Sebelum Terjaga” (hlm.58), “Percakapan Bocah dan Pintu” (hlm.2), “Suara-Suara dari Balik Jendela” (hlm.3-5), “Fiksi Kelima: Rahim” (hlm. 67), “Seseorang yang Menyalakan Lampu” (hlm.69), “Di Stasiun Kereta” (hlm.77), “Jalan Raya” (hlm.78), “Kafetaria Tanjungkarang” (hlm.80-81), dan “Seperti Batu di Jurang” (hlm.82-83).
Bahkan, sajak “Suara-Suara Sebelum Terjaga” dibangun hampir sepenuhnya pertanyaan. Saya kutip sepenuhnya:
“siapa yang tiba-tiba lesap ke tubuhku
beberapa saat sebelum fajar tiba
siapa yang begitu pelan membelai jantungku
beberapa saat sebelum aku terjaga
siapa yang mengajakku berjalan menyusuri taman
yang nampak ada sekaligus tak ada
siapa yang menyebut namaku berulangkali
hingga aku seperti tenggelam di cakrawala
siapa yang telah membawaku
pada hidup yang penuh percikan mimpi:
dia, yang selalu mendengar
debar para bunga
juga dia, yang paham pada nestapa
yang terkururung di sela-sela air mata.”
Dalam beberapa sajak yang saya sebut di atas, saya menangkap, penyair seakan ingin menegaskan sejumlah persoalan itu tak ingin dibebankan kepada pembaca. Ia cukup dijawab sendiri, meskipun dengan sekadar gumam. Ia gelisah dan bergulat dengan kerisauan itu, tetapi ia atasi sendiri. (Adakah wanita Lampung memang punya tradisi kemandirian yang tak membebankan problemnya kepada orang lain? Saya hanya bisa menebak?)
4
Sebagai pembaca, saya ingin menjadi “pembaca dekat” yang mengutamakan teks Dermaga tak Bernama daripada yang “lain”. Saya merasa nikmat setelah tamsya ke dalam taman kata-kata kumpulan sajak ini. Ini karena unsur-unsur persajakan muncul dengan baik: rima yang konsisten, diksi yang kuat, kakofoni yang terjaga. Sehingga Dermaga tak Bernama, secara linguistik, sebagai karya sastra, khususnya puisi, mengedepankan betul fungsi puitiknya. Ia tak bosan sebagai “locus” tamasya. (Menurut R. Jakobson, “Linguistic and Poeitic” , selain macam-macam fungsi, bahasa juga punya fungsi fatik (membangun kontak), metalinguistik (menggunakan bahasa untuk menjelaskan bahasa), dan puitik (keindahan bahasa).
Hal yang mengganggu saya jutru pengantar penerbit. Ia, menurut pemahaman saya, justru mengecilkan kualitas karyanya. Ada inferioritas dalam konteks relasi Jakarta dan bukan Jakarta; antara yang nasional dan lokal. “Selang tak begitu lama dari pesona puisinya di GONG, beberapa puisinya lalu menampang di Kompas –sebuah harian terbesar di Indonesia. Sejak itu kepenyairan Fitri Yani masuk dalam khasanah sastra di Lampung. Dia penyair termuda yang dimilki daerah ini.” Seolah-olah memperlakukan Kompas sebagai institusi pembaptis seorang penyair?
Promosi memang tak bisa dihindari dalam industri buku. Tetapi, promosi yang simplikatif, yang basisnya tidak menjelaskan karya, juga berbahaya bagi sastra. Adakah Kompas sebuah institusi pembaptis para penyair?
5
Dengan bekal sederhana, itulah tafsir saya atas tanda Dermaga tak Bernama karya Fitri Yani. Tafsir yang utuh dan komprehensif, tentu perlu bekal yang jauh lebih mendalam. Tabik.***
*)Untuk bahan diskusi kumpulan puisi Dermaga tak Bernama, karya penyair Fitri Yani, di UKMBS Unila, pukul 19.00 WIB.
Bandar Lampung, 22 Januari 2011.
Komentar